Seorang laki-laki di Enrekang, Prov Sulawesi Selatan (Sulsel), nyaris ‘dihutankan’ penduduk karena ada berita di koran lokal yang menyebutnya pengidap AIDS. Istrinya pun terpaksa ‘pulang ke rumah orang tuanya’ untuk menghidari ‘amukan’ penduduk. Penderitaan laki-laki itu berakhir sudah karena September 2009 di ’pulang’ ke haribaan-Nya.
Seandainya Amat (bukan nama sebenarnya) tidak gagal menyelesaikan sekolahnya, mungkin langkahnya tidak akan pernah sampai ke Malaysia.Dia bersekolah di SMPN 1 Enrekang, Sulsel. Sayang, dia tidak lulus. Ketika itu Amat memang harus melanjutkan pendidikan di kota kabupaten karena di kampung halamannya yang terpencil belum tersediaSMP. Ke SD saja dia harus berjalan kaki sekitar empat kilometer.
Letak kampung Amat, sekitar 40 km dari kota Kecamatan Alla di Enrekang, Sulawesi Selatan, sulit dijangkau. Tapi,tiba-tiba kampung Amat membuat banyak orang tercegang ketika koran lokal memberitakan dirinya HIV-positif. Mungkinkah seseorang yang tinggal di desa terpencilterpapar HIV? Inilah yang selalu ditanyakan penduduk,pegawai desa dan kecamatan. Dalam pikiran mereka hanya orang yang tinggal di kota besar yang bisa terpapar HIV.
Penduduk yang membaca berita Amat di koran menyarankan agar Amat, 30 tahun dan istrinya, Santi, 29 tahun, diisolasi saja di hutan. Alasannya mereka agar ‘penyakit’ yang diderita Amat tidak menulari penduduk.Inilah salah satu dampak dari pemberitaan media massa selama ini yang tidak komprehensif tentang HI/AIDS. Akibatnya, masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Yang diusik hanya yang terdeteksi. Padahal, banyak penduduk yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV, tapi karena tidak terdeteksi maka mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Bisa jadi ada di antara penduduk yang menghujat Amat justru HIV-positif.
Walaupun penduduk sudah diberikan penjelasan soal penularan HIV/AIDS, terutama kepada penduduk yang akan mengisolasi Amat dan keluarganya, tapi salah seorang penduduk, Abdu, tetap ngotot agar Amat diisolasi karena ditakutkan akan menimbulkan bencana di kampungnya.Apakah Abdu bisa menjamin dirinya HIV-negatif? Yang banyak terjadi adalah penyangkalan. Sebagian lagi orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV selalu menghujat orang-orang yang terdeksi HIV-positif. Mereka seakan-akan membenarkan perilakunya karena tidak terdeteksi HIV-positif dengan menghujat orang-orang yang terdeteksi HIV-positif.
Setelah melalui perdebatan yang panjang akhirnya Abdu mengalah dan tidak mempersoalkan lagi kalau Amat dan istrinya tetap tinggal di kampung bersama dengan penduduk yang lain.
Pulang Kampung
Karena Amat malu mengulang di kelas III dia pun memutuskan untukkembali di kampungnya. Di kampung orang tuanya bertani. Karena ingin mengubah peruntungan, Amat memilih menjadi tenaga kerja ilegal di Malaysia. Tahun 1993 dia berangkat ke Sandakan. Amat bekerja di kilang tempat pembuatan papan tripleks. Upah yang diperolehnya setiap bulan 100 ringgit (Rp250.000). Sebagian dari upah ini disimpannya untuk dikirim ke kampung.
TKI di Sandakan biasanya menghabiskan upahnya untuk berjudi, mabuk-mabukan dan pergi ke lokasi pelacuran Amat tidak main judi dan mabuk-mabukan. Tapi, pergaulannya membawanya ke pelacuran. Celakanya, dia kencan dengan PSK tanpa kondom karena tidak tahu akibat dari hubungan seks tanpa kondom dengan PSK. Lagi pulaPSK di sana tidak pernah memintaya untuk memakai kondom.
Pada akhir tahun 1993 Amat memilih pindah ke kota lain untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Kota yang dituju adalahKeke, Kinabalu. Dia bekerja sebagai buruh. Biasanya, TKI yang sebagai buruh hanya bisa ke kota sekali sebulan setelah gajian. Yang dilakukan kebanyakan TKI, termasuk Amat, apalagi kalau bukan mendatangi wisma atau hotel yang menyediakan PSK. Diakuinya bahwa dirinya memang suka kencan dan ganti-ganti pasangan ketika masih bujang.
Upah yang diterimanya setiap bulan dihabiskan untuk memuaskan diri. Tahun 1994 anak ketiga dari enam bersaudara ini pindah di Keningau. Di sini dia bekerja sebagai tukang cat. Karena ayahnya meninggal tahun 1995 Amat kembali ke kampung halamannya.
Namun, keberadaannya di kota kelahirannya tidak berlangsung lama. Amatyang masih bujang memilih kembali menjadi tenaga kerja ilegal.Tahun 1996 dia kembali ke Keke, Kinibalu. Di sana dia bekerja di pompa bensin. Modal masuk ke negeri jiran hanya paspor yang diperolehnya di Parepare, Sulsel. Tapi, kalau ada razia dia sembuyi. Tahun 1997 Amat pindah ke Sandakan dan bekerja sebagai penjual sayuran di pasar. Masih di tahun yang sama Amat kembali lagi ke Kota Kinabalu. Di kota ini Amat bekerja di salah satu hotel berbintang. Dia bekerja sebagai tukang yang memperbaiki perabot yang rusak.
Tahun 1998 sampai 2002 Amat memilihbekerja di kebun karena bekerja di kebun tidak diuber-uber polisi Malaysia dan gaji tidak perlu dipotong 15 persen untuk jaminan. Ketika bekerja di kebun inilah Amat menikah dengan perempuan yang dicintainya dan masih sekampung dengannya, bernama Nini (bukan nama sebenarnya), tahun 2001. Setelah anak pertama mereka lahir, kini telah berusia empat tahun, pasangan suami-istri ini memilih pulang kampung
Sejak pulang kampung Amat tinggal bersama ibunya. Saudaranya yang lain sudah berkeluarga dan telah mempunyai rumah sendiri. Untuk menghidupi anak dan istrinya Amat memilih bekerja di kebun menggarap lahan orang tuanya. Sebagai petani pendapatan yang diperolehnya tergantung dari harga yang diberlakukan pedagang, Penghasilannya sebulan paling tinggi Rp 200.000. Tanaman di kebunnya memang hanya kopi dan beberapa pohon cengkeh yang sudah tua. Kalau tidak ada hasil kebun yang bisa dipanen kebutuhan sehari-hari ditopang dengan menjual pisang atau sayuran. Namun, sejak Amat mulai sakit-sakitan dia kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ibunya yang sudah tua harus menanggung kebutuhan anak dan istrinya.
Tahun 2004 kondisi Amat mulai tidak baik. Dia sering demam, diare dan sariawan yang tidak sembuh-sembuh. Setiap kali sakit hanya obat dari Puskesmas yang tersedia di kampungnya. Biasanya, setelah minum obat panasnya mulai turun dan diare berhenti. September 2004 penyakitnya semakin parah. Panas tubuhnya tinggi disertai diare dan jamur di mulutnya semakin banyak. Mulutnya bahkan mulai memutih. Saat itu Amat sempat dirawat di Puskesmas Kalosi sebelum akhirnya dibawa ke RSU Andi Makkasau, Parepare. Di rumah sakit ini dia dirawat selama seminggu sebelum akhirnya pulang setelah kondisinya mulai membaik.
Tapi, Amat dan keluarganya tidak tahu apa penyakitnya karena pihak rumah sakit juga tidak pernah memberikan penjelasan soal penyakitnya. Sayangnya, penyakitnya hanya sembuh sebentar. November 2004 dia sakit parah, demam tinggi disertai diare dan mulutnya semakin putih dan penuh jamur. Amat mengaku ketika itu dirinya sudah pasrah dan tidak mau berobat dengan alasan biaya. Namun, ibunya dan saudaranya juga kerabatnya yang lain mengumpulkan uang untuk biaya perawatan ke RS Wahidin, Makassar.Tanggal 16 November 2004 dia tiba di rumah sakit. Amat langsung diinfus dan di rawat di ruangan ICCU. Yang merawatnya saat itu adalah Prof Dr Halim Mubin bersama suster Tesi.
Seminggu setelah dirawat dr Halim menemuinya dan memberikan penjelasan soal HIV/AIDS. Amat ditawari untuk menjalani tes HIV. Waktu itu, menurut Amat, Dr Halim tidak memaksanya untuk tes HIV. Karena diberikan penjelasan bahwa cara pengobatan hanya bisa dilakukan setelah tes HIV Amat akhirnya mengalah.
Apalagi Dr Halim memberikan penjelasan bahwa obat yang akan diberikan gratis dan tes pun gratis. Sebelum tes, masih menurut Amat, dia diberikan pemahaman tentang HIV/AIDS juga tentang penularan dan apa yang mesti dilakukan dan tidak boleh dilakukan Amat bila ternyata hasil tesnya positif. Karena ingin sembuh dan sehat Amat memilih tes pada tanggal 20 November 2004. Hasilnya tesnya kala itu adalah positif sehingga pada tanggal 26 November Amat mulai minum obat. Ketika itu Amat harus dirawat selama sebulan di RS Wahidin.
Status HIV-nya Tersebar
Sebelum dites yang pertama kali ditanyankan Amat adalah masalah biaya yang akan dikeluarkan bila dinyatakan HIV-positif. Dia menyadari tidak akan mempu menyediakan biaya.Setelah mendengar penjelasan bahwa obat yang akan dikonsumsinya gratis, Amat langsung menyatakan siap dites. Dengan jujur Amat menceritakan perilakunya sejak menjadi TKI. Amat juga telah pasrah menerima bila nantinya hasil tesnya positif. Apa pun hasilnya akan diterima dengan pasrah. Menurut Amat bila hasilnya positif mungkin sudah takdir. Ketika hasilnya dinyatakan positif, Amat pasrah dan memberikan dorongan kepada istrinya agar ikut memeriksakan diri. Ketika itu hasil tes istrinya juga positif. Namun,hingga saat ini kondisi istrinya tetap baik. Tidak pernah diare, deman, sariawan dan jamuran di mulut.
Ketika tahu dirinya HIV-positif bersama istrinya dunia belum kiamat bagi Amat. Keinginannya untuk sehat justru semakin kuat dalam dirinya. Apalagi istrinya juga tidak pernah menyalahkan dirinya atau menganggapnya penyebab penyakit yang kini dideritanya. Dukungan dari istrinya dan orangtuanya juga saudaranya menguatkan Amat untuk bertahan hidup.Santi mengaku tidak punya pilihan selain pasrah menerima hasil tes. Menyesali sesuatu yang telah terjadi pun tak berguna. Nasi telah jadi bubur. Menyesali dan menangisi yang telah terjadi sudah bukan waktunya lagi.
Selama sebulan di RS Wahidin banyak yang mengunjunginya. Ada yang datang dari Kalimantan dan Jakarta. Yang ditanyakan seputar kondisi dirinya dan pekerjaannya sehingga terpapar HIV.Namun, Amat tidak tahun siapa orangnya dan apa pekerjaan mereka. Kunjungan orang itu sama sekali tidak diketahui maksudnya. Tapi, bila ditanya soal status dirinya, Amat selalu menjawab. Alasannya, dia tidak ingin mengecewakan orang lain. Kepolosan dan keluguan dan kepasrahan terpatri dalam dirinya.
Ketika dirawat di RS Wahidin orang tua dan istrinya diberikan penjelasan soal penyakit yang diderita Amat. Akhirnya, semua kerabat dekatnya tahu Amat dan istrinya HIV-positif. Namun, keluarganya pasrah menerima dan tak ada niat mengucilkan Amat dan istrinya. Tapi, tidak dapat dipungkiri jarak kini telah terbentang di antara mereka. Amat memang tidak mendapat diskriminasi tapi tidak ada lagi yang berani duduk dekat dengannya. Penduduk takut tertular. Penduduk pun ada yang percaya HIV menular melalui nyamuk dan keringat. Amat dan istrinya tahu diri. Amat dan istrinya memilih mengucilkan diri di rumah. Keduanya hanya keluar rumah kalau ada hal yang sangat perlu, ada kerabat yanghajatan atau meninggal dunia.
Kepada keluarga dekatnyaAmat memang berani terbuka dengan mengakui bahwa dirinya dan istrinya telah terpapar HIV, namun, tidakkepada orang lain. Dia tidak pernah mengatakan kepada siapa pun bahwa dia HIV-positif karena memang belum siap untuk terbuka kepada masyarakat. Tapi, kalau ada yang mengetahui status HIV-nya dari koran atau sumber lain Amat tidak bisa berbuat banyak.Dia mengaku hanya pasrah dan siap menerima konsekwensi dari masyarakat bila diminta meninggalkan kampung halamannya.
Amat sama sekali tidak tahu jika informasi tentang virus yang ada pada dirinya telah tersebar luas di kampungnya bahkan ke luar kampungnya. Dia yakin dan percaya tidak akan ada yng membocorkan identitas dirinya karena selama ini dia tidak pernah meminta kepada Dr Halim agar membeberkan status HIV-nya kepada orang lain. Apalagi dia belum siap untuk terbuka. Tapi, ketika disebutkan bahwa Dr Halimmenyampaikan status dirinya pada Kepala Dinas Kesehatan Enrekang, Amat seolah-olahtidak percaya. Ada rasa kecewa dalam ruang matanya karena dia belum siap lahir batin untuk membuka status HIV-nya kepadamasyarakat.
Berulang kali Amat menampik fakta itu dengan mengatakan: Tidak mungkin. Ungkapan itu penuh dengan kekecewaan. Namun, Amat tidak menyalahkan Dr Halim karena bagi Amat Pak Dokter ini sangat berjasa sehingga dia tidak akan menyoal mengapa Pak Dokter sampai hati menyampaikan identitas dan status dirinya kepada orang lain tanpa meminta persetujuannya.Dalam kasus ini perlu ditelusuri siapa yang membocorkan identitas Amat. Kalau Amat mau dia dapat menggugat, secara pidana dan perdata, pihak-pihak yang telah membocorkan rahasia pribadinya karena rahasia pribadi dijamin oleh UU. Perbuatan pihak-pihak yang membocorkan dan memberikan identisas diri dan status HIV-nya merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).
Satus HIV Amat yang bocorke publik ini bisa menjadi bumerang bagi upaya memutus mata rantai penyebaran HIV karena orang akan takut menjalani tes HIV. Kalau ini yang terjadi maka epidemi HIV di negeri ini akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS.
Ironisnya, pembeberan identitas orang-orang yang terdeteksi HIV-positif justru dilakukan oleh orang-orang yang dipaksa oleh hukum untuk merahasiakannya, seperti dokter dan tenaga medis. Ya, beruntunglah mereka karena korban mereka hanya sekelas Amat yang tidak mengetahui haknya untuk menuntut pihak yang telah membeberkan rahasia pribadinya.
Penduduk Jaga Jarak
Kabar bahwa dirinya HIV-positif kini sudah tersebar luas. Yang ada dalam dirinya hanyalahkepasrahan. Kini, hanya kata itu yang menemaninya selain istri, ibu dua buah hatinya: berumur 4 tahun dan 2,6 tahun. Kepala Dinas Kesehatan Enrekang, dr Bambang Arya, MKes, mengatakan Amat tidak mengalami diskriminasi di kampungnya.
Yang membuat Amat bertahan hidup adalah cinta dan kasih sayang yang diberikan ibunya selama ini. Setiap bulan sang ibu selalumenyisihkan uang untuk biaya Amat mengambil obat ke Makassar. Setiap bulan kerabat dekatnya juga selalu mengumpulkan uang untuk Amat.
Kalau dia ke Makassar mengambil obat dia enggan mampir ke rumahkerabatnya. Dia memilih tidur di lorong RS Wahidin atau di atas bangku di ruang tunggu. Terkadang Amat harus menunggu di rumah sakit antara empat hari sampai seminggu kalau suster Tesi atau Dr. Halimtugas luar.
Untuk memenuhi kebutuhan makan selama menunggu obat Amat membawa bekal dari rumah berupa makanan kecil dan air minum. Kalau Dr Halim dansuster Tesi tidak adaAmat tidak punya pilihan selain menunggu walaupun berhari-hari. Seratus rupiah sangat berarti baginya sehingga dia memilih menunggu daripada pulang dengan tangan kosong tanpa obat
Wakil Bupati Enrekang Lody Sindangan dan Ketua DPRD Enrekangmengatakan bahwa Amat mendapat perhatian khusus dan setiap bulan diberikan bantuan rutin untuk pengobatan. Selama ini baru sekali Amat menerima uang dari Dinas Kesehatan sebesar Rp 100.000. Yang memperhatikan kondisi Amat hanya orang tuanya dan kerabatnya. Pernyataan Suryani, staf Dinas Kesehatan Enrekang,yang mengatakan bahwa kulit Amat sudah megelupas juga tidak benar.
Menurut Amat, memang wajahnya pernah terkelupas tapi hal itu mungkin karena kondisinyapada saatitu dia demam dengan panas yang tinggi. Namun, setelah dirawat di RS Wahidinhal tersebut tidak pernah lagi terjadi. Saat ini kondisi fisiknya telah membaik setelah memakai obat antiretroviral (ARV).ARV adalah obat antiretroviral yang berguna untuk menahan laju penggandaan HIV di dalam darah. Dengan memakai ARV kondisi seorang Odha dapat dijaga agar tidak mudah diserang penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, sariawan, jamur, dll. Pemberian ARV harus melalui resep dokter karena ada persayaratan medis. ARV diberikan gratis melalui rumah sakit dan LSM yang ditunjuk Depkes. Ada 25 rumah sakit di Indonesia yang menyediakan ARV gratis, salah satu di antaranya RS Wahidin, Makassar.
Amat kaget ketikaDr Halimmemperlihatkan berita soal dirinya di sebuah harian yang terbit di Makassar ketika mengambil obat tanggal 7 Oktober 2005 lalu. Menurut Amat dia tidak pernah diwawancarai wartawan. Ini memang salah satu bentuk berita di media massa. Wartawan menulis berita berdasarkan wawancara dengan saksi tidak langsung, dokter dan tenaga medis (Lihat: Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, Penerbit PT Sinar Kasih, Jakarta, 2000).
“Apalah dayaku. Saya hanya orang kecil kalau pun saya protes tidak akan ada yang mau mendengarnya,” kata Amat dengan terbata-bata sambil terisak. Di satu pihak ada yang merasa bangga dengan memberitakan Amat sebagai orang yang tertular HIV, tapi di pihak lain Amat didera nestapa yang tidak akan berujung. Celakanya, pendertiaan objek berita tidak dirasakan oleh wartawan yang menulis berita tsb.
Lagi-lagi Amat berguman, “Terserah apa yang akan mereka lakukan padaku.”
Kalau semua orang sudah mengetahui status HIV-mu?
“Ya, apa boleh buat, tapi saya belum siap mengatakanhal itu secara terbuka kepada masyarakat,” ujar Amat dengan mata yang berkaca-kaca.
Ada pernyataan pejabat dalam berita di koran itu yang mengatakan bahwa Pemkab memberikan bantuan rutin setiap bulan kepadanya. Hal inilah yang sangatmenyakitkan bagi Amat karena itu tidak benar. Fakta ini menunjukkan wartawan tidak melakukan check and re-check sebagai salah satu kewajiban wartawan terhadap statement yang mereka peroleh. Pemberitaan tidak berimbang sehingga merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak lain.
Tapi, Amat tidak punya waktu untuk memikirkannya. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah kelangsungan hidup istri dan kedua anaknya yang masih kecil. Kedua anaknya masih terlalu kecil untuk memahami kondisi orang tuanya.
Masih panjang perjalanan yang akan mereka lalui, terlalu banyak kebutuhan yang mesti dipenuhi Amat sebagai orang tua sedangkan tenaganya sudah tidak seperti dulu lagi. Memang, setiap pagi Amat dan istrinya masih sempat bekerja di kebun yang tak jauh dari rumahnya, tapi dibutuhkan waktu yang panjang untuk memperoleh uang sampai tanaman panen.
Zainuddin, penduduk yang sekampung dengan Amat mengatakan setelah ada penjelasan dari Dinas Kesehatan tentang HIV/AIDS penduduktidak mengusik Amat lagi. Tapi, ada juga penduduk yang takut mendekatiAmat karena mereka percaya penyakit Amat akan menular lewat nyamuk dan keringat kalau bersentuhan. Penduduk tidak mendiskriminasi Amat tapi mereka menjaga jarak dengannya.
Menurut Zainuddin, pihak RS Wahidin pernah menyurati di kantor desa yang memberitahu bahwa dua penduduk desa itu terpapar HIV. Sekarang surat itu tidak diketahui keberadaannya. Suparman, juga sekampung dengan Amat, mengakuimemang ada jarak yang terbentang antara mereka dengan keluarga Amat karena mereka takut terpapar. Penduduk yang tinggal di dusun itu satu rumpun dan masih keluarga sehingga tidak akan pernah ada diskriminansi terhadap Amat.
Kepala DesaTongkonan Basse, Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang,Hamza Rahman,mengaku sangat prihatin dengan kondisi Amat tapi tidak tahu mau ke mana meminta bantuan agar beban hidupnya ringan.
Menurut Hamza, selama ini pemerintah kabupaten sama sekali tidak pernah memberikan bantuan selama dia menjabat sebagai kepala desa sejak sembilan bulan yang lalu.Hamza sangat berharap pada pihak agar memberikan bantuan kepada Amat terutama untuk meringankan beban orang tunya yang setiap bulan harus membiayainya ke Makassar mengambil obat.
Yang dilakukan Hamza saat ini adalah berusaha memberikan pengertian kepada penduduk bahwa kondisi Amat tidak perlu diributkan. Yang harus dilakukan adalah memberikan dukungan dan dorongan moril kepada Amat dalam menghadapi kenyataan hidup. Puskesmas menyediakan kondom gratis untuk Amat
Belakangan dikabarkan Amat tidak lagi mengambil obat ARV di RS Wahidin, Makassar, tapi di sebuah puskesmas di Makassar. Sayang, puskesmas tsb. enggan memberikan keterangan apakan Amat masih rutin mengambil obat ARV. Belakangan ada kabar (buruk) yang mengatakan bahwa Amat sudah berpulang September 2009. ***
[Ditulis oleh Syaiful W. Harahap, berdasarkan laporan Santiaji Syafaat, Oktober 2005,dari Makassar dan Enrekang, Sulawesi Selatan].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H