Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

AIDS di Dumai, Riau: ‘Tempat Maksiat’ Jadi ‘Kambing Hitam’

28 Mei 2011   06:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:07 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Disinyalir dengan bertambahnya tempat maksiat yang mudah terjangkau oleh masyarakat, maka diikuti dengan meningkatnya masyarakat yang terjangkit penyakit HIV/AIDS.” Ini lead beritaAkibat Tempat Maksiat Marak. Penderita HIV/ AIDS Meningkat” (Dumai Pos, 23/5-2011).

Pernyataan itu adalah opini karena tidak ada kaitan langsung antara ‘tempat maksiat’ dengan penularan HIV. Di rumah, losmen, hotel, hutan belantara, di bawah langit, dll. penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom.

Selain itu ‘tempat maksiat’ yang disebutkan sebagai penyebab HIV/AIDS tidak harus ada di daerah tsb., dalam hal ini Dumai, karena laki-laki dewasa penduduk Dumai, asli atau pendatang, bisa saja melakukan perilaku berisiko, melakukan hubungan seksual tanap kondom dengan pekerja seks komersial (PSK), di ‘tempat maksiat’ di luar Dumia.

Fakta inilah yang sering luput dari perhatian. Ada kesan kalau di satu daerah ada ‘tempat maksiat’ maka ada penyebaran HIV. Padahal, di negara yang menjadikan agama dan kitab suci sebagai UUD sehingga tidak ada ‘tempat maksiat’ tetap banyak kasusHIV/AIDS. Arab Saudi, misalnya, sudah melaporkan lebih dari 15.000 kasus AIDS.

Wartawan memberikan ‘bukti’ kaitan antara ‘tempat maksiat’ dan penularan HIV melalui pernyataan: ‘Buktinya, baru-baru ini dikabarkan sebanyak enam orang warga di Dumai, kembali terjangkit penyakit yang mematikan dan menakutkan tersebut.” Lagi-lagi pernyataan ini hanya asumsi karena tidak ada fakta yang membuktikan enam warga Dumai yang terdeteksi HIV/AIDS itu tertular di ‘tempat maksiat’.

Disebutkan: “Banyaknya tempat maksiat, jelas meresahkan masyarakat yang berpenduduk sekitar 165 ribu jiwa ini.” Ini juga asumsi karena tidak ada pernyataan langsung dari penduduk. Lalu, apa yang mersahkan masyarakat?

Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Dumai, Marjoko Santoso: ‘ …. penderita HIV/AIDS kian bertambah, terutama di kalangan wanita penghibur sihidung belang. Data terakhir yang di tahun 2011 ini, tercatat 128 orang terjangkit virus HIV/AIDS.’

Sayang, Marjoko tidak membawa data itu ke tataran realitas sosial sehingga masyarakat tidak menangkap fakta di balik data itu. Yang menularkan HIV kepada ‘wanita penghibur’ justru laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang. Kemudian, ada pula laki-laki lain yang tertular HIV dari ‘wanita penghibur’ yang ditulari penduduk tadi.

Mereka itulah, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penyebaran HIV di masyarakat dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.

Disebutkan pula oleh Marjoko: “Pengidap inveksi HIV/AIDS di Dumai sekarang sudah meningkat. Pengidap yang terbanyak adalah, dari pekerja sek komresial (PSK) dan dikalangan wanita penghibur.”

Lagi-lagi Marjoko mengabaikan fakta tentang laki-laki ‘hidung belang’ yang menularkan HIV kepada PSK dan yang tertular HIV dari PSK.  Celakanya, Perda AIDS Prov Riau tidak bisa diandalkan karena tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/30/menyibak-peran-perda-aids-riau-dalam-penanggulangan-aids-riau/).

Dengan 128 ‘wanita penghibur’ yang terdeteksi HIV, maka dalam satu malam saja ada 384 (128 ‘wanita penghibur x 3 laki-laki ‘hidung belang’) laki-laki lokal, asli asti atau pendatang, yang berisiko tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom.

Dalam kaitan inilah Pemkot Dumai harus menjalankan program penanggulangan yang konkret, al. melakukan intervensi berupa kewajiban memakai kondom kepada laki-laki ‘hidung belang’ jika sanggama dengan PSK.

Jika tidak ada langkah yang konkret, maka penyebaran HIV akan terus terjadi dan kelak akan menjadi ‘ledakan AIDS’. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun