Publikasi tentang perilaku remaja, terutama terkait dengan seks, selalu saja menyudutkan dan bias gender. Objek penelitian pun lebih ditujukan pada perilaku buruk remaja putri. Padahal, perilaku itu tidak akan terjadi tanpa ‘kerja sama’ dengan remaja putra.
Seperti publikasi tentang siswi SMA di Kab Rembang, Jawa Tengah, ini. Objeknya hanya remaja putri: “ …. gaya hidup bebas dengan melakukan seks pranikah ternyata sudah dilakukan sebagian siswi SMA di kabupaten itu.” (4,85% Siswi SMA di Rembang Cicipi Seks Pranikah, suaramerdeka.com, 5/5-2011).
Disebutkan berdasarkan penelitian Siti Nurjanah, Pemerhati Kesehatan Reproduksi Remaja, tahun 2009 – 2010 terhadap 330 responden siswi SMA di Kabupaten Rembang, 16 responden (4,85%) mengaku melakukan hubungan seks di luar nikah. Data ini menunjukkan perilaku remaja putri itu tidak mewakili remaja putri di Kab Rembang.
Biar pun angkanya kecil, tapi judul berita itu mengesankan sebagai perilaku remaja putri atau siswi SMA di Kab Rembang. Dalam judul berita ada kata ‘cicipi seks pranikah’. Ini mengesankan semua terjadi karena remaja putri, padahal fakta juga menunjukkan banyak remaja putri yang dikelabui oleh pacarnya. Remaja putri pun selalu pihak yang didiskriminasi jika hamil. Mereka dikeluarkan dari sekolah, sedangkan siswa yang menghamili tidak dipecat.
Dalam berita tidak disebutkan metode penelitian. Soalnya, kalau hanya berdasarkan angket bisa saja mereka asal menjawab pertanyaan. Cara seperti ini sudah sering terjadi dan menghebohkan karena menjadi konsumsi media dengan penyajian yang sensational dan bombastis bahkan vulgar.
Disebutkan, sebanyak 2,73% dari siswi itu tidak melakukan upaya pencegahan kehamilan. Maka, 1,21% di antaranya hamil yang diakhiri dengan aborsi. Pernyataan ini menyudutkan siswi karena studi juga menunjukkan aborsi merupakan pilihan terakhir yang dilakukan karena dipaksa oleh pacar atau keluarga.
Penelitian YKP Jakarta (2002) menunjukkan 97 persen kasus aborsi di sembilan kota besar di Indonesia dilakukan oleh perempuan yang terikat dalam pernikahan yang sah berdasarkan hukum dan agama. Sayangnya, fakta ini selalu digelapkan dan yang muncul hanya angka-angka perkiraan terkait aborsi remaja dengan balutan informasi bermuatan moral belaka.
Baca juga: Aborsi, Hujatan Moral yang Ambiguitas terhadap Remaja Putri
Disebutkan oleh Siti Nurjanah, guru biologi di SMAN 1 Rembang ini: “Mereka juga belum sepenuhnya paham tentang sikap terhadap perilaku seks di luar nikah beresiko kehamilan dan aktivitas keagamaan yang rendah.”
Lalu, bagaimana dengan suami-suami yang selingkuh, kumpul kebo, zina, melacur ke pekerja seks komersial (PSK) dan lain-lain, Bu Siti?
Bahkan, fakta menunjukkan kasus sifilis, GO dan HIV/AIDS pada ibu rumah tangga banyak terdeteksi. Ibu-ibu rumah tangga ini tertular dari suaminya. Ini juga fakta yang selalu ditutup-tutupi agar kasus pada remaja putri yang muncul.
Jika ada siswi yang hamil maka kesalahan terbesar ada pada sekolah karena siswi-siswi itu tidak mendapatkan pendidikan tentang seksualitas. Tidak ada kaitan langsung antara perilaku seks pranikah dengan aktivitas keagamaan. Apa ukuran atau parameter aktivitas keagamaan yang bisa menghindarkan siswi melakukan seks pranikah?
Selama yang menjadi objek (penelitian) hanya siswi, maka siswa yang justru menjadi pemicu dan biang keladi perilaku seks pranikah akan luput dari perhatian. Akibatnya, siswa menganggap mereka pada posisi yang tidak salah dan akan terus melakukan seks pranikah.
Keperawanan selalu dituntut terhadap remaja putri, tapi masyarakat mengabaikan keperjakaan. Ini ambiguitas yang diskrimintatif dan merugikan remaja putri dan membiarkan remaja putra melakukan perilaku-perilaku buruk karena mereka luput dari sorotan. Salah satu di antaranya adalah penelitian di Kab Rembang ini. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H