Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Seks Bebas dan Jijik AIDS

24 Januari 2011   23:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:13 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam berita Pergaulan Bebas Marak, AIDS Mengancam (Harian “Padang Ekspres edisi 21 Oktober 2000) ada beberapa pernyataan yang tidak rasional.

Pertama, dalam berita itu tidak dijelaskan definisi pergaulan bebas dan seks bebas.

Kedua, penggunaan terminologi penyakit kelamin tidak akurat karena selain istilah ini sudah lama ditinggalkan orang. Yang dikenal adalah STDs (sexually transmitted diseases) yang dalam bahada Indonesia dikenal sebagai penyakit menular seksual (PMS). Istilah STD pun kemudian dianjurkan WHO diganti dengan STI (sexually transmitted infection). Seperti diketahui ada infeksi pada saluran reproduksi yang sama sekali tidak berkaitan dengan hubungan seks. Selain itu tidak pula semua PMS terjadi pada alat kelamin karena bisa saja terjadi pada mulut dan kerongkongan. Seperti halnya infeksi HIV dan infeksi virus hepatitis B juga penyakitnya sama sekali tidak terjadi pada alat kelamin.

Ketiga, dalam berita itu tidak dijelaskan cara penularan dan pencegahan HIV.

Berita itu jelas sudah membuat stigma (cap buruk) terhadap remaja karena dalam berita itu hanya remaja yang diberitakan suka keluyuran malam. Padahal, yang keluyuran malam tidak hanya remaja. Di pusat-pusat hiburan malam yang menyediakan pelayanan seks pengunjung yang lebih banyak justru orang dewasa, bahkan ada yang sudah berusia lanjut.

Dalam konteks epidemi HIV yang menjadi persoalan pokok bukan sifat hubungan seksnya (di dalam atau di luar nikah, zina, kumpul kebo, selir, gundik, WIL dan PIL, dan lain-lain) tetapi kondisi hubungan seks tersebut (dilakukan dengan orang yang sudah terinfeksi HIV atau hubungan seks yang dilakukan tidak aman atau tidak memakai kondom). Jadi, penularan HIV tidak tergantung kepada sifat hubungan seks. Artinya, biar pun hubungan seks yang dilakukan bersifat zina kalau keduanya HIV-negatif, maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV. Ini fakta.

Sebaliknya, kalau salah satu pasangan yang melakukan hubungan seks HIV-positif tetap ada kemungkinan penularan HIV jika hubungan seks yang dilakukan tidak menerapkan seks aman biar pun hubungan seks itu dilakukan di dalam ikatan pernikahan yang sah. Buktinya, sudah 27 ibu rumah tangga terinfeksi HIV (27 Ibu Rumah Tangga Baik-baik Terkena AIDS, Media Indonesia, 6/7-2000). Padahal, mereka melakukan hubungan seks dengan suaminya dalam ikatan nikah yang sah. Berarti, penularan HIV bukan karena sifat hubungan seks tetapi kondisinya. Dalam hal ini suami mereka sudah tertular HIV dan menularkannya kepada istri mereka.

Maka, kalau ada yang mengatakan HIV menular melalui zina tentulah ibu-ibu rumah tangga tadi tidak akan tertular HIV karena sama sekali mereka tidak berzina. Jadi, HIV menular melalui zina merupakan mitos yang harus dipupus, tetapi tetap saja berkembang karena ada mahaguru yang menyuburkannya melalui media massa.

Karena epidemi HIV sudah masuk ke populasi, antara lain ditandai dengan infeksi HIV pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi, maka yang diperlukan adalah informasi yang jujur, fair, objektif dan akurat agar masyarakat dapat meningkatkan kepeduliannya terhadap upaya-upaya pencegahan yang realistis.

Maka amat disayangkan kalau tetap masih ada anggapan yang keliru terhadap HIV/AIDS menjadi berita, ironisnya anggapan itu tidak diluruskan dalam berita tersebut. Inilah yang terjadi pada berita di Harian Akcaya Pontianak Post berjudul Jijik dengan AIDS/HIV pada edisi 3 November 2000 tentang sikap pelajar SMU di Nanga Pinoh dan Serawai, Kalimantan Barat, terhadap HIV/AIDS.

Sebagai pelajar sekolah lanjutan atas seharusnya mereka lebih arif karena sudah menerima pelajaran biologi. Sayang dalam berita itu tidak dijelaskan apa dan bagiamana kejijikan mereka terhadap HIV. Soalnya, sebagai virus tentu saja HIV sama dengan virus-virus penyebab penyakit lain seperti hepatitis B. Maka, kalau ada di antara pelajar itu yang mengidap hepatitis B tentulah dia juga menjijikkan karena cara penularannya sama, antara lain melalui hubungan seks yang tidak aman dengan orang yang sudah mengidap hepatitis B.

Kalau jijik yang dimaksud pelajar itu adalah sikap tidak suka melihat sesuatu karena kotor, keji dll. yang bisa mengakibatkan mual dan muntah, maka HIV/AIDS sama sekali tidak menjijikkan karena jika ditilik dari aspek fisik HIV/AIDS justru tidak menunjukkan gejala-gajala yang khas pada bagian tubuh seseorang yang terinfeksi HIV. Bandingkan dengan penyakit kusta atau beberapa jenis PMS seperti kencing nanah, sifilis atau herpes yang justru menunjukkan gajala pada tubuh.

HIV/AIDS menjijikkan mereka karena "selain penderitanya dikucilkan warga, mereka yang terjangkit pun dipastikan tidak akan punya masa depan yang baik." Astagafirullah. Ini 'kan sudah mendahului kehendak Tuhan. Tanpa HIV/AIDS pun tidak ada yang mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi terhadap seseorang. Inilah rahasia alam yang hanya diketahui oleh Yang Maha Kuasa. Buktinya, tidak sedikit bayi yang hanya berumur beberapa detik, bahkan ada yang sudah menghembuskan napas di dalam rahim ibunya.

Lagi pula kalau bertolak dari definisi jijik di atas tadi, tentulah alasan yang mereka kemukakan itu tidak tepat. Seharusnya pelajar itu justru jijik melihat pejabat yang korupsi karena perbuatan mereka itu dilarang Allah swt dan menyengsarakan rakyat. Jika pelajar itu tetap melihat HIV/AIDS lebih menjijikkan daripada kusta atau PMS tentulah sudah ada yang salah pada pola pikir mereka. Ini sangat disayangkan karena sebagai generasi penerus bangsa mereka sudah tidak bisa memakai penalarannya dengan baik.

Keprihatinan kian besar karena di saat informasi seputar HIV/AIDS yang objektif, akurat dan fair sudah banjir, eh, masih saja ada pelajar yang tidak bisa melihat HIV/AIDS dengan otak yang jernih. Patut dipertanyakan: apa yang sudah diberikan guru-guru mereka tentang HIV/AIDS di sekolah? Tentu saja hanya guru-guru yang berhati mulia itu yang bisa menjawabnya.

Sebaliknya, hal ini membuktikan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang dijalankan selama ini tenyata tidak mengubah sikap, pandangan dan persepsi sebagian besar penduduk negeri ini terhadap HIV/AIDS. Bukan hanya murid SMU seperti di Nanga Pinoh dan Serawai itu, tetapi di Jakarta yang dibanjiri informasi yang akurat pun tetap saja ada pakar, tokoh, pejabat tinggi dan maha guru (profesor) yang tidak bisa melihat HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Celakanya, biar pun pendapat mereka keliru, tetapi justru itu yang dipegang banyak orang karena pendapat itu dibalut dengan moral dan agama. Tetapi, lagi-lagi mereka tidak jujur karena hepatitis B dan PMS pun menular sebagaimana layaknya HIV. Maka, kalau jujur tentulah pengidap hepatitis B dan PMS juga harus diperlakukan seperti Odha.

Jika sikap kita terhadap HIV/AIDS tidak bergeser dari penyangkalan terhadap epidemi HIV dan stigmatisasi terhadap Odha, maka HIV akan menjadi bencana besar bagi bangsa ini. Dalam kaitan inilah media massa memegang peranan yang sangat besar. Tanpa usaha yang realistis maka epidemi HIV akan menjadi malapetaka bagi bangsa ini. ***

[Sumber: Syaiful W. Harahap, Selisik Media, Newsletter HindarAIDS No. 59, 18 Desember 2000]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun