Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyoal Tes HIV Terhadap ‘Ladies’ di Sikka, NTT

17 Februari 2011   15:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:30 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita memang termasuk bangsa yang tidak bisa belajar dari pengalaman bangsa lain. Seperti yang terjadi di Kab Sikka, NTT, ini. Di sana dilakukan tes HIV terhadap ladies (sebutan untuk pramuria-pen.). Ini bisa celaka karena tes HIV bisa menghasilkan negatif palsu atau positif palsu.

Program penanggulangan HIV/AIDS yang mengedepankan sosialisasi kondom ‘berkiblat’ ke Thailand yang menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Memantaunya adalah dengan survailans rutin terhadap PSK terkait IMS (infeksi menular seksual) adalah penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari seseorang yang mengidap IMS kepada orang lain, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll. ). Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS berarti program tidak berjalan. Sanksi diberikan kepada germo berupa teguran sampai pencabutam izin usaha.

Soalnya, mendeteksi IMS lebih akurat daripada tes HIV karena ada masa jendela pada tes HIV (lihat gambar). Jika tes terhadap ladies dilakukan pada masa jendela maka hasil tes bisa negatif palsu (HIV sudah ada tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV) atau positif palsu (HIV tidak ada dalam darah tapi terdeteksi).

Masa Jendela

Maka, pernyataan dalam berita yang menyebutkan: Padahal pengetesan (uji) HIV/AIDS dilakukan di tempat hiburan malam tersebut sebagai bagian dari upaya pencegahan agar jumlah penderita/pengidap penyakit ini di Maumere tak semakin membengkak (Pub Bintang Tolak Tes HIV/AIDS, kupang.tribunnews.com, 12/2-2011) bisa menjadi bumerang.

Jika ada ladies yang tes HIV-negatif palsu maka ini menjadi persoalan besar karena dia dianggap tidak mengidap HIV. Padahal, biar pun negatif (palsu) ladies ini sudah bisa menularkan HIV kepada laki-laki melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Sebaliknya, ladies yang terdeteksi HIV-positif palsu akan mengalami persoalan. Bisa dikeluarkan dari tempatnya bekerja atau dipulangkan ke daerah asalnya.

Kalau saja Yayasan Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat Flores dan Lembata (Yakkestra) menoleh ke Thailand tentulah hasilnya akan lebih baik dan pemilik pub pun tidak akan menolak. Jika ada ladies yang terdeteksi mengidap IMS maka baru dilakukan konseling (bimbingan) agar ybs. mau menjalani tes HIV. Konseling dilakukan karena penularan IMS sama dengan penularan HIV sehingga ada kemungkinan juga terjadi penularan HIV.

Dikabarkan manajemen Pub Bintang menolak ladies-nya menjalani tes HIV karena tempat hiburan tsb. bukan tempat prostitusi. Alasan ini masuk akal, tapi kalau dijelaskan bahwa penularan IMS dan HIV bisa terjadi di luar pub atau di tempat lain sebelum ladies bekerja di Pub Bintang tentulah akan lain hasilnya.

Manajer Program Yakkestra, Wilibrodus So Wasa, mengatakan: “ …. tes darah di tempat hiburan malam bagian dari program mobile visite dari Dinkes Sikka yang menggandeng RSUD TC Hillers, Yakkestra dan KPAD Sikka. Biasanya tes itu dilakukan setiap tiga bulan sekali di tempat-tempat yang rawan terjadi penularan HIV/AIDS atau penyakit menular seks lainnya.” Jika dilakukna tiga bulan sekali maka dalam rentang waktu tiga bulan sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus.

Menurut Willi: “ …. dengan tes HIV/AIDS rutin minimal tiga bulan sekali diharapkan kasus HIV/AIDS di Sikka yang sudah mencapai 266 kasus tak akan bertambah banyak lagi.” Yang menjadi persoalan besar bukan pada ladies, tapi ada pada laki-laki ‘hidung belang’ penduduk lokal, asli atau pendatang. Soalnya, kalau tidak ada kewajiban memakai kondom maka ada risiko penularan HIV dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya.

Andaikan ladies yang terdeteksi positif HIV tidak boleh lagi kerja, tapi perlu diingat sebelum dia terdeteksi, paling tidak tiga bulan karena siklus tes HIV tiga bulanan, sudah menularkan HIV kepada banyak laki-laki melalui hubungan seksual tanpa kondom. Laki-laki yang tertular HIV dari PSK dan yang menularkan HIV kepada PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari secara horizontal di masyarakat. Inilah yang luput dari kegiatan di Sikka tsb.

Sudah saatnya penanggulangan epidemi HIV dilakukan dengan cara-cara yang konkret agar efektif. Dengan menempatkan ladies atau PSK sebagai objek tes HIV maka sudah terjadi bias gender karena laki-laki ‘hidung belang’ yang menularkan HIV kepada ladies atau PSK lolos dari penanganan. Padahal, merekalah yang mendorong epidemi IMS dan HIV. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun