Ada salah paham besar terkait dengan upaya menanggulangi penyebaranHIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondom. Sering disebut sebagai kondomisasi. Ini ngawur karena yang dilakukan adalah sosialisasi yaitu ada pilihan antara tidak melakukan perilaku seks yang berisiko tertular HIV atau mencegah penularan dengan memakai kondom pada setiap kali melakukan hubungan seksual yang berisiko.
Maka, biar pun ada kondom dan mesin yang menyediakan kondom secara otomatis, disebut sebagai ‘ATM Kondom’, penyebaran HIV akan terus terjadi kalau laki-laki ‘hidung belang’ tidak memakai kondom setiap kali sanggama dengan perempuan secara berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti pasangan, al. pekerja seks komersial (PSK) serta perempuan pelaku kawin-cerai.
Judul berita ini: HIV di Papua (3). ATM Kondom Tak Hentikan Penyebaran AIDS di Papua (okezone, 22/3-2011) menjungkir-balikkan akal sehat karena yang menghentikan penyebaran AIDS adalah (memakai) kondom jika melakukan hubungan seksual yang berisiko bukan ‘ATM Kondom’.
Laporan Ditjen PPM & PL Kemenkes RI menunjukkan sampai Desember 2010 menunjukkan Provinsi Papua berada di peringkat keempat secara nasional dengan 3.665 kasus AIDS. Sedangkan data Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Prov Papua mencatat 6.303 kasus. Tentu, angka ini tidak menggambarkan kondisi riil di masyarakat karena banyak kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.
Disebutkan: “Sungguh mengerikan jika melihat data tersebut. Penulis pun mencoba menelusuri penyebab tingginya angka AIDS di wilayah bagian Timur Indonesia itu.” Yang mengerikan bukan data, tapi perilaku penduduk, terutama laki-laki, yang tidak mau memakai kondom jika sanggama dengan PSK. Untuk apa Anda menyusuri Papua, di depan mata sudah tampak penyebab penyebaran HIV di Papua dan daerah lain di Indonesia yaitu hubungan seksual yang berisiko tanpa di dalam dan di luar nikah.
Menurut Ketua Harian KPA Papua, Constan Karma, “ …. tingginya angka ini disebabkan aksi prostitusi yang kian marak dikalangan sebagian warga Papua.” Lho, di Arab Saudi tidak ada pelacuran, koq, kasus AIDS yang dilaporkan sudah lebih 15.000?
Lagi-lagi yang dicari ‘kambing hitam’, padahal penyebabnya adalah perilaku orang per orang. Pernyataan: “ …. kebiasaan warga yang masih ‘jajan’ sembarangan inilah yang memicu tingginya kasus AIDS di Papua” merupakan mitos (anggapan yang salah). Apa yang dimaksud dengan ‘jajan’ sembarangan?
Jika ‘jajan’ sembarangan dimaksudkan sebagai melacur, maka yang salah bukan karena melacur, tapi karena laki-laki tidak memakai kondom ketika melacur. Ini fakta.
Disebutkan: “ …. tempat-tempat yang menjadi sarang prostitusi ‘yang menyebabkan AIDS di Papua’ meningkat setiap tahun.” Lagi-lagi ini mitos. Maaf, apakah hanya mitos yang bisa dihasilkan dari penelusuran Anda terkait dengan penyebagan HIV di Papua?
Dikabarkan: “Pemprov Papua mencoba menekan angka penyebaran virus HIV dengan menerapkan sistem ATM kondom di tempat-tempat berlangsungnya prostitusi.” Yang diperlukan bukan ATM Kondom, tapi penerapan kewajiban memakai kondom kepada laki-laki ‘hidung belang’ dengan pemantauan yangkonkret, seperti di Thailand.
Di Kota Jayapura sendiri terjadi ironi antara penanggulangan HIV dengan Perda AIDS Jayapura. Ada pasal yang mewajibkan memakai kondom, tapi ada pula pasal yang melarang prostitusi (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/23/ironi-penanggulangan-aids-di-perda-aids-kota-jayapura-papua/).
Disebutkan: “Setiap pengunjung pun diwajibkan membeli kondom yang diletakkan di beberapa titik bar-bar sebelum melakukan “aksinya” dengan pekerja seks komersil.” Celakanya, peraturan daerah (Perda) AIDS yang sudah ‘menjamuir’ di Papua sama sekali tidak menyentuh mekanisme pemantauan penggunaan kondom pada hubungan seksual dengan PSK. Yang ada justru upaya memenjarakan PSK, seperti di Kab Merauke. Ini tidak ada manfaatnya (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/15/perda-aids-merauke-hanya-%E2%80%98menembak%E2%80%99-psk/).
Thailand menerapkan cara pemantauan yang realistis yaitu melakukan survailans tes IMS kepada PSK secara rutin. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka germo atau mucikari yang memegang usaha pelacuran diberikan sanksi mulai dari tertulis sampai pencabutan izin usaha.
Kalau PSK yang dipenjarakan tidak ada manfaatnya karena: (a) laki-laki yang menularkan IMS atau HIV tetap menjadi mata rantai penyebaran HIV, (b) laki-laki yang tertular dari PSK juga menjadi mata rantai penyebaran HIV, dan (c) ‘lowongan’ yang ditinggalkan PSK yang ditangkap itu otomatis diisi PSK ‘baru’.
Kalau saja Pemprov Papua, dalam hal ini KPAP Papua, mau menoleh ke Thailand tentulah penyebaran HIV di Papua tidak serunyam seperti sekarang. Sayang, sudah terlambat! ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI