Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perda AIDS Prov Jawa Tengah Mengabaikan Risiko Penularan HIV di Lokasi Pelacuran

12 Februari 2011   23:30 Diperbarui: 30 Januari 2022   20:58 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: globalcitizen.org)

Ketika pemerintah mengakui HIV/AIDS sudah ada di Indonesia (1987) justru pemerintah sendiri yang mengumbar pernyataan yang menyangkal AIDS akan menyebar di Indonesia. Kalau di negara lain pemerintahnya melakukan langkah-langkah yang konkret untuk menanggulangi epidemi HIV di Indonesia yang terjadi justru upaya mengaitkan HIV/AIDS dengan perilaku yang amoral dan bangsa asing.

Maka, suburlah mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Akibatnya, ketika banyak negara sudah bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru Indonesia malah menjadi menempatkan diri sebagai peringkat ketiga di Asia sebagai negara dengan percepatan penularan HIV tertinggi setelah Cina dan India.

Bak kebakaran jenggot pemerintah pun puntang-panting menghadapi epidemi HIV. Salah satu reaksi yang muncul adalah membuat peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS. Perda-perda itu ‘berkiblat’ ke Thailand yang dikabarkan berhasil menekan laju penularan HIV pada laki-laki dewasa dengan program ‘wajib kondom100 persen’ di lokalisasi pelacuran. Celakanya, program itu tidak diadopsi dengan utuh sehingga tidak jalan di Indonesia.

Salah satu derah yang menelurkan perda adalah Prov Jawa Tengah melalui Perda No 5 Tahun 2009 tanggal 24 April 2009. Perda ini merupakan salah sari dari 43 perda yang sudah ada di Indonesia. Sama seperti perda lain perda ini pun bagaikan ‘macan kertas’ karena tidak menukik ke akar masalah dan pasal-pasal penanggulangan dan pencegahan pun tidak konkret.

Coba simak pasal 5 tentang pencegahan tidak ada pasal yang ekplisit terkait dengan pencegahan melalui hubungan seksual. Padahal, fakta menunjukkan faktor risiko (mode of transmission) penularan HIV paling banyak melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Di ayat a (2) disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui upaya peningkatan penggunaan kondom pada setiap hubungan seks berisiko.”

Penggunaan kondom yang mengacu ke Thailand tidak konkret dalam perda ini. Thailand mewajibkan kondom pada hubungan seksual di lokalisasi pelacuran atau rumah bordir. Sedangkan dalam perda ini tidak jelas siapa sasarannya dan di mana perilaku berisiko tsb. dilakukan.  Ini menunjukkan ambiguitas karena HIV/AIDS dilihat dari sudut pandang moral sehingga tidak dikaitkan dengan realitas sosial terkait dengan praktek pelacuran yang ada di Jawa Tengah. Lagi pula biar pun di Jawa Tengah tidak ada lokalisasi penduduk Jawa Tengah bisa saja melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komesial (PSK) di luar Jawa Tengah atau di luar negeri.

Belakangan ini mulai banyak terdeteksi ibu-ibu rumah tangga yang mengidap HIV. Mereka tertular HIV dari suaminya. Ini membuktikan bahwa suami mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain. Terkait dengan hal ini pada pasal 5 ayat c disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui upaya pengurangan risiko penularan dari ibu yang positif HIV ke bayi yang dikandungnya.”

Persoalan yang sangat mendasar adalah: Bagaimana mendeteksi ibu-ibu rumah tangga yang sudah tertular HIV? Dalam perda ini tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV pada ibi-ibu hamil. Karena tidak ada mekanisem yang konkret maka kasus HIV pada ibu hamil tidak akan banyak terdeteksi. Akibatnya, akan banyak bayi lahir dengan HIV. Ini akan menambah beban karena akan banyak bayi dengan HIV yang memerlukan pengobatan.

Di pasal 5 ayat g disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui upaya pemberian materi kesehatan reproduksi termasuk di dalamnya tentang IMS dan HIV bagi peserta didik.” Lagi-lagi pasal ini menyasar remaja padahal fakta menunjukkan mata rantai penyebaran HIV dilakukan oleh kalangan dewasa, terutama laki-laki, yang dibuktikan dengan kasus HIV pada ibu-ibu rumah tangga. Selain itu perlu pula dipertanyakan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS yang akan diberikan. Apakah materi KIE kelak akan diberikan secara akurat atau dibalut dengan norma, moral dan agama? Kalau materi dibalut dengan norma, moral dan agama maka informasi yang akurat tentang HIV/AIDS tidak akan pernah sampai ke kalangan remaja. Ini lagi-lagi membuat perilaku remaja berada pada posisi yang rawan tertular HIV karena mereka tidak memahami cara-cara pencegahan yang konkret.

Pada bagian perlindungan terhadap Odha dan masyarakat di pasal 10 ayat 6 disebutkan: “Setiap calon pasangan berisiko tinggi yang akan menikah disarankan untuk melakukan pemeriksaan di klinik VCT.” Ini sangart rancu karena: (a) siapa (saja) yang dikategorikan sebagai pasangan yang berisiko tinggi, (b) klinik VCT bukan untuk memeriksakan kesehatan (umum) tapi tempat tes HIV melalui konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Lagi pula tes HIV sebelum menikah dalam kaitan penanggulangan HIV/AIDS adalah usaha yang sia-sia.

(Lihat: Syaiful W. Harahap, Tes HIV Sebelum Menikah yang (Akan) Sia-sia, http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/16/tes-hiv-sebelum-menikah-yang-akan-sia-sia/).

Pada pasal 12 ayat 5 disebutkan: “Petugas kesehatan mendorong setiap orang yang berisiko terhadap penularan HIV dan IMS untuk memeriksakan kesehatannya ke klinik VCT.” Bukan orang yang berisiko tapi pasien yang berobat ke sarana kesehatan dengan keluhan penyakit terkait HIV/AIDS dengan latar belakang perilaku berisiko tertular HIV untuk menjalani tes HIV di klinik VCT.  Kasus HIV/AIDS di Jawa Tengah sendiri sudah ada sejak 1978 (Lihat: Syaiful W. Harahap, Insiden Penularan HIV di Jawa Tengah Sudah Terjadi Tahun 1978, http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/09/insiden-penularan-hiv-di-jawa-tengah-sudah-terjadi-tahun-1978/).

Di pasal 12 ayat 6 disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS wajib berobat. melindungi dirinya dan pasangannya.” Yang menular adalah HIV bukan AIDS. Seseorang terdeteksi HIV bisa sebelum dan pada masa AIDS. Persoalan besar justru banyak orang yang tidak menydari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Tapi, mereka bisa menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalaui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah tanpa mereka sadari.

Pasal 12 ayat 7 disebutkan: “Setiap orang yang berhubungan seksual dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga bahwa dirinya atau pasangannya terinfeksi HIV dan AIDS wajib melindungi pasangan dan dirinya dengan menggunakan kondom.” Seperti diketahui tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) sehingga tidak bisa menduga-duga apakah seseorang sudah tertular HIV.

Pasal ini menunjukkan pengabaian terhadap perilaku berisiko yaitu hubungan seksual dengan PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran yang ada di Jawa Tengah. Pasal ini menampik fakta tentang keberadaan lokasi dan lokalisasi pelacuran di Jawa Tengah. Jika perda ini tidak dibalut dengan moral maka pasal 12 ayat 7 berbunyi: “Setiap laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung (PSK di lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta pelaku kawin cerai di dalam atau di luar wilayah Provinsi Jawa Tengah.”

Biar pun HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga penanggulangannya dapat dilakukan dengan cara yang realistis, tapi dalam perda ini tidak ada cara-cara konkret untuk menanggulangi epidemi HIV.

Pada pasal 12 ayat 11 disebutkan: “Setiap pemilik dan atau pengelola tempat hiburan, atau sejenisnya yang menjadi tempat berisiko tinggi, wajib memberika informasi atau penyuluhan secra berkala mengenai pencegahan HIV dan AIDS kepada semua pekerjanya.” Lagi-lagi ini menunjukkan kemunafikan. Apa, sih, tempat hiburan yang menjadi tempat berisiko (penularan HIV)? Apa iya bioskop, karaoke, pantai, kebun binatang, dll. menyediakan PSK?

Sedangkan di pasal 12 ayat 12 disebutkan: “Setiap pemilik dan atau pengelola tempat hiburan, atau sejenisnya yang menjadi tempat berisiko tinggi, wajib mendata pekerja yang menjadi tanggungjawabanya.” Apa pula yang dimaksud dengan tepat hiburan yang berisiko tinggi (penularan HIV) pada pasal ini?

Kalau saja pasal  pasal 12 ayat 11 dan 12 tidak dibalut dengan moral maka yang dituju adalah lokasi atau lokalisasi pelacuran serta tempat yang menyediakan PSK. Tapi, perda ini menafikan lokasi dan lokalisasi pelacuran di Jawa Tengah sehingga semua serba samar-samar.

Pasal 13 ayat 4 disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang dengan sengaja menularkan infeksinya kepada orang lain.” Ini pun menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terkait dengan HIV/AIDS sebagai fakta medis. Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen orang yang tertular HIV justru tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV sehingga penyebaran HIV terjadi tanpa mereka sadari. Yang ditulakan bukan ‘infeksinya’ dan AIDS, tapi HIV.

Pada bab IV yaitu bagian peran serta masyarakat juga tidak memberikan cara yang konkret justru mendorong masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan diskrimnasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Pasal 14 ayat 1 disebutkan: “Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap Odha dan Ohida dengan cara (a) berperilaku hidup sehat, dan (b) meningkatkan ketahanan keluarga.”

Tidak ada kaitan langsung antara hidup sehat dengan penularan HIV dan ketahanan keluarga. Ini mengesakan Odha sebagai orang yang tidak hidup sehat dan tidak mempunyai ketahanan keluarga. Ini menyesatkan.

Pada 14 ayat 3 disebutkan: “Masyarakat mendorong setiap orang yang berisiko terhadap penularan HIV dan IMS untuk memeriksakan kesehatannya ke klinikVCT.” Ini bisa menimbulkan fitnah karena tidak ada ukuran objektif yang bisa menetapkan perilaku setiap orang apakah berisiko atau tidak.

Perda ini pun akan sama nasibnya dengan perda-perda yang sudah ada terkait dengan penanggulangan epidemi HIV yaitu mubazir karena tidak menukik ke akar persoalan secara konkret. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun