Di awal epidemi HIV/AIDS laki-laki gay (orientasi seks kepada laki-laki) menjadi menjadi ’kambing hitam’ karena kasus pertama AIDS diidentifikasi di kalangan gay. Ketika penyebaran HIV mulai ’mendunia’ kasus HIV/AIDS pun diidentifikasi di luar kalangan gay, seperti pekerja seks komersial (PSK), laki-laki ’hidung belang’, dll.
Secara global dan nasional faktor risiko (mode of transmission) HIV/AIDS penularan HIV adalah hubungan seksual pada heteroseksual (laki-laki dengan perempuan) di dalam dan di luar nikah. Belakangan, faktor risiko pun terdeteksi di kalangan laki-laki heteroseks dengan orientasi seks kepada laki-laki yang dikenal sebagai laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki (LSL).
Di Indonesia diperkirakan ada 800.000 LSL. Dari jumlah ini 60.000 – 80.000 di antaranya berada di Jakarta. Sedangkan kalangan ahli epidemiologi memperkirakan LSL di Indonesia sekitar tiga juta (Diperkirakan 3 Juta Pria Lakukan Seks Sejenis, kompas.com, 18/3-2011).
LSL adalah laki-laki heteroseks, al. beristri, yang juga tertarik kepada laki-laki. Mereka ini bukan laki-laki gay atau waria. Mereka melakukan hubungan seksual dengan waria. Laki-laki heteroseks inilah yang menjadi jembatan penyebaran IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari seseorang yang mengidap IMS kepada orang lain, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) serta HIV dari masyarakat ke waria dan sebaliknya (Lihat Gambar 1).
[caption id="attachment_95998" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 1. LSL dengan Waria"][/caption]
Jika ada LSL yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus maka LSL itu pun menyebarkan HIV di komunitasnya. Yang beristri menularkan ke istrinya, perempuan lain atau PSK. Jika istrinya tertular HIV maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak ketika di kandunga, saat persalinan atau menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Karena LSL dikhawatirkan akan menjadi salah satu mata rantai penyebaran HIV yang potensial maka ada inisiatif dari enam kota besar di Asia untuk menyelenggarakan pertemuan rutin membahas langkah-langkah penanggulangan. Kota-kota itu adalah Bangkok, Chengdu, Ho Chi Minh City, Jakarta, Manila, dan Yangoon.
Di Indonesia sendiri penelitian tahun 2007 di enam kota menunjukkan prevalensi (perbandingan antara LSL yang HIV-positif dan LSL yang HIV-negatif) mencapai 5,2 persen. Artinya, dari 100 LSL ada 5,2 LSL yang mengidap HIV.
Biar pun prevalensi tinggi tapi upaya penjangkauan (out reach) terhadap LSL sangat rendah. Di 12 negara di Asia, termasuk Indonesia, tahun 2005 program penanggulangan HIV di kalangan LSL diperkirakan baru menjangaku 8% dari populasi LSL. Dalam kaitan inilah KPAP DKI Jakarta mengembangkan program penjangkauan dengan menggandeng jaringan Gay, Waria, LSL (GWL)-INA. Penjangkuan merupakan langkah yang tepat karena jika tidak ada intervensi langsung maka pada tahun 2020 diperkirakan separuh dari penularan HIV kota-kota besar di Asia terjadi di kalangan LSL.
LSL bukan gay atau waria. LSL merupakan laki-laki heteroseks (tertarik pada perempuan), tapi juga sekaligus tertarik pada laki-laki. Mereka bisa disebut biseksual, tapi mereka tetap tidak mengidentikkan diri sebagai laki-laki biseksual. Sedangkan gay adalah laki-laki yang orientasi seksualnya tertarik kepada laki-laki dengan penampilan laki-laki. Waria adalah laki-laki yang tertarik kepada perempuan yang menampilkan diri sebagai perempuan.
Ada di antara LSL yang melakukan hubungan seksual dengan waria, PSK langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung ((‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.). Dalam kaitan ini pun LSL menjadi jembatan penyebaran HIV dari masyarakat ke waria, PSK langsung atau PSK tidak langsung serta sebaliknya LSL tadi melakukan kontak seksual pula dengan LSL di komunitas lain (Lihat Gambar 2).
[caption id="attachment_95999" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 2. LSL dengan Waria, PSK dan LSL di Komunitas Lain"]
LSL bisa ‘muncul’ di berbagai komunitas dan kesempatan. Di lembaga-lembaga pendidikan yang menempatkan anak didik di asrama berdasarkan jenis kelamin, pada anak buah kapal (ABK), pekerja lepas pantai, lembaga pemasyarakatan, dll.
Jika LSL tidak menerapkan perilaku seks yang aman, yaitu selalu memakai kondom jika sanggama, maka ada risiko penyebaran IMS dan HIV. Di satu komunitas seorang LSL bisa saja melakukan hubungan seksual dengan waria, PSK langsung atau PSK tidak langsung, serta dengan LSL di komunitas lain (Lihat Gambar 3).
Diperkirakan 3 Juta Pria Lakukan Seks Sejenis
[caption id="attachment_96000" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 3. LSL Antar Komunitas dengan Waria dan PSK"]
Di kalangan LSL ada semacam jastifikasi bahwa mereka tidak mengingkari cinta terhadap istri karena tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan. Ada juga LSL yang menganggap sanggama dengan waria atau laki-laki lebih tuntas (Lihat: http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/2009/01/19/PRK/mbm.20090119.PRK129268.id.html).
Karena LSL sudah merupakan fenomena sosial maka yang perlu dilakukan adalah penjangkauan agar mata rantai penyebaran HIV melalui LSL dapat diputuskan. Ini akan menurunkan potensi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di kalangan LSL dan pasangannya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H