Walaupun informasi yang akurat tentang HIV/AIDS sudah banyak, tapi tetap saja ada yang mengait-ngaitkan penularan HIV dengan moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara penularan dan pencegahannya pun dapat diketahui dari aspek medis.
Pengaitan HIV/AIDS dengan moral dan agama akhirnya menggiring masyarakat ke ranah mitos (anggapan yang salah). Maka, kita menunggu cara-cara pencegahan HIV yang konkret sebagai hasil dari konferensi pemuka agama yang dijalankanoleh Kemensos RI, World Vision Indonesia, INTERNA dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional di Jakarta (Tujuh pemuka agama adakan konferensi tanggulangi HIV/AIDS,Rachmad Subiyanto, www.bisnis.com, 18/5-2011).
Dikabarkan: “Tujuh pemuka agama tingkat nasional berkumpul dalam Konferensi Lintas Iman tentang HIV&AIDS untuk bersinergi membahas isu, bertukar informasi serta membangun strategi penanggulangan HIV/AIDS.”
Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV al. terdapat dalam air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV) dan cairan vagina (perempuan). Ada empat variasi hubungan seksual yang terkait dengan risiko penularan HIV (Gambar 1).
[caption id="attachment_110034" align="aligncenter" width="438" caption="Gambar 1"][/caption]
Karena agama ada di tataran moral tentulah akan berbenturan dengan beberapa cara pencegahan HIV yang konkret, seperti sosialisasi kondom pada hubungan seksual berisiko.
Pada hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah (halal) bisa terjadi penularan HIVkalau salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV (HIV-positif) dan suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama (tidak aman). (Gambar 2).
[caption id="attachment_110035" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 2"][/caption]
Sedangkan pada hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah (haram) tidak ada risiko penularan HIV jika pasangan itu tidak mengidap HIV (HIV-negatif) biar pun laki-laki tidak memakai kondom (aman). (Gambar 3)
[caption id="attachment_110036" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 3"][/caption]
Hubungan seksual di luar pernikahan yang sah (haram) dengan yang sering berganti-ganti pasangan tanpa kondom (tidak aman) berisiko tertular HIV. (Gambar 4).
[caption id="attachment_110037" align="aligncenter" width="507" caption="Gambar 4"][/caption]
Hubungan seksual di luar pernikahan yang sah (haram) dengan yang sering berganti-ganti pasangan dengan memakai kondom (aman) maka tidak ada risiko penularan HIV. (Gambar 5).
[caption id="attachment_110038" align="aligncenter" width="542" caption="Gambar 5"][/caption] Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), Nafsiah Mboi, mengatakan: "Semua pendekatan perlu dilakukan untuk mengurangi penularan HIV/AIDS baik dari kesehatan, agama, maupun sosial kemasyarakatan."
Dari aspek agama intervensi dilakukan terhadap perilaku berisiko tertular HIV, yaitu pada:
a. halal-di dalam nikah-tidak aman (Gambar 2)
b. haram-di luar nikah-aman (Gambar 3)
c. haram-di luar nikah-tidak aman (Gambar 4)
d. haram-di luar nikah-aman (Gambar 5)
Persoalannya adalah: Apakah ada jaminan intervensi moral terhadap perilaku a, b, c, dan d bisa berhasil?
Kalau jawabannya ADA, maka tidak akan ada lagi penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual.
Tapi, kalau jawabannya TIDAK ADA, maka ada persoalan besar terkait dengan penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual. Maka, intervensi berupa anjuran memakai kondom dilakukan pada hubungan seksual:
a. halal-di dalam nikah-tidak aman (Gambar 2)
b. haram-di luar nikah-tidak aman (Gambar 4)
Penyebaran HIV sudah menggelisahkan negeri ini karena dari 1 Januari 1987 s.d. 31 Maret 2011 sudah dilaporkan 24.482 kasus AIDS dengan 4.603 kematian. Kasus AIDS dilaporkan sudah terdeteksi di 300 kabupaten dan kota di 32 provinsi (satu provinsi yaitu Sulawesi Barat belum melaporkan kasus HIV/AIDS).
Dikabarkan, melalui acara diharapkan setiap pemimpin agama bisa menularkan pemahaman tentang HIV/AIDS pada masing-masing umat atau jemaatnya. Maka, yang perlu dilakukan pemimpin agama adalah menyampaikan informasi yang akurat tentang risiko tertular HIV dengan cara-cara pencegahan yang konkret.
Dari hasil pemetaan KPAN di setiap pelabuhan, terminal, stasiun, lokasi perkebunan, pertambangan, dll. merupakan tempat yang potensial terjadi (praktek) pelacuran. Celakanya, hubungan seksual di tempat-tempat itu terjadi tanpa menggunakan kondom. Maka, praktek pelacuran itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV dari laki-laki ‘hidung belang’ ke pekerja seks komersial (PSK) dan sebaliknya dari PSK ke laki-laki ‘hidung belang’ yang lain.
Nah, di masyarakat laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang tertularHIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. (Gambar 6).
[caption id="attachment_110039" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 6"][/caption] Thailand yang ‘disandera’ HIV/AIDS dengan angka mendekati 1.000.000 bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dalam beberapa tahun. Program yang dijalankan untuk menekan infeksi baru adalah ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Celakanya, di Indonesia lokalisasi pelacuran justru ditutup. Ini dilakukan sebagai langkah moral penghapusan zina secara semu karena praktek pelacuran tetap terjadi.
Disebutkan: Staf Ahli Kementerian Sosial, Suwaiyah, mengakui sulit untuk mengontrol pergerakan PSK. Ini karena masyarakat menolak lokalisasi pelacuran. Akibatnya, PSK berbaur dengan masyarakat dan sehingga sulit ditangani.
Pemkot Tangerang, Banten, misalnya dipuja-puja karena mempunyai Perda Anti Pelacuran. Tapi, apakah ada jaiman di Kota Tangerang tidak ada (praktek) pelacuran?
Pemprov Jawa Timur sudah memutuskan akan menutup semua lokalisasi di wilayah itu. Penutupan ini terkait dengan penyebaran HIV. Tapi, Pemprov Jatim lupa kalau penduduknya bisa saja melacur di luar Jatim (Lihat: ini dan ini).
Ada salah kaprah terkait dengan lokalisasi pelacuran di Indoensia. Ada anggapan lokalisasi sebagai legalisasi. Ini keluru. Tidak ada negara di dunia ini yang melegalkan pelacuran. Yang ada adalah membuat regulasi tentang pelacuran yaitu menyediakan lokalisasi khusus untuk pelacuran.
Kita tunggu apakah pemuka agama bisa mendorong ummatnya agar tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Kondisi kian runyam karena pendekatan kesehatan masyarakat dibenturkan dengan moral dan agama.
Maka, Jika pendekatan moral gagal maka penyebaran HIV akan menjadi bumerang bagi negeri ini yang kelak ditandai dengan ledakan AIDS. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H