(b). Laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung ('anak sekolah', 'mahasiswi', 'cewek SPG', 'cewek pemijat', 'ibu-ibu rumah tangga', 'ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai.
Sayang, Perda AIDS Bali sama sekali tidak menyentuh akar persoalan, seperti perilaku berisiko di atas (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/30/menguji-perda-aids-bali/).
Selain itu enam perda yang ada di Bali sama sekali mengabaikan lokasi atau lokalisasi (praktek) pelacuran. Dalam perda-perda itu dikesankan di Bali tidak ada (praktek) pelacuran karena tidak ada lokalisasi 'resmi'. Biar pun tidak ada lokalisasi pelacuran yang kasat mata, praktek pelacuran terus terjadi di banyak tempat.
Sosialisasi kondom kian perlu karena 72,04 persen penularan HIV/AIDS di Bali melalu hubungan seksual pada heteroseks (orientasi seks laki-laki dengan perempuan atau sebaliknya). Tapi, sayang seribu kali sayang lima perda AIDS di lima kabupaten juga tidak menyentuh akar persoalan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H