Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perda AIDS Yogyakarta Mengabaikan (Praktek) Pelacuran di Sarkem

15 Januari 2011   08:16 Diperbarui: 25 Juli 2022   14:00 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: edition.cnn.com)

Konsumsi Kondom di Sarkem 1.500 Biji Per Bulan.” Ini judul berita di tribunnews.com (28/12-2010). Dikabarkan setiap bulan PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) DI Yogyakarta menyalurkan 900 buah kondom. Tapi, menjelang akhir tahun 2010 permintaan kondom lokalisasi Pasar Kembang (Sarkem) Yogyakarta meningkat menjadi 1.500 buah setiap bulan. Hal ini disampaikan oleh Fita Purwantari, 21, Community Organizer Divisi Perempuan Pekerja Seks, Program Pengorganisasian Komunitas PKBI DIY.

Pengalaman Thailand dalam menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa melalui hubungan seksual di di lokalisasi pelacuran atau rumah bordir adalah menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’. Artinya, laki-laki ‘hidung belang’ wajib memakai kondom jika sanggama dengan pekerja seks komersial (PSK).

Program Thailand itu menjadi ide pembuatan peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangan AIDS di Indonesia. Sekarang sudah ada 43 perda, termasuk Perda Prov DI Yogyakarta No. 10 Tahun 2010 tentang penanggulangan HIV dan AIDS. Celakanya, program ‘wajib kondom 100 persen’ itu tidak diterapkan dengan sepenuh hati di Indonesia. Akibatnya, pasal tentang kondom di perda-perda AIDS hanya ‘hiasan’ belaka.

Bahkan, ada perda yang mengabaikan lokasi dan lokalisasi pelacuran dan praktek pelacuran di daerahnya. DI Yogyakarta, misalnya, dalam Perda AIDS Prov DI Yogyakarta sama sekali tidak ada pasal yang berkaitan dengan kegiatan pelacuran. Memang, di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran yang dilegalisir secara de jure, tapi secara de facto lokasi atau lokalisasi (praktek) pelacuran ada di semua daerah. Tapi, karena banyak pemimpin yang ‘berbaju moral’ maka fakta empiris tentang praktek pelacuran dianggap tidak ada.

Terkait dengan Perda AIDS Yogya jelas mengabaikan Sarkem. Padahal, dengan kegiatan pelacuran di Sarkem dapat dilihat dengan mata telanjang atau kasat mata.

Baca juga: Tanggapan terhadap Perda AIDS Yogyakarta 

Fita mengatakan, dari 221 PSK di Sarkem PKBI belum mengantongi data berapa persentase kondom yang terpakai di lokalisasi. “Kami hanya tahu bahwa kami mendistribusikan ke sana dan hingga sekarang belum pernah ada retur," ujar Fita.

Kalau saja program di Thailand diterapkan dengan sepenuh hati tentulah yang dikeluhkan Fita tidak akan terjadi. Thailand menerapkan pemantauan yang konkret yaitu menjalankan survailan tes IMS (infeksi menular seksual, yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, seperti sifilis, GO, klamidia, virus hepatitis B, dll.) terhadap PSK.

Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan ada PSK yang meladeni laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom. Maka, sanksi pun diberikan kepada germo atau mucikari mulai dari peringatan sampai pencaburan izin usaha. Ini memberikan kekuatan posisi tawar PSK untuk menolak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom.

Soalnya, fakta menunjukkan kalau ada PSK yang menolak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom maka laki-laki itu akan memakai ‘tangan’ germo atau mucikari untuk memaksa PSK meladeninya.

Lebih celaka lagi di beberapa perda yang diberikan sanksi hanya PSK. Ini membuat laki-laki ‘hidung belang’ di atas angin. Seperti di Kab Merauke, Papua, sudah ada PSK yang dihukum. Tapi, tanpa disadari oleh Pemkab Merauke pada saat yang sama puluhan PSK (baru) menggantikan PSK yang ditangkap.

Akan berbeda jika yang diberikan sanksi germo atau mucikari karena mereka takut kehilangan usaha maka mereka akan memihak kepada PSK.

Tapi, karena di Indonesia ‘baju moral’ dipakai dalam menanggulangi epidemi HIV maka yang menjadi sasaran tembak adalah PSK. Pemerintah dan masyarakat Indonesia menutup mata terhadap perilaku amoral laki-laki ‘hidung belang’.

Padahal, dalam kehidupan sehari-hari laki-laki ‘hidung belang’ bisa sebagai seorang suami, pacar, atau selingkuhan perempuan. Maka, tidak mengherankan kalau kian banyak ibu rumah tangga (baca: perempuan) yang terdeteksi HIV.

Namun, pemerintah masih menutup mata terhadap fakta empiris ini, termasuk Pemprov DI Yogyakarta. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun