Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tanggapan terhadap Rancangan Perda AIDS Kota Medan

23 Desember 2010   00:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:29 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak Ada Cara Pencegahan dan Penanggulangan Epidemi HIV yang Konkret

Pemkot Medan dan DPRD Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut), sedang membahas Rancangan Peraturan Daerah Kota Medan tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Sampai sekarang sudah 41 daerah, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang menelurkan Perda Pencegahan dan Penanggulangan AIDS. Di Sumut sendiri sudah ada dua daerah yang mempunyai Perda AIDS yaitu: (1) Kab Serdang Bedagai melaui Perda No 11 Tahun 2006, dan (2) Kota Tanjung Balai No 6 Tahun 2009.

Rancangan Perda Kota Medan ini hanya copy-paste dari perda-perda yang sudah ada. Kasus HIV/AIDS di Kota Medan sampai Maret 2010 dilaporkan 261, 45 di antaranya meminum obat antiretroviral (ARV). Ini menunjukkan suda ada 45 penduduk Kota Medan yang AIDS (mereka tertular HIV antara tahun 1995 dan 2005). Dalam laporan kumulatif kasus HIV/AIDS yang dikeluarkan oleh Ditjen PPM & PLP Depkes RI sampai Desember 1995 di Sumatera Utara sudah dilaporkan 2 kasus HIV+ dan 1 AIDS. Tidak ada satu pun pasal yang menawarkan cara-cara penanggualngan dan pencegahan HIV yang konkret.

Odha Bukan ODHA

Pada bagian menimbang di ayat a disebutkan: bahwa kasus HIV dan AIDS di Kota Medan terus meningkat karena adanya penularan serta wilayah penyebarannya semakin meluas sehingga perlu di lakukan upaya penanggulangan secara optimal. Selanjutnya di ayat b disebutkan: bahwa untuk melaksanakan penanggulangan HIV dan AIDS sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu di lakukan secara terpadu oleh pemerintah dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat melalui upaya peningkatan perilaku pola hidup sehat yang terkait dengan HIV dan AIDSserta religius, ketahanan keluarga, edukasi sedini mungkin kepada kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, pencegahan penularan, perawatan, dukungan dan pengobatan orang dengan HIV dan AIDS serta menghormati harkat dan martabat orang dengan HIV dan AIDS dan keluarganya.

Tapi, dalam rancangan perda ini sama sekali tidak ada cara-cara konkret yang ditawarkan. Di pasal 1 ayat 7 disebutkan: Penanggulangan HIV dan AIDS adalah serangkaian upaya terpadu dan peningkatan peri laku hidup sehat untuk menekan laju penularannya melalui kegiatan promosi, pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan berdasarkan data dan fakta ilmiah.

Upaya terpadu yang konkret dalam menanggulangi epidemi HIV sama sekali tidak ada dalam rancangan Perda AIDS Kota Medan ini.

Pasal 1 ayat 10 disebutkan: Orang dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat ODHAadalah orang yang sudah terinfeksi HIV baik pada tahap belumada gejala maupun yang sudah ada gejala. [Tanggapan: Odha bukan singkatan tapi kata yang mengacu ke Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS. Maka, tidak ditulis kapital karena bukan akronim tapi kata. Isitlah ini diperkenalkan oleh Prof Dr Anton M. Moeliono, pakar bahasa di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, setelah diskusi dengan staf Yayasan Pelita Ilmu Jakarta tanggal16/11-1995 (Lihat: Catatan kaki hal. 17 pada buku Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000)]

Pasal 1 ayat 11 disebutkan: Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif yang selanjutnya disingkat NAPZA adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hi langnya rasa, mengurangi sampai menghi langkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. (Tanggapan: tidak semua zat adiktif masuk kategori narkotik. Istilah yang tepat adalah narkoba yaitu narkotik dan bahan-bahan berbahaya. WHO, Badan Kesehatan Sedunia, menyebutkan substance abuse yaitu penyalahgunaan zat karena yang disalahgunakan adalah zat yang ada di dalam obat, seperti morfin, heroin, dll. Beberapa jenis narkoba juga dipakai sebagai obat, seperti morfin untuk obat anestesi. Narkoba juga mencakup psikotropika).

Selanjutnya di pasal 1 ayat 12 disebutkan: NAPZA suntik adalah NAPZA yang penggunaannya di lakukan dengan cara suntik. (Tanggapan: Tidak semua zat yang tergolong narkotik, psikotropika dan zat adiktif disalahgunakan dengan cara menyuntik. Ganja, misalnya, dihirup. Begitu pula dngan shabu-shabu juga dihirup. Narkoba yang penyalahgunaannya disuntikkan adalah putauw yang terbuat dari heroin).

Pada pasal 1 ayat 13 disebutkan: Injecting Drug User atau IDU adalah pengguna napza suntik yang selanjutnya disingkat penasun adalah setiap orang yang menggunakan narkotika, psikotropika dan zat adiktif dengan cara suntik termasuk pasien/orang sakit dan berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan, dan upaya pengobatan/pemulihan ketergantungan napza. (Tanggapan: Tidak semua napza bisa disuntikan. Pasien bedah memakai morfin sebagai obat anestesi).

Risiko penularan HIV melalui penyalahguna narkoba hanya bisa terjadi kalau narkoba disuntikkan secara bersama-sama dan jarum suntik serta tabung jarum dipakai secara bergiliran dengan bergantian. Risiko penyebaran HIV bisa terjadi kalau ada di antara mereka yang mengidap HIV. Sedangkan narkoba yang dipakai dengan cara diminum dan dihirup tidak berisiko menularkan HIV. Begitu pula dengan narkoba yang disuntikkan kalau jarum dan tabung tidak dipakai bergantian maka tidak ada risiko penularan HIV melalui jarum suntik.

Pasal 1 ayat 17 disebutkan: Kelompok rentan adalah mereka yang karena lingkup pekerjaannya, lingkungan sosial, rendahnya status kesehatan, daya tahan dan kesejahteraan keluarga akan mempunyai potensi melakukan perilaku beresiko terinfeksi HIV dan AIDS. (Tanggapan: perilaku yang berisiko tetular HIV bukan milik kalangan, kelompok atau komunitas tapi tergantung apda perilaku orang per orang. Sesorang bisa rentan tertular HIV jika melakukan salah satu atau beberapa perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Kerentanan terhadap HIV tergantung pada perilaku orang per orang yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan lingkup pekerjaan, lingkungan sosial, status kesehatan yang rendah, daya tahan dan kesejahteraan keluarga).

Perilaku tinggi tertular HIV adalah: (1) Melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, serta homoseksual dengan pasangan yang berganti-ganti; (2) Melakukan hubungan seksual tanpa kondom,di dalam atau di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks (PSK) langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘perempuan pemijat di panti pijat’, ‘cewek kampus’, ‘mahasiswi’, ‘anak sekolah’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, ‘cewek SPG’, WIL, dll.), serta pelaku kawin-cerai; (3) Menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV; (4) Memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian; dan (5) Menyusui air susu ibu (ASI) dari perempuan yang HIV-positif.

Ibu Hamil

Pasal 1 ayat 18 disebutkan: Kelompok populasi tinggi adalah kelompok yang mempunyai perilaku beresiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS meliputi Pekerja Seks, pelanggan pekerja seks, orang yang berganti-ganti pasangan seksual, pria berhubungan seks dengan pria, waria, narapidana, anak jalanan, pengguna napza suntik beserta pasangannya. (Tanggapan: Yang dimaksud dengan populasi tinggi mungkin adalah populasi kunci. Kelompok atau kalangan yang disebutkan tidak otomatis berisiko karena ada di antara mereka yang menerapkan seks aman yaitu memakai kondom).

Pasal 1 ayat 23 disebutkan: Prevention Mother to Child Transmision yang disingkat PMTCT adalah pencegahan penularan HIV dan AIDS dari ibu kepada bayinya. Pasal ini diperkuat pula di pasal 10 ayat 2: Setiap Perempuan hamil yang telah diketahui terinfeksi HIV wajib melakukan upaya pencegahan HIV ke janin yang dikandungnya. (Tanggapan: Yang menjadi persoalan terkait dengan ibu hamil adalah banyak perempuan atau istri yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Beberapa kasus HIV pada perempuan terdeteksi setelah mereka hamil, bahkan menjelang persalinan).

Dalam rancangan perda ini sama sekali tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil. Coba lihat Malaysia yang menerapkan skrining rutin (sejak 1998) dan survai khusus terhadap perempuan hamil. Ini langkah yang konkret untuk mendeteksi infeksi HIV pada perempuan hamil. Sedangkan di Indonesia tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil.

Pasal 1 ayat 39 disebutkan: Perilaku Seksual Tidak Aman adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom. (Tanggapan: perilaku seksual yang berisiko juga bisa terjadi jika hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dilakukan tanpa kondom dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung. Laki-laki ‘hidung belang’ justru tidak berganti-ganti pasangan karena mereka mempunyai ‘pacar’ atau pasangan tetap di kalangan PSK. Di Jawa Timur pacar PSK disebut ‘kiwir-kiwir’. Laki-laki ‘hidung belang’ ini tidak memakai kondom karena mereka menganggap PSK itu sebagai pasangan tetapnya).

Pasal 1 ayat 44 disebutkan: Perilaku pola hidup sehat adalah perilaku menghindari hal-hal/kegiatan yang menyebabkan penularan HIV-AIDS. [Tanggapan: Slogan ini mendorong stigmatisasi (pemberian cap buruk atau negatif) dan diskriminasi (perlakuan yang membeda-bedakan) karena mengesankan orang-orang yang tertular HIV karena pola hidup mereka tidak sehat. Bagaimana dengan yang tertular melalui transfusi darah, alat-alat kesehatan, istri yang tertular dari suami, dan anak-anak yang tertular dari ibunya? Apakah pola hidup mereka tidak sehat?].

Pasal 1 ayat 45: Penanggulangan adalah segala upaya dan kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan pencegahan, penanganan dan rehabilitasi. (Tanggapan: Tidak ada pasal yang menawarkan cara penanggulangan epidemi HIV yang konkret dalam rancangan perda ini).

Pasal 3 ayat a: Tujuan penanggulangan HIV dan AIDS adalah melindungi masyarakat dan memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS. (Tanggapan: Dalam rancangan perda ini tidak ada cara yang konkret untuk melindungi masyarakat dari risiko tertular HIV dan tidak ada pula cara untuk memutus mata rantai penularan HIV).

Pasal 9 ayat 2: Pencegahan merupakan upaya terpadu memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS di seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan di pasal 1 ayat 46: Pencegahan adalah upaya memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS di masyarakat, terutama kelompok rawan dan rentan tertular dan menularkan HIV dan AIDS. (Tanggapan: Tidak ada pasal yang menawarkan cara memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS yang konkret dalam rancangan perda ini).

Salah satu perilaku yang menempatkan seseorang berisiko tinggi tertular HIV adalah melakukan perilaku berisko. Pertanyaannya adalah: Apakah Pemkot Medan bisa menjamin bahwa tidak akan ada laki-laki dewasa penduduk asli atau pendatang di Medan yang melakukan hubungan seksual berisiko di Kota Medan, di luar Kota Medan atau di luar negeri?

Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada masalah penyebaran HIV melalui hubungan seksual di Kota Medan. Faktor risiko yang ada tinggal risiko melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba, jarum dan alat-alat kesehatan, transfusi darah, dan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka ada risiko besar yang dihadapi masyarakat Kota Medan yaitu ada laki-laki ‘hidung belang’ yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di Kota Medan. Semua terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah mengidap HIV tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV melalui perilaku berisiko.

Pasal 10 ayat 1 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan upaya pencegahan. (Tanggapan: Persoalan besar yang dihadapi terkait dengan epidemi HIV adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS yaitu antara 5 dan 15 tahun setelah tertular HIV. Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi justru pada orang-orang yang tidak menyadari diri mereka sudah mengidap HIV. Mereka terdeteksi HIV/AIDS ketika berobat karena penyakit terkait dengan infeksi oportunistik dengan latar belakang perilaku yang berisiko).

Pada pasal 11 ayat 1 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dilarang mendonorkan darah, produk darah, cairan sperma, organ, dan /atau jaringan tubuhnya kepada orang lain. (Tanggapan: Yang didonorkan adalah sperma baik untuk bayi tabung atau bank sperma. Di dalam sperma tidak ada HIV. Majelis Ulama Indonesia/MUI mengeluarkan fatwa haram untuk donor sperma dan bank sperma.).

Ekor Program

Pasal 12 disebutkan: Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan dengan memakai kondom. Ini terkait dengan pasal 1 ayat 39: Perilaku Seksual Tidak Aman adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom. (Tanggapan: Hubungan seksual yang berisiko tertular HIV tidak hanya yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti, tapi juga dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung).

Pasal 13 ayat (1) Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan wajib memberikan informasi atau penyuluhan secara berkala mengenai pencegahan HIV dan AIDS kepada semua karyawannya. Ayat (2) Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan wajib mendata karyawan yang menjadi tanggungjawabnya. Ayat (3) Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan wajib memeriksakan diri dan karyawannya yang menjadi tanggungjawabnya secara berkala ke tempat-tempat pelayanan IMS yang disediakan pemerintah, lembaga nirlaba dan atau swasta yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan Kota Medan. [Tanggapan: Apa yang dimaksud dengan tempat hiburan? Dalam KBBI hiburan adalah sesuatu atau perbuatan yang dapat menghibur hati (melupakan kesedihan dsb), seperti taman hiburan rakyat, bioskop, diskotek, karaoke, kebun binatang, dll.Bertolak dari pasal 13 ini ada kesan bahwa di Kota Medan tempat hiburan menyediakan PSK dan tempat untuk melakukan hubungan seksual sehingga diperlukan penyuluhan dan pengecekan kesehatan terhadap karyawannya].

Pasal ini merupakan pasal yang populer di semua Perda AIDS. Pasal ini ‘mengekor’ ke program ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual dengan PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Celakanya, di Medan khususnya dan di Indonesia umumnya tidak ada germo atau mucikari yang memegang izin usaha pelacuran sehingga tidak bisa diterapkan sanksi. Di Thailand germo akan dicabut izin usahnya kalau ada ‘anak buahnya’ (baca: PSK) yang mengidap IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungans seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti GO (kencing nanah), sifilis (raja singa), klamidia, virus hepatitis B, dll.) melalui survailan rutin.

Di Perda-perda AIDS yang ada Indonesia yang menjadi ‘sasaran tembak’ justru PSK. Selain itu tidak ada pula cara-cara konkret untuk memantau penggunaan kondom dalam perda-perda tsb. Lebih celaka lagi program ‘wajib kondom 100 persen’ di Thailand merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan yang dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan.

Ranperda AIDS Kota Medan ini mengabaikan realitas sosial terkait (praktek) pelacuran di Medan. Berita Harian “Waspada” (2/6-2008) menyebutkan: 4 Persen PSK Di Medan Terjangkit HIV/AIDS (Lihat: Syaiful W. Harahap, Menyikapi Kasus HIV/AIDS Di Medan, http://www.kompasiana.com/dashboard/write?le=327892).

Saat ini Indonesia beruntung karena pembelian obat ARV dan biaya penanggulangan AIDS didanai donor asing. Tapi, jika kelak donor asing hengkang dari Indonesia maka biaya pembelian ARV dan dana penanggulangan AIDS akan memakai dana APBD. Di Sumatera Utara (Sumut) seorang Odha membutuhkan dana Rp 3,6 per bulan. Dengan kasus 444 AIDS Pemprov Sumut mengeluarkan dana Rp 19 miliar/tahun (Waspada, 5/11-2009).

Jika (praktek) pelacuran yang ada di Kota Medan, baik pelacuran dengan PSK langsung (di lokasi pelacuran, taman, jalanan, losmen, hotel melati dan berbintang, dll.) serta PSK tidak langsung (di industri hiburan, ‘salon plus-plus’, ‘panti pijat’, ‘cewek panggilan’. dll.) tidak ditangani secara konkret, maka penyebaran HIV di Kota Medan akan menuai petaka karena PSK di Kota Medan sudah ada yang mengidap HIV. Laki-laki ‘hidung belang’ penduduk asli atau pendatang di Kota Medan yang mengidap HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal tanpa mereka sadari. Ini bisa dibuktikan dari kasus infeksi HIV pada ibu-ibu rumah tangga (istri). Data Agustus 2008 menunjukkan ada 17 anak-anak yang tertular HIV dari ibunya. Ini membuktikan ada suami yang mengidap HIV. Mereka ini menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Bisa saja 17 suami ini juga mempunyai pasangan seks lain sehingga jumlah perempuan yang mengidap HIV kian banyak. Ini pun meningkatkan jumlah anak yang tertular HIV dari ibunya.

Transfusi Darah

Upaya penanggulangan melibatkan masyarakat melalui peran serta masyarakat yang diatur di pasal 24: (1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS al. dengan cara: a. berperilaku hidup sehat, b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS. Di pasal 1 ayat 29 disebuktan: Ketahanan Keluarga adalah kondisi dinamis suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materiil dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. (Tanggapan: Pasal 24 mendorong stigma dan diskriminasi terhadap Odha karena mereka dikesankan tertular HIV karena perilakunya tidak sehat, dan keluarganya tidak mempunyai ketahanan. Tidak ada kaitan langsung antara perilaku hidup sehat dan ketahanan keluarga dengan penularan HIV).

Di pasal 1 ayat 44 disebutkan: Perilaku pola hidup sehat adalah perilaku menghindari hal-hal/kegiatan yang menyebabkan penularan HIV-AIDS. [Tanggapan: Transfusi adalah perilaku hidup sehat karena menyangkut kelanjutan hidup. Apakah Pemkot Medan bisa menjamin darah yang ditransfusikan bebas HIV? Biar pun Unit Transfusi Darah-Palang Merah Indonesia (UTD-PMI) melakukan uji saring HIV terhadap darah donor sebelum ditransfusikan tapi tetap ada risiko karena bisa saja darah didonorkan pada masa jendela sehingga uji saring dengan rapid test atau ELISA bisa menghasilkan HIV-negatif palsu. Di dalam darah sudah ada antibody HIV tapi tidak terdeteksi].

UTD-PMI bisa menyeleksi calon donor yang kemungkinan menyumbangkan darah pada masa jendela agar tidak ‘lolos’ yaitu melalui pertanyaan: Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan? Kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka darah yang didonorkan tidak perlu diskrining karena bisa menghasilkan negatif palsu. Calon donor tidak boleh ditolak. Celakanya, UTD-PMI justru memakai jargon moral sebagai seleksi yaitu: Kapan Anda terakhir ke luar negeri? Ini menyeuburkan mitos yang mengesankan HIV/AIDS hanya ada di luar negeri. Lho, muslin yang menunaikan haji juga ke luar negeri, apakah ada kemungkinan mereka melakukan perilaku berisiko di Tanah Suci?

WHO melaporkan penularan HIV melalui darah bukan hanya terjadi di negara berkembang, tapi juga di negara maju. Di Eropa Barat, misalnya, tercatat 6.000 kasus, sedangkan di AS antara 1983 dan 1993 tercatat 8.000 kasus penularan HIV melalui transfusi darah. Di Malaysia seorang ibu rumah tangga yang bekerja sebagai guru, 47 tahun, tertular HIV melalaui transfusi di RS Jitra, 28 April 2000. Darah yang ditransfusikan kemudian diketahui HIV-positif. Tes darah pada 8 Mei 2000 menunjukkan wanita tadi tertular HIV. Perempuan itu pun menuntut ganti rugi kepada pemerintah Malaysia sebesar 100 juta ringgit Malaysia (sekitar Rp 200 miliar) dan pengobatan gratis selama sisa hidupnya yang diperkirakan 2.000 ringgit (sekitar Rp 4 juta) per bulan.


Untuk mengantisipasi kemungkinan penularan melalui transfusi darah Malaysia menetapkan pelayanan transfusi darah di negeri jiran itu akan tunduk pada ISO (International Organization for Standardization) melalui standar ISO/ICE 17025:1999 (general requirements for the competence of testing and calibration laboratories). Cara yang ditempuh Malaysia itu dapat menjadi cermin bagi kita. Biarpun biaya untuk mendapatkan sertifikat ISO besar, tetapi akan lebih baik daripada dituntut ratusan miliar rupiah (Lihat: Syaiful W. Harahap, Hak Bebas HIV Melalui Transfusi Darah, Harian ”Suara Pembaruan”, Jakarta, 1 Desember 2000).

Kalau saja Pemkot Kota Medan mau membalik paradigma dalam menanggulangi epidemi HIV maka dalam perda harus ada pasal yang berbunyi: ”Setiap laki-laki wajib memakai kondom jikamelakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah di wilayah Kota Medan dan di luar wilayah Kota Medan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung(PSK di lokalisasi pelacuran, losmen, hotel, dll.) dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘perempuan pemijat di panti pijat’, ‘cewek kampus’, ‘mahasiswi’, ‘anak sekolah’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, ‘cewek SPG’, WIL, dll.), serta pelaku kawin-cerai.”

Karena Pemkot Medan tidak bisa menjami bahwa semua penduduk laki-laki tidak pernah melakukan hubungan seksual berisiko, maka dikhawatirkan sudah ada penduduk Kota Medan yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Kasus-kasus HIV dan AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

Untuk itulah dalam perda perlu pula ada pasal yang berbunyi: ”Setiap laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah tanpa konsom di wilayah Kota Medan dan di luar wilayah Kota Medan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung(PSK di lokalisasi pelacuran, losmen, hotel, dll.) dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘perempuan pemijat di panti pijat’, ‘cewek kampus’, ‘mahasiswi’, ‘anak sekolah’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, ‘cewek SPG’, WIL, dll.), serta pelaku kawin-cerai wajib menjalani tes HIV.”

Kita tunggu apakah Pemkot Medan dan DPRD Kota Medan bisamenelurkan Perda AIDS Kota Medan yang komprehensif yaitu perda yang tidak hanya bersifat copy-paste, tapi memberikan cara-cara penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS yang konkret. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun