Peringatan yang sering dilontarkan kalangan ahli, dalam dan luar negeri, terkait dengan penyebaran HIV ternyata hanya dianggap sebagai 'anjing menggonggong kafilah berlalu'.
Tahun 1985, Dr A. Haryanto Reksodiputro, ketika itu Kepala Bagian Penyakit Dalam FK UI, sudah mengingatkan: “Baiaya yang mahal akan dikeluarkan untuk skrining darah untuk transfusi. Biaya yang besar juga diperlukan untuk memeriksa antibody HIV …..” (KOMPAS, 10/8-1985). Tahun 2001 Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS, juga mengingatkan Indonesia tentang percapatan kasus HIV/AIDS, terutama di kalangan penyalahguna narkoba dengan suntikan, di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik di Melbourne, Australia.
Baca juga: AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan
Ketika kasus-demi kasus terdeteksi mulailah panik. Celakanya, kepanikan ditanggapi dengan cara-cara yang tidak konkret. Salah satu di antaranya adalah menerbitkan peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Perda-perda yang sekarang berjumlah 44 di tingkat provinsi, kabupaten dan kota ’berkiblat’ ke Thailand karena di sana program ’wajib kondom 100 persen’ menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui hubungan seksual di kalangan laki-laki dewasa.
Perda AIDS pertama dirancang di Kab Nabire, Papua. Rancangan perda itu kemudian disahkan menjadi Perda Kab Nabire No 18 Tahun 2003 tanggal 31 Januari 2003 tentang Pemakaian Kondom 100% di Tempat-tempat Hiburan.
Judul perda ini sendiri sudah dibalut dengan moral. Thailand menerapkan program tsb. di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Ini denotasi. Tapi, di Nabire dihaluskan menjadi ‘tempat-tempat hiburan’ yang justru konotatif.
Apa, sih, yang dimaksud perda ini sebagai ‘tempat-tempat hiburan’?
Di pasal 1 ayat 4 disebutkan: ”Tempat-tempat hiburan adalah tempat-tempat yang secara langsung atau tidak langsung memungkinkan transaksi seks komersial. Yang secara langsung lokalisasi, sedangkan yang tidak langsung antara lain bar karaoke, panti pijat, kafe dan warung makan.”
Mengapa tidak disebut saja ’lokasi pelacuran’ dan ’lokalisasi pelacuran’? Ya, itu tadi perda ini dirancang dengan semangat moral untuk menanggulangi AIDS sebagai fakta medis.
Perda ini sudah mengacu ke program di Thailand, tapi tidak ada pemantauan yang konkret. Soalnya, program ’wajib kondom 100 persen’ bisa berhasil di Thailand karena pemantauan yang konkret. Germo atau mucikari diberikan izin usaha. Pekerja seks komersial (PSK) yang menjadi anak buah germo menjalani tes IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungans seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti GO (kencing nanah), sifilis (raja singa), klamidia, virus hepatitis B, dll.) secara rutin.
Kalau ada PSK yang mengidap IMS maka itu membuktikan PSK tsb. meladeni laki-laki ’hidung belang’ tanpa kondom. Germo diberikan sanksi mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha.
Nah, dalam Perda AIDS Nabire ini pemantauan dilakukan dengan cara, seperti yang tercantum di pasal 20 ayat 2: ”Insidens IMS diamati di antara PS dan/atau pramuria yang menjalani pengobatan medis, baik melalui rekapitulasi pada sarana kesehatan yang ada maupun kunjungan pemeriksaan rutin dari panitia pemantau.”
Akan lebih efektif kalau PSK menjalani tes IMS secara rutin di tempat mereka bekerja.
Tempat hiburan di Nabire diwajibkan memiliki izin. Tapi, apakah praktek pelacuran hanya terjadi di tempat hiburan yang memiliki izin? Soalnya, seorang PSK di Lokalisasi 55 Maruni, Manokwari, mengatakan bahwa mereka diharuskan di lokalisasi, tapi PSK dari .... (dia menyebut nama kota di Sulawesi) praktek di hotel.
Tentu akan lebih mudah dikontrol kalau semua tempat hiburan yang menyedikan transaksi seks dilokalisir di sebuah lokasi. Tapi, lagi-lagi moral berbicara: Jika tidak ada lokalisasi maka daerah itu bersih dari maksiat!
Program ’kondom 100 persen’ di Nabire pun rupanya bias gender karena hanya menyasar PSK. Di pasal 7 ayat 2 disebutkan: ”Pemilik/pengelola tempat hiburan wajib menginformasikan kepada PS yang menjadi tanggungannya mengenai program pemakaian kondom 100% dan manfaatnya bagi mereka.”
Padahal, fakta menunjukkan posisi tawar PSK sangat lemah karena laki-laki ’hidung belang’ akan memakai tangan germo untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom.
Maka, yang dikhawatirkan adalah program ’wajib kondom’ ini tidak tepat sasaran karena tempat-tempat yang menyediakan praktek pelacuran tidak bisa dikontrol satu persatu.
Sanksi yang diberikan, seperti diatur di pasal 23, yaitu penutupan sementara tempat hiburan perlu dipertegas misalnya dengan sanksi kurungan. Maka, jangan hanya PSK, seperti di Merauke, yang hanya diberikan sanksi kurungan.
Satu hal yang luput dari perhatian tentang keberhasilan progam di Thailand adalah program itu dilakukan dengan skala nasional. Nah, jika di wilayah Kab Nabire ada wajib kondom tentulah laki-laki ’hidung belang’ yang enggan pakai kondom akan mencari PSK di tempat lain yang tidak masuk dalam ketegori perda. Misalnya, di rumah, losmen, motel, hotel melati atau hotel berbintang.
Selain itu bisa juga mereka pergi ke luar wilayan Kab Nabire sekedar untuk melepas hasrat seks. Maka, kalau dilihat secara nasional program kondom di Nabire tidak ada manfaatnya karena di daerah lain tidak ada kewajiban memakai kondom.
Yang luput dari perhatian adalah laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK dan kemudian laki-laki yang tertular IMS dari PSK. Yang dikhawatirkan PSK itu juga tertular HIV baik di Nabire atau di luar Nabire sehingga laki-laki lokal, asli atau pendatang, berisiko tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus dari PSK.
Sayang, dalam perda tidak ada mekanisme untuk mendeteksi kasus IMS dan HIV/AIDS di masyarakat. Maka, kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H