Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sampah di Pantai Kuta adalah Bak 'Neraka Bali'

6 April 2011   05:52 Diperbarui: 14 Februari 2024   15:57 1628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekali lagi Indonesia, dalam hal ini Prov Bali, menjadi ‘bulan-bulanan’ media asing. Andrew Marshall di Majalah “Time” (1/4-2011, menulis artikel berjudul ‘Holidays in Hell: Bali’s Ongoing Woes

Marshall bercerita tentang kunjungan ke Bali untuk berlibur, tapi yang didapatknya seperti neraka. Digambarkan Pantai Kuta tercemar bakteri dan plankton yang membusuk yang menyebabkan alergi.

Berita itu pun hanya ditanggapi dengan reaksi yang tidak komprehensif cenderung tidak objektif. Humas Pemerintah Prov Bali, Putu Suardhika, disebutkan menyangkal semua isi pemberitaan “Time”. "Penulis hanya melihat sepintas Pantai Kuta tentang tumpukan sampah dan pencemaran pantai," kata Suardhika seperti dikutip detikNews (Time Sebut Bali 'Neraka', Pemprov Bali Protes5/04/2011).

Sepintas atau tidak sepintas yang disebutkan “Time” itu adalah fakta empiris yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Celakanya, ketika Pantia Kuta tercemar tidak ada press release dari Pemprov Bali sehingga wisatawan yang akan berlibur ke Bali memahami kondisi yang ada.

Karena mereka tidak mengetahui keadaan yang sedang terjadi di Bali wisatawan pun tentulah kecewa. Soalnya, Pantai Kuta merupakan tujuan utama wisatan yang berwisata ke Bali, khususnya Kota Denpasar. Nah, ketika mereka sudah datang dari tempat yang jauh dengan berbagai konsekuensi ternyata mendapatkan pantai yang kotor dan air laut yang tercemar.

Dikabarkan: Pemprov Bali gerah dengan pemberitaan “Time” yang menyebut berlibur di Bali bak liburan di neraka. Mereka menganggap pemberitaan Time soal pariwisata di Bali, tidak akurat dan penuh opini.”

Persoalannya adalah: Apakah kondisi Pantai Kuta, seperti yang disebut “Time”, tidak benar? Ternyata kondisi Pantai Kuta memang pernah kotor dan air laut tercemar. Nah, di mana bagian yang tidak akurat dan di mana pula opini dalam fakta empiris tsb.?

Disebutkan: “Marshall membeberkan penyebab citra Bali berubah menjadi pariwisata neraka. Ia menyebutkan Bali penuh sampah, limbah industri, dan kemacetan lalu lintas di Bali selatan yang sudah akut.”

Kalau saja Pemprov Bali menyiarkan kabar bahwa pada kurun waktu tertentu Pantai Kuta dan air laut di sepanjang pantai tercemar tentulah wisatawan akan maklum. Kalau mereka tetap berkunjung ke Bali maka itu merupakan konsekuensi yang mereka ambil dan risiko mereka tanggung sendiri.

Persoalan yang sangat mendasar adalah: tidak ada pemberitahuan yang luas tentang kondisi Pantai Kuta dan air laut di sepanjang pantai pada kurun waktu tertentu. Yang juga dipertanyakan adalah: Bagaimana cara penanggulangan yang dilakukan Pemprov Bali menghadapi sampah di pantai dan air laut yang tercemar?

Kalau saja Pemprov Bali menyebarkan informasi yang akurat tentang kondisi pantai dan menjelaskan cara yang dilakukan untuk mengatasinya tentulah wisatawan akan maklum. Tentu saja harus ada rentang waktu penyelesaian yang tegas agar wisatawan juga memahaminya. Sebaliknya, jika pada waktu yang dijanjikan pantai belum bersih, maka Pemprov wajib mengganti kerugian. Misalnya, membayar hotel untuk wisatawan yang belum bisa menikmati pantai.

Suardihaka lagi-lagi berdalih: "Bali tak sama dengan Pantai Kuta meskipun Pantai Kuta adalah ikon pariwisata Bali." Tapi, fakta menunjukkan orang tidak akan merasa pernah ke Bali kalau tidak berjemur di Pantai Kuta.

Humas Pemprov Bali masih saja mengabaikan fakta empiris dengan mengatakan: “ …. Time tak menggunakan narasumber yang kompeten tentang pencemaran Pantai Kuta.” Sampah dan bangkai ikan yang berserakan di Pantai Kuta adalah kondisi riil yang kasat mata. Begitu pula dengan kondisi air laut di sepanjang pantai tentu bisa langsung dirasakan. Lagi pula kondisi pantai dan air laut menjadi topik pemberitaan media nasional.

Suardhika juga mengatakan: “ …. kemungkinan besar penulis Time melihat Pantai Kuta penuh sampah yang belum dibersihkan usai upacara agama. Ia pun mengatakan Pemerintah Bali telah berbuat banyak menjaga Bali tetap bersih dan hijau.”

“Pantai Kuta yang kotor dipenuhi sampah mendapat protes dari wisatawan. Mereka kecewa melihat pantai tak lagi seindah yang dibayangkan dan dinikmati sebelumnya (detikNews, 6/4-2011). 

Nah, kalau saja Suardhika menyebarkan rilis tentang kondisi itu tentulah wisatawan maklum. Tapi, tidak ada penjelasan sehingga wisatawan tidak tahu tentang asal-usul sampah di pantai. Kalau wisatawan diberitahu dengan alasan-alasan yang logis, apalagi terkait dengan ritual agama, tentulah wisatawan maklum.

Suardhika sesumbar: "Bali tetap destinasi wisata terbaik di dunia dan tidak akan mengurangi kunjungan wisatawan ke Bali." Ini bisa jadi bumerang karena Bali juga dihadapkan dengan berbagai isu yang tidak mendukung keamanan, seperti peristiwa bom (sebaiknya kejadian bom tidak disebut dengan angka, karena kalau sudah ada 1 dan 2 akan menyusul lagi, Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/13/ganti-penyebutan-%E2%80%98bom-bali%E2%80%99-dengan-nomor-urut/).

Selain itu ada pula isu anjing gila dan kualitas air.  Dikabarkan tahun 2010 sudah 110 orang meninggal dari 45.000 kasus digigit anjing gila. Secara kasat mata dapat dilihat anjing banyak berkeliaran di beberapa objek wisata. Termasuk kera juga tidak menutup kemungkinan bisa menggigit wisatawan. Gigitan kera pun tidak bisa dianggap enteng karena bisa saja mengandung racun yang menganggu kesehatan manusia. Vaksinasi terhadap anjing dan kera merupakan salah satu langkah selain meminta kepada penduduk untuk tidak melepaskan anjing sembarangan.

Danau Toba, di Sumatera Utara, misalnya, jarang dikunjungi wisatawan Jepang karena ada kabar air danau mengandung bakteri e-coli yang bisa menyebabkan diare. Ini masuk akal karena danau itu menjadi ‘tong sampah’ dan ‘septik tank’ dari permukinan dan bangunan di sepanjang pesisir danau.

Pemberitaan “Time” ini lagi-lagi menunjukkan ketidaksiapan kita menghadapi arus informasi global yang sudah tidak bisa dihambat dan dibatasi. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun