Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Niat Bunuh Diri Odha pada Masa AIDS

5 Januari 2011   09:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:56 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Berbagai persoalan yang terjadi di seputar Odha (Orang dengan HIV/AIDS), seperti stigmatisasi (cap negatif) dan kenyataan bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan, memang (dapat) membuat mereka berpikir pendek berupa keinginan untuk bunuh diri. Jangankan Odha, yang merasa dirinya pernah melakukan hubungan seksual tidak aman dengan orang yang tidak diketahui status HIVnya pun panik kalau menderita gejala yang mirip dengan gejala-gejala mayor dan minor AIDS hingga mencoba bunuh diri.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak Odha putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya. Hal itulah yang sering dialami Agus Sulaiman, 23, relawan di Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Jakarta. Ketika dua tahun lalu Agus mendampingi seorang Odha, pria berumur 47 tahun, yang sudah memasuki masa AIDS, Odha tadi sering meminta agar Agus mau membunuhnya. "Saya bayar Rp 5 juta asal kau mau menusuk saya dengan pisau," kata Odha itu sambil memperagakan cara yang diinginkannya.

Tapi, Agus tahu persis kalau permintaan itu hanya merupakan perwujudan keputusasaan Odha. Buktinya, kalau Agus memegang pisau, eh, malah Odha itu ketakutan setengah mati. Padahal, Agus ingin mengupas buah apel. "Hampir setiap hari dia mengutarakan permintaannya itu," kata Agus yang sudah menjadi relawan YPI sejak tahun 1993 mengenang pengalamannya menemani Odha tadi sampai meninggal dunia.

Sedangkan Odha yang belum memasuki masa AIDS keputusasaan mereka sering diwujudkan dengan decakan kekecewaan atau gumaman. Ada pula yang mencoba melupakan penyakitnya dengan membesar-besarkan hati.

Keinginan untuk mengakhiri hidup itu rupanya juga sudah pernah dilakukan Odha yang didampingi Agus tadi. Bahkan, sebelum memasuki masa AIDS pun Odha tadi sudah beberapa kali mencoba bunuh diri. Misalnya, menggantung diri dengan tali yang rapuh atau memotong urat nadi sambil berteriak meminta tolong. Dalam keadaan putus asa, baik karena stigmatisasi dan dikucilkan keluarga atau karena tidak ada harapan untuk sembuh, tentulah mereka membutuhkan pendamping yang dapat mengerti dan menyelami perasaan mereka.

Dalam kaitan inilah kehadiran relawan, yang dalam hal ini berfungsi sebagai buddies (sahabat pendamping), sangat diharapkan karena perawat di rumah sakit tidak selamanya mengerti penderitaan Odha. Soalnya, tidak sedikit tenaga medis yang belum berempati terhadap Odha. Bahkan, beberapa kali terjadi rumah sakit menolak pasien Odha. Ada pula rumah sakit yang membakar peralatan yang dipakai pasien yang kemudiandiketahui sebagai Odha.

Namun, sangat disayangkan ada keluarga Odha yang memandang relawan dengan sebelah mata. Bahkan, mereka mengganggap relawan sebagai "malaikat" sehingga tidak perlu dipikirkan risiko yang dihadapi relawan dalam menemani anggota keluarga mereka yang Odha tadi. Agus, misalnya, sering dipanggil secara kasar oleh Odha yang ditemaninya. Untunglah Agus menyadari hal itu terjadi karena kondisi psikologis Odha yang tidak stabil.

Kalau relawan mau mengerti, keluarga Odha justru sebaliknya. Ada yang tidak mau memahami ongkos yang dikeluarkan seorang relawan. Mereka harus berhadapan dengan orang yang sudah putus asa dengan tingkah yang bermacam-macam pula.

Bahkan, ada keluarga Odha yang hanya sekadar membesuk seperti melihat famili atau tetangga yang sedang sakit. Datang, lalu duduk sebentar kemudian pergi. Padahal, dalam masa AIDS kondisi seorang Odha membutuhkan kedekatan emosional, terutama dengan orang-orang yang dicintainya. Dalam kaitan ini tentu saja anggota keluarga yang paling dekat.

Karena berbagai alasan yang tidak rasional, seperti malu diketahui tetangga kalau anggota keluarganya dirawat sebagai Odha dan lain-lain, diperkirakan akan kian banyak diperlukan relawan.

Persoalannya, sudah saatnya kita perlu memikirkan pengertian relawan secara objektif karena ada kesan relawan yang mendampingi Odha tidak memerlukan imbalan yang layak, baik dalam bentuk materi maupun penghargaan. Soalnya, ada relawan yang sudah susah payah mengurus Odha, eh, keluarganya malah menganggapnya seperti sampah. Bahkan, ada relawan yang dituduh senang setelah Odha yang didampinginya meninggal dunia. "Kamu senang, ya, dia sudah mati," kata anggota keluarga seorang Odha kepada relawan yang mendampingi Odha itu sampai menghembuskan nafas terakhirnya.

Ada baiknya pengertian relawan, terutama buddies, diluruskan sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda di masyarakat. Selama ini relawan berarti orang-orang yang mau menyisakan waktunya untuk mendampingi Odha sebagai teman berbincang dan berbagi rasa. Tapi, kalau mendampingi Odha yang sudah mencapai masa AIDS siang malam tentu tidak dapat lagi diartikan sebatas relawan.

Bertolak dari pengalaman Agus ini perlu ada satu wadah yang dapat menampung keluhan-keluhan buddies. Para buddies saling mengutarakan masalah yang mereka hadapi selama mendampingi Odha. Wadah ini bisa sebagai tempat curhat (curahan hati) atau sebagai media untuk saling tukar pengalaman. Paling tidak melalui wadah itu semua persoalan yang dihadapi selama mendampingi Odha dibahas bersama untuk menemukan jalan keluarnya.

Bisa juga pembicaraan antara buddies itu dihadiri keluarga Odha, tapi bukan Odha yang sedang mereka dampingi. Hal ini diperlukan untuk memberikan gambaran kepada keluarga Odha tentang situasi psikologis yang dihadapi seorang Odha dan kondisi yang dialami para buddies. Di Australia ada Ankali Project yang merupakan wadah para buddies mencurahkan isi hatinya.

Bagaimana pun, masalah yang dihadapi buddies ketika mendampingi Odha bisa mempengaruhi kondisi psikologis mereka. "Saya hampir meninggalkannya," kata seorang buddies tentang Odha yang didampinginya karena dinilai perlakuan Odha itu terhadap dirinya sudah melewati batas. Misalnya, kalau meminta sesuatu dengan berteriak sambil memaki-maki. Kadang-kadang melemparkan barang-barang yang ada di dekatnya tanpa sebab yang jelas.

Jadi, melalui forum itulah para buddies dapat mencurahkan isi hatinya. Agar persoalan dapat diatasi, tentulah kehadiran psikolog sangat diperlukan. Psikolog akan memberikan masukan yang berarti bagi buddies dalam menghadapi Odha karena yang mereka hadapi jelas kondisi psikologis semata.

Seorang pemerhati masalah HIV/AIDS yang tidak mau disebut namanya merasa sangat kecewa karena wadah curhat khusus untuk buddies tidak dikembangkan di Indonesia. Kalau wadah untuk curhat itu tidak ada, "Persoalan yang dihadapi buddies akan bisa mempengaruhi sikap dan perilaku mereka," katanya. Maka, dia pun mengharapkan agar wadah curhat dapat dikembangkan oleh LSM yang mempunyai buddies.***

[Sumber: Syaiful W. Harahap, Newsletter WartaAIDS Nomor 51, 6 September 1999]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun