Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

AIDS pada Pelajar dan Mahasiswa di Buleleng, Bali

22 Februari 2011   00:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:24 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Kab Buleleng, Prov Bali, yang menunjukkan 89 persen penularan terjadi melalui hubungan seksual. Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS 1.025 disebutkan 30 persen terdeteksi di kalangan palajar dan mahasiwa, serta 15 persen di kalangan ibu rumah tangga (Penderita HIV di Buleleng 30 Persen Pelajar & Mahasiswa, www.detiknews.com,21/02-2011).

Dalam berita tidak ada penjelasan terkait dengan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kalangan pelajar dan mahasiswa. Karena tidak ada penjelasan maka kondisi ini akan mengesankan perilaku ‘buruk’ di kalangan pelajar dan mahasiwa. Ada kemungkinan kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan pelajar dan mahasiswa karena tingkat kesadaran mereka menjalani tes HIV. Ini bisa terjadi karena sudah ada pemahaman pelajar dan mahasiswa terhadap HIV/AIDS.

Padahal, kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga yang mencapai 15 persen menggambarkan kasus HIV/AIDS di kalangan laki-laki dewasa, terutama yang beristri. Suami-suami itulah yang menularkan HIV kepada istirnya (ibu rumah tangga). Ini berarti 15 persen dari kasus yang ada merupakan kasus di kalangan laki-laki dewasa (suami).

Pertanyaannya adalah: Apakah suami-suami ibu rumah tangga yang tedeteksi HIV/AIDS itu sudah menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya YA, maka tentulah kasus kumulatif HIV/AIDS di kalangan dewasa lebih besar daripada kasus di kalangan pelajar dan mahasiswa. Selain itu suami-suami yang sudah terdeteksi HIV akan memutus mata rantai penyebaran HIV.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka penyebaran HIV di Kab Buleleng akan terus terjadi secara horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini terjadi karena suami-suami itu tidak terdeteksi sebagai pengidap HIV sehingga mereka tetap leluasa menularkan HIV kepada perempuan lain, seperti istri, pacar, atau pekerja seks komersial (PSK).

Kasus HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga juga membuktikan suami mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain. Ini sekaligus memupus anggapan yang mengatakan (sosialisasi) kondom mendorong prostitusi. Kenyataannya laki-laki yang menjadi suami ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV itu tidka memakai kondom.

Pada Perda Kab Buleleng No 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di pasal 9 disebutkan: “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib melakukan upaya pencegahan.” Tapi, fakta menunjukkan pasal ini tidak bisa ‘kerja’ karena tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/13/menyikapi-kegagalan-perda-aids-buleleng/).

Pasal ini tidak konkret karena dibuat dengan ‘ruh’ moral. Kalau saja pasal ini dibuat dengan mengacu ke HIV/AIDS sebagai fakta medis maka bunyinya adalah: “Setiap orang diwajibkan memakai kondom jika melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, di wilayah Kabupaten Buleleng atau di luar wilayah Kabupaten Buleleng serta di luar negeri dengan pasangan yang bergati-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, jalanan, losmen, hotel melatin dan hotel berbintang), PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta pelaku kawin cerai.”

Tapi, begitulah. Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dilancarkan dengan semangat moral. Padahal, pencegahan HIV dapat dilakukan dengan cara-cara yang konkret. Dari 43 perda AIDS yang ada di Indonesia tidak satu pun ada yang memuat pasal pencegahan HIV yang konkret.

Dalam Perda AIDS Buleleng ini, misalnya, pada bagian tentang peran serta masyarakat dalam penanggulangan AIDS di pasal 20 ayat 1 disebutkan: “Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS dengan cara: a. berperilaku hidup sehat; b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV/AIDS.”

Tidak jelas apa kaitan langsung antara hidup sehat dengan penularan HIV. Begitu pula dengan ketahanan keluarga: apa alat ukur yang dipakai, siapa yang berhak mengukurnya, dan seperti apa tingkat ketahanan keluarga yang bisa mencegah penularan HIV. Lagi-lagi pasal ini mengandung ruh moral.

Ketua KPAD Kabupaten Buleleng, Made Arga Pynatih, mengatakan, sebagian besar korban HIV AIDS di Kab Buleleng merupakan usia produktif dan beberapa di antaranya masih duduk di bangku sekolah ditingkat SMP dan SMA. Ini tidak berarti bahwa kasus terbanyak di kalangan pelajar dan mahasiswa karena ini hanya kasus yang terdeteksi. Soalnya, kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa tidak banyak terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang bisa mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa.

Arga juga mengatakan: "Perlu upaya pendampingan dilakukan sejumlah sukarelawan untuk memberikan pengawasan maupun membantu korban itu sendiri, sehingga penyebaran virus yang mematikan itu tidak berlanjut." Yang menjadi persoalan besar justru kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi karena mereka tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV sehingga mereka tetap melakukan perilaku yang berisiko menularkan HIV. Orang-orang yang sudah terdeteksi HVI/AIDS akan memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Disebutkan Arga, yang juga Wakil Bupati Buleleng, mengatakan, upaya pencegahan akan terus dilakukan termasuk juga melibatkan anak-anak pelajar agar mampu melakukan antisipasi dini serta mengetahui bahaya HIV AIDS. Terkait dengan penyuluhan HIV/AIDS selalu menjadikan remaja sebagai ‘sasaran tembak’, padahal kasus HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga menunjukkan perilaku berisiko di kalangan dewasa (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/02/menyoal-sasaran-penyuluhan-aids-di-buleleng/).

Persoalannya adalah informasi tentang cara-cara pencegahan tidak pernah sampai secara konkret ke masyarakat karena dibalut dengan norma, moral dan agama. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, waria, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Karena informasi yang disampaikan tidak konkret maka yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Akibatnya, banyak yang lalai sehingga mereka melakukan perilaku berisiko tertular dan menularkan HIV. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun