Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penyebaran HIV/AIDS di Batam, Kep Riau

18 Januari 2011   23:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:25 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

71 Persen Penularan HIV-Aids di Batam Lewat PSK.” Ini judul berita di www.tribunnewsbatam.com (21/10-2010). Disebutkan 71 persen faktor risiko (cara penularan) HIV di Batam, Prov Kepulauan Riau, terjadi melalui hubungan seksual tidak aman dengan pekerja seks komersial (PSK).

Sayang, fakta di atas tidak dibawa ke realitas sosial sehingga angka itu tidak memberi makna terhadap kehidupan. Dengan angka 71 persen kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual yang tidak aman (tidak pakai kondom), dalam hal ini dengan PSK, mengesankan laki-laki di Batam, baik penduduk asli maupun pendatang, banyak yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

Ada fakta yang luput dari perhatian terkait dengan data di atas, yaitu: yang menularkan HIV kepada PSK dan yang terular HIV dari PSK.

Pertama, ada kemungkinan PSK yang menularkan HIV kepada laki-laki ‘hidung belang’ di Batam sudah mengidap HIV ketika mereka tiba di Batam sebagai PSK. Jika ini yang terjadi maka jumlah laki-laki ‘hidung belang’, penduduk asli atau pendatang,yang berisiko tertular HIV sangat banyak. Hitung-hitungannya setiap bulan adalah: jumlah PSK x 3- 5 laki-laki ‘hidung belang’ x 20 hari kerja. Angka insiden penularan IMS ((infeksi menular seksual, yaitu penyakit-penyakit yang tertular melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) dan HIV atau dua-duanya sekaligus terhadap laki-laki ‘hidung belang’ sangat besar jika laki-laki ‘hidung belang’ tidak memakai kondom setiap kali sanggama dengan PSK.

Kedua, ada kemungkinan PSK yang terdeteksi HIV ditularkan oleh laki-laki ‘hidung belang’, penduduk asli atau pendatang. Jika ini yang terjadi maka penduduk Batam yang mengidap HIV/AIDS banyak yang tidak terdeteksi. Dalam kehidupan sehari-hari mereka itu ada yang sebagai suami, pacar, selingkuhan, lajang, remaja atau PIL (pria idaman lain). Perilaku laki-laki ‘hidung belang’ ini dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS pada bayi. Anak-anak itu tertular HIV dari ibunya. Sedangkan ibunya tertular dari suami.

Data terkait HIV/AIDS di Batam disebutkan: sejak 2003 sampai September 2010 di VCT Kasper HIV Centre RSBK tercatat 14.343 yang datang konsultasi dan tes HIV. Hasilnya, 1.364 di antaranya terdeteksi HIV. Dari jumlah itu HIV terdeteks pada 603 yang sudah mencapai masa AIDS. Dari jumlah itu 45 di antaranya adalah bayi. Kamatian terkait AIDS sudah mencapai 86, 4 di ataranya anak-anak.

Kematian terkait AIDS juga berdampak terhadap jumlah kasus HIV/AIDS di masyarakat. Tapi, fakta ini sering tidak dibawa wartawan ke realitas sosial. Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang meninggal terjadi pada masa AIDS yaitu setelah mereka tertular HIV antara 5 – 15 tahun sebelumnya. Jika 82 Odha dewasa yang meninggal mempunyai pasangan maka sudah ada 82 lagi yang berisiko tinggi tertular HIV. Kalau ada di antara yang meninggal ini PSK maka pada kurun waktu antara 5-15 tahun seorang PSK sudah meladeni ribuan laki-laki ‘hidung belang’.Laki-laki ‘hidung belang’ yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.

Kepala (VCT) Kasper HIV Centre RSBK, dr Francisca L Tanzil, mengatakan pada periode tahun 2010 setiap bulan ada sekitar 200 hingga 300 orang yang datang ke VCT di RSBK Batam untuk konsultasi sekaligus menjalani tes HIV. Namun, tidak semuan datang karena kesadaran sendiri, tapi karena dirujuk dari rumah sakit lain.

Memang, ketika epidemi HIV sudah merata di semua lapisan masyarakat tenaga medis di puskesmas, klinik, poliklinik, dan rumah sakit harus menerapkan PICT (Provider Initiated Testing and Counseling). Pasien-pasien yang datang ke layanan kesehatan karena keluhan kesehatan secara umum dengan gejala (simptomatik). Gejala-gejala itulah yang diamati oleh dokter. Jika terkait dengan HIV/AIDS maka perlu dilakukan diagnosis untuk memastikan penyebab gejala-gejala tersebut. PITC dilakukan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip dasar tes HIV yaitu: konseling, persetujuan, anonimitas, dan kerahasiaan. Pasien juga tetap berhak untuk menolak.

Menurut dr Francisca: "Penyuluhan kepada masyarakat tentang kesadaran untuk konsultasi atau tes HIV terutama kepada komunitas berisiko selalu kita lakukan. Khusus untuk komunitas berisiko seperti PSK, kelompok Gay dan Waria sangat dianjurkan untuk melakukan tes ini, namun kesadaran untuk hal ini masih sangat rendah."

Dari data yang diungkapkan terkait dengan faktor risiko penularan HIV di Batam (71 persen tertular dari PSK) maka yang menjadi sasaran utama penyuluhan adalah laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang. Persoalannya adalah sosialisasi kondom diabaikan. Pelacuran pun tidak ditangani dengan berdasarkan aspek kesehatan masyarakat.

Fakta tentang penyebaran HIV melalui kegiatan pelacuran di Prov Riau dan Prov Kep Riau juga menjadi perhatian pemerintan Singapura. Laki-laki Singapura dianjurkan tes HIV sepulang kerja atau wisata ke dua daerah itu. Bahkan, PSK yang ‘praktek’ di Batam dikhawatirkan akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara nasional. (Lihat: Syaiful W. Harahap, Batam bisa Jadi ”Pintu Masuk” Epidemi HIV/AIDS Nasional, http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/07/batam-bisa-jadi-%E2%80%9Dpintu-masuk%E2%80%9D-epidemi-hivaids-nasional/).

Kalau saja lokasi atau lokalisasi pelacuran dan tempat-tempat yang menyediakan tempat untuk hubungan seksual sebagai praktek pelacuran di Batam ditangani maka bisa diterapkan upaya untuk menurunkan insiden penularan IMS dan HIV seperti yang terjadi di Thailand.

Di Thailand dijalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Secara rutin PSK menjalani tes IMS. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan PSK tadi meladeni laki-laki ‘hidung belang’ tanpa kondom. Germo atau mucikari diberikan sanksi hukum mulai dari peringatan sampai pencabutan izin usaha. Di Thailand, tempat-tempat yang menyediakan praktek pelacuran diberikan izin usaha.

Di beberapa daerah di Indonesia ada Perda AIDS tapi yang menjadi sasaran adalah PSK. Seperti di Merauke, Papua, sudah ada beberapa PSK yang dihukum. Tapi, pada saat yang sama puluhan PSK (baru) mengisi ‘lowongan’ yang ditinggalkan PSK yang ditangkap.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun