Penyebaran HIV secara horizontal terus menunjukkan bukti yang konkret, tapi penanggulangan tetap saja berpijak pada moral. Lihatlah di Yogyakarta. Tahun 2010 terdeteksi 75 ibu rumah tangga yang tertular HIV. Jumlah ini merupakan bagian dari 1.208 penduduk Yogyakarta yang terdeteksi HIV/AIDS (75 Ibu Rumah Tangga DIY Terinfeksi HIV/AIDS, suaramerdeka.com, 8/2-2011).
Ini artinya ada 75 suami (laki-laki) yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Dengan demikian sudah ada 150 penduduk Yogyakarta yang mengidap HIV. Angka ini akan bertambah banyak kalau 75 laki-laki tadi mempunyai pasangan seks lain, laki-laki atau perempuan, serta doyan pula ‘jajan’ dengan pekerja seks komersial (PSK). Jumlahnya bertamah lagi kalau istri atau perempuan yang mereka ‘gauli’ hamil dan tidak terdeteksi sehingga melahirkan anak yang berisiko tertular HIV.
Disebutkan oleh dr Sumardi Sp PD-KP, pada orasi ilmiah dalan rangka HUT ke-29 RSUP Sardjito: ''Di RS Sardjito pada tahun 2010 tercatat pasien odha yang menjalani rawat jalan sebanyak 255 orang setiap hari.''
Sayang, tidak dijelaskan apakah 225 Odha ini mempunyai pasangan seks dan apakah pasangan mereka juga sudah dikonseling. Jika mereka mempunyai pasangan, seperti istri, maka angka penderita tentulah dua kali lipat.
Dijelaskan pula: “ …. meskipun angka keseluruhan populasi yang terinfeksi HIV di Indonesia masih rendah yakni 0,17% dari seluruh jumlah penduduk tapi laju kenaikkannya cukup tinggi. Selama periode 1996-2006 angka kasus HIV meningkat sebesar 17,5%.”
Terkait dengan angka kasus HIV/AIDS yang rendah di Indonesia ada beberapa faktor penyebabnya, al. (a) survailans tes HIV yang tidak sistematis dan tidak konsisten, (b) tidak ada mekanisme untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarkat, (c) banyak kasus yang tidak dilaporkan dengan berbagai alasan, dll. Angka estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia disebutkan ada di kisaran 120.000. Sedangkan kasus yang terdeteksi baru 24.000-an.
Risiko penyebaran HIV ke PSK dan dari PSK ternyata luput dari ‘cengkeraman’ Perda AIDS Prov DI Yogyakarta (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/15/perda-aids-yogyakarta-mengabaikan-praktek-pelacuran-di-%E2%80%98sarkem%E2%80%99/).
‘Lokalisasi pelacuran’ Pasar Kembang (Sarkem) pun ‘luput’ dari perda tsb. Kalau saja Pemprov DI Yogyakarta menoleh ke Thailand tentulah insiden infeksi HIV baru melalui hubungan seksual dengan PSK di ‘Sarkem’ dapat ditekan. Caranya dengan menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’. Sayang, program yang sudah teruji di Thailand itu diabaikan di Yogyakarta.
Bahkan, dalam perda tsb. sama sekali tidak ada pasal yang menyebutkan penggunaan kondom sebagai salah satu upaya untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui hubungan seksual dengan PSK. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H