Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Naif, Mengukur Nasionalisme dengan Menonton Film Indonesia

18 Februari 2011   22:48 Diperbarui: 13 Februari 2024   16:29 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Ilustrasi (Sumber: en.m.wikipedia.org)

Judul berita di Metrotvnews (Film Asing Ditarik dari Seluruh Bioskop Indonesia?, 18/2-2011) mengingatkan saya ketika menulis reportase tentang upaya menolak film asing, khususnya film Hollywood, di tahun 1990-an. Ada sineas nasional yang mengaitkan keengganan menonton film Indonesia dengan nasionalisme. Tanpa pembanding maka apresiasi bangsa terhadap film akan jeblok.

Seorang psikolog yang saya wawancarai seorang psikolog di Jakarta, (alm) Sartono Mukadis: “Jangan mengukur tinggi badan dengan alat timbangan, dan jangan pula menimbang badan dengan alat ukur meteran.” Artinya, nasionalisme tidak sesempit hanya ditakar dari menonton film Indonesia.

Ketika itu produsen film asing mengancam akan embargo produk tekstil dari Indonesia jika pemerintah melarang film Hollywood beredar di Indonesia. Tentu saja pemerintah tidak punya pilihan karena penyerapan tenaga kerja jauh lebih besar di bidang industri tekstil daripada industri perfilman nasional.

Lalu, ada pula sutradara yang saya wawancarai mengatakan bahwa film nasional tidak laku karena harus memakai dialog dengan Bahasa Indonesia baku. Lalu, saya tanya: “Coba tunjukkan dialog di film Hollywood yang tidak baku.” Sampai hari ini tidak ada jawaban yang saya terima.

Justru dengan memakai bahasa yang baku dialog akan mudah dipahami. Jangankan di Papua, di sekitar Jakarta pun belum tentu semua penduduk memahami dialog film, sinetron dan film TV (FTV) yang memakai dialog yang tidak baku. Dalam sebuah liputan untuk reportase tentang siaran televisi di Cianjur, Jawa Barat, (1990-an) saya mendapatkan penonton tv bengong mendengar ocehan di sinetron karena bahasa yang tidak baku.

Dengan memakai bahasa baku komunikasi justru akan komunikatif karena semua akan mempunyai field of reference (ruang lingkup pengetahuan) yang sama, sedangkan bahasa yang tidak baku sangat tergantung pada field of experience (ruang lingkup pengalaman).

Untunglah, alasan penarikan film Hollywood hanya terkait dengan bea masuk atas hak distribusi film impor yang diberlakukan oleh pemerintah melalui Ditjen Bea dan Cukai.

Sebagai bangsa yang selalu menepuk dada dengan mengatakan bangsa yang besar dan berbudaya tentulah tidak arif bagi kita untuk menolak film asing dengan alasan untuk memajukan film nasional. Ini tindakan yang sangat naïf (lugu atau bersahaja) dan picik (pandangan yang sempit).

Apalagi di era globalisasi persaingan bukan dengan cara-cara yang picik tapi mengutakaman kemampuan dan kualitas. Ini dibuktikan dengan standardisasi internasional secara sukarela. Ini dikenal sebagai standar ISO yang dikeluarkan oleh lembaga independen ISO (International Organization for Standardization).

Terkait dengan film sebagai salah satu bentuk media umum yang menjadi ajang pembanding kehidupan sebagai realitas sosial juga akan tumpul jika hanya menonton film Indonesia. Apresiasi media bangsa Indonesia terhadap film akan anjlok (melorot) bahkah jeblok (turun posisi) sampai pada titik nadir.

Jika sineas nasional menepuk dada dengan kondisi ini tanpa diimbangi dengan peningkatan kualitas maka hal itu merupakan sikap yang naïf.

Kita menunggu film nasional yang menampilkan cerita realitas sosial yang ada di social settings, bukan cerita yang melenceng dari kehidupan.  Seperti film ‘Arwah Goyang Karawang’ yang justru ‘menodai’ realitas terkait budaya (jaipong) sebagai realitas budaya yang bermoaral (Lihat: Film Arwah Goyang Karawang Mengabaikan Moral Jaipong). ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun