* Ada CPNS yang Luput yaitu yang Hasil Tesnya Negatif Palsu
Dari serangkaian tes HIV pada April-Mei 2011 terhadap calon pegawai negeri sipil (CPNS) di lingkungan Pemkot Jayapura, Papua, HIV/AIDS terdeteksi pada lima (tiga perempuan dan dua laki-laki) CPNS. Tapi, Pemkot Jayapura tetap akan menerima mereka sebagai PNS. Menurut Sekda Kota Jayapura, Ir. JP Nerokouw, MP: "Mereka punya hak untuk mendapatkian pekerjaan termasuk bekerja di Kantor Walikota, sama seperti CPNS lainnya. Jadi mereka akan tetap bekeja di jajaran Pemkot Jayapura dan tidak ada alasan untuk memberhentikan mereka." (Lima CPNS Pemkot 2010 Positif HIV-AIDS, Harian “Cenderawasih Pos”, 13/5-2011).
Langkah yang ditempuh Pemkot Jayapura ini merupakan langkah konkret dalam menanggulangi HIV/AIDS karena sudah memupus stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda). Cara yang ditempuh Pemkot Jayapura benar karena tidak ada risiko penularan dari lima CPNS itu ke pegawai lain dalam kegiatan sehari-hari di kantor
Menolak CPNS yang terdeteksi HIV merupakan perbuatan yang melawan hukum (karena tidak ada aturan yang menyebutkan Odha/Orang dengan HIV/AIDS dilarang menjadi PNS) dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Celakanya, banyak kalangan yang tidak memahami hal ini sehingga tetap terjadi penolakan terhadap calon atau pemecatan pegawai atau karyawan yang terdeteksi HIV/AIDS.
Disebutkan, hasil itu diperoleh dari Voluntary Counseling and Testing (VCT) terhadap 414 CPNS di Pemkot Jayapura Formasi Tahun 2010. Yang menjadi persoalan adalah ada kemungkinan di antara 409 CPNS yang dinyatakan negarif justru hasil tesnya negatif palsu (tes dilakukan pada masa jendela yaitu tertular di bawah tiga bulan karena belum ada antibody HIV tapi sudah ada HIV di dalam darahnya).
Lima CPNS yang terdeteksi HIV/AIDS tidak jadi persoalan lagi karena ketika konseling mereka sudah memahami kondisi mereka sehingga tidak akan menularkan HIV kepada orang lain. Sedangkan CPNS yang lolos karena negatif palsu justru akan menjadi persoalan besar karena mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari.
Dikabarkan: “Dengan adanya kasus ini, Sekda Nerokouw berharap agar para PNS lainnya di seluruh jajaran Pemkot Jayapura diharapkan melakukan VCT untuk sekedar mengecek kesehatan.” Ini keliru karena VCT bukan untuk mengecek kesehatan, tapi untuk mendeteksi HIV pada darah seseorang.
Lagi pula, siapa PNS yang harus menjalani tes HIV? Tentu saja tidak semua PNS harus tes HIV karena tidak semua PNS melakukan perilaku berisiko tertular HIV.
Maka, PNS yang harus menjalani tes HIV adalah yang perilakunya berisiko yaitu:
1. PNS laki-laki dan perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di Kota Jayapura atau di luar Kota Jayapuara
2. PNS laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘cewek pemijat’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta perempuan pelaku kawin cerai di Kota Jayapura atau di luar Kota Jayapuara
Celakanya, Perda AIDS Kota Jayapura sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penularan HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/23/ironi-penanggulangan-aids-di-perda-aids-kota-jayapura-papua/).
Bahkan, Dinkes Kota Jayapura sendiri tidak mengetahui kalau Kota Jayapura sudah mempunyai Perda AIDS (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/10/dinkes-kota-jayapura-papua-wacanakan-perda-penanggulangan-aids-baru/).
Ada pula pernyataan Pak Sekda ini: "Saya rasa tidak ada salahnya kalau kita VCT, sehingga kita bisa tahu dan kalau ada sesuatu akan langsung diambil tindakan, saya sendiri pernah VCT dan syukurlah saya sehat."
VCT bukan untuk menentukan apakah seseorang sehat atau tidak karena yang dicari adalah antibody HIV di dalam darah. Lagi pula, hasil tes HIV, misalnya melalui VCT, hanya berlaku pada saat darah diambil. Setelah itu tidak ada jaminan seseorang yang hasil tes VCT negatif akan negatif selamanya karena tes HIV bukan vaksin. Bisa saja setelah tes HIV di VCT seseorang melakukan perilaku berisiko sehingga tertular HIV.
Dalam kaitan inilah diperlukan sosialisasi HIV/AIDS yang konsisten tapi dengan materi yang akurat. Soalnya, selama ini informasi HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H