Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

900-an Odha ‘Berkeliaran’ di Sulawesi Utara

20 April 2011   02:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:37 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1303266870253996998

Penderitaan Odha (Orang dengan HIV/AIDS) ternyata tidak hanya karena penyakit yang menyertai infeksi HIV, tapi juga mereka disamakan dengan binatang. Coba simak pernyataan ini: “Jika yang ditemukan sekarang baru 777 artinya, masih 900-an ODHA berkeliaran.” (900-an Penderita Keliaran di Masyarakat. AIDS Sulut Membahayakan, Harian “Manado Post”, 14/4-2011). Liar adalah kata yang ditujukan kepada binatang atau (orang) yang tidak beradab.

Rupanya, data survei Kementerian Kesehatan tahun 2006 dinyatakan, sedikitnya ada 1.600 Odha di wilayah Prov Sulawesi Utara (Sulut). Karena yang sudah terdeteksi baru 777, maka yang belum terdeteksi oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Sulut, Dr MSJ Tangel-Kairupan, dikatakan berkeliaran.

Tapi, siapa-siapa saja, sih, yang ‘berkeliaran’ itu? Ini yang tidak ada dalam berita sehingga orang-orang yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi, yang disebut berkeliaran, tidak menyadari bahwa merekalah yang ‘berkeliaran’.

Orang yang sudah mengidapHIV/AIDS tapi tidak mereka sadari yang ‘berkeliaran’ di masyarakat adalah:

(a). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasanga yang berganti-ganti. Ini berisiko tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan yang pernah melakukan hubungan seksual denga mereka mengidap HIV.

(b). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta perempuan pelaku kawin cerai.

Maka, bagi penduduk Prov Sulut baik pejabat, toga dan toma, perampok, preman, pedagang, nelayan, petani, pelajar, mahasiswa, dll. yang pernah melakukan perilaku a atau b atau dua-duanya sudah berisiko tertular HIV. Untuk itulah dianjurkan agar menjalani tes HIV dengan konseling di tempat yang sudah disediakan, seperti Klinik VCT di rumah sakit.

Disebutkan: “Jika mengikuti fenomena gunung es atau sesuai acuan dasar WHO (World Health Organisation), 1 orang yang terdeteksi HIV/AIDS maka ada 99 orang lain terinfeksi virus mematikan ini.”

Sampai hari ini WHO tidak pernah mengeluarkan ‘rumus’ terkait dengan fenomena gunung es. Memang, kasus yang terdeteksi (puncak gunung es yang muncul di atas permukaan air laut) hanya bagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat (bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut). Tapi, tidak ada rumus kalau di puncak terdeteksi 1 maka di bongkahan (masyarakat) ada 99 kasus (Lihat Gambar).

[caption id="attachment_102729" align="aligncenter" width="417" caption="Fenomena Gunung Es pada Epidemi HIV"][/caption]

‘Rumus’ itu tidak bisa dipakai secara ‘telanjang’ karena itu hanya untuk keperluan epidemiologi, misalnya merancang program penanggulangan, penyediaan layanan di rumah sakit, dll. Itu harus ada faktor pendukung, al. tingkat pelacuran tinggi, penggunaan kondom rendah, tingkat kesehatan masyarakat rendah, dll.

Sebagai virus HIV tidak mematikan. Orang-orang yang mengidap HIV meninggal pada masa AIDS, antara 5 dan 15 tahun setelah tertular HIV, kerena penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll. Penyakit inilah yang bisa mematikan Odha karena sulit disembuhkan. Ini terjadi karena sistem kekebalan tubuh Odha sudah sangat rendah.

Disebutkan pula: “Sulut adalah salah satu daerah yang mengoleksi pengidap HIV/AIDS yang cukup banyak.”

Kondisi di atas merupakan realitas sosial jika:

Pertama, banyak laki-laki dan perempuan dewasa penduduk Sulut, asli atau pendatang, yang melakukan perilaku (a) di wilayah Sulut dan di luar wilayah Sulut.

Kedua, banyak laki-laki dewasa penduduk Sulut, asli atau pendatang, yang melakukan perilaku (b) di wilayah Sulut dan di luar wilayah Sulut.

Bertolak dari kasus kumulatif HIV/AIDS di Sulut yang mencapai 777 ternyata 549 kasus atau 70,66 persen tertular dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual pada heteroseksual. Maka, kemungkinan besar perilaku (a) dan (b) menjadi faktor yang mendorong penyebaran HIV di Sulut.

Dikabarkan: “Saat ini, pemerintah melalui KPAP terus melakukan pembenahan dan menggalakkan program-program agar ODHA bisa memeriksakan diri.” Odha adalah orang yang sudah terdeteksi HIV karena mereka memeriksakan diri. Yang perlu dideteksi adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tapi tidak menyadarinya. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

Sekretaris Komisi IV DPR Sulut, dr Ivone Bentelu, mengatakan: “ …. bertambahnya pengidap HIV/AIDS di Sulut harus diseriusi pemerintah. ..... fasilitas VCT harus makin lengkap. Dan jika memang ada rencana menambah VCT, lokasinya harus melihat persentase pengidap terbanyak.”

Yang diperlukan bukan kelengkapan klinik VCT, tapi kualitas konselor dan program penyuluhan agar penduduk yang termasuk pada perilaku (a) dan (b) atau dua-duanya sekaligus mau menjalani tes HIV secara sukarela.

Persoalan yang sangat mendasar adalah materi informasi HIV/AIDS yang disampaikan ke masyarakat selalu dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS kabur. Masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Lokasi Klinik VCT tidak harus di tempat yang banyak kasus HIV/AIDS terderteksi, tapi sejauh mana Pemprov Sulut, dalam hal ini KPAP Sulut, bisa mendorong penduduk yang perilakunya berisiko mau menjalani tes HIV di Klinik VCT atau tempat lain.

Yang dikhawatirkan adalah Pemprov Sulut ‘menepuk dada’ karena tidak ada lokalisasi pelacuran. Pertanyaannya adalah:

(1). Apakah Pemprov Sulut bisa menjamin di Sulut tidak ada (praktek) pelacuran dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung?

(2). Apakah Pemprov Sulut bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Sulut, asli atau pendatang, yang melakukan perilaku (a) dan (b) di luar Sulut?

Kalau jawabannya YA, maka di Sulut tidak persoalan penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka di Sulut ada persoalan besar berupa penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual.

Celakanya, Perda Prov Sulawesi Utara No. 1 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS tanggal 22 Juli 2009 ternyata tidak bisa diandalkan untuk menjadi pijakan penanggulangan HIV/AIDS di Sulut karena tidak ada cara-cara penanggulangan yang konkret dalam perda tsb.

Jika Pemprov Sulut tetap mengedepankan norma, moral dan agama dalam menanggulangi penyebaran HIV di Sulut, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Maka, Pemprov Sulut tinggal menunggu ‘panen’ berupa ledakan AIDS karena kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS kelak. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun