Ketika banyak negara kewalahan menghadapi epidemi HIV yang berkecamuk di negaranya, Indonesia justru menepuk dada dengan mengatakan bahwa AIDS tidak mungkin ke Indonesia karena masyarakat Indonesia berbudaya dan beragama. Ketika negara-negara lain sudah bisa mengontrol insiden infeksi HIV baru, Indonseia justru mulai kalang-kabut. Tanggapan pun tidak lagi realistis. Contohnya adalah penanggulangan dengan mengandalkan peraturan daerah (Perda). Pemkot Jayapura pun tidak mau ketinggalan dengan menelurkan Perda No. 7/2006.
Dengan kasus ….di Kota Jayapura pemkot mulai kelabakan. Apalagi penularan kasus banyak terjadi melalui hubungan seksual yang tidak aman, terutama dengan pekerja seks komersial (PSK). Di Jayapura ada lokalisasi pelacuran Tanjung Elmo di tepi Danau Sentani yang dikenal sebagai ‘turki’ (turunan kiri) karena lokalisasi ini arah kiri pada jalur Jayapura-Sentani.
Pada pasal 2 ayat 4 huruf d disebutkan: Melaksanakan penanggulangan IMS terpadu dan berkala di tempat-tempat perilaku beresiko tinggi termasuk keharusan di dalam penggunaan komdom 100%. Memang, di gerbang ke ‘turki’ ada tulisan ‘Anda Memasuki Daerah 100% Wajib Kondom’.. Tapi, persoalan yang sangat mendasar adalah dalam perda tidak ada mekanisme yang konkret untuk menerapkan kewajiban ini.
Soalnya, di pasal 8 disebutkan: Bagi setiap Pemegang Izin Tempat Usaha Bar, Hotel, Salon, Restoran dan Panti Pijat dilarang untuk tidak menjadikan Tempat Usahanya dan atau membuka kesempatansebagai Tempat Praktek Seks Komersial.
Pasal 8 ini kontradiktif dengan pasal 2. Kalau tidak ada PSK di tempat usaha tentulah program yang disebut pada pasal 2 tidak bisa dijalankan.
Perda ini kian tidak konkret karena yang diwajikan memakai kondom bukan laki-laki ’hidung belang’. Ini mengesankan yang menjadi ’sasaran tembak’ adalah PSK (dengan catatan mereka adalah pendatang dari etnis tertentu yang selama ini diisukan sebagai pembawa AIDS). Tanpa disadari oleh pembuat perda ini biar pun PSK yang meladeni laki-laki tanpa kondom dipenjarakan tempatnya akan digantikan puluhan PSK (baru). Selain itu laki-laki yang menularkan PMS dan HIV ke PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat.
Di pasal 7 Ayat 1 Kewajiban Kelompok Rawan:
a. Menggunakan kondom pada setiap kali kontak seksual;
b. Menolak melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom;
c. Berobat dan bertanggungjawab tidak menularkan kepada orang lain jika mengetahui dirinya telah terinfeksi IMS dan HIV.
Kalau ‘kelompok rawan’ diartikan sebagai PSK, maka: apakah di Jayapura sudah tersedia kondom perempuan? Kalau ‘kelompok rawam’ adalah laki-laki ‘hidung belang’ maka bagaimana caranya memaksa mereka agar mau memakai kondom jika kencan dengan PSK? Dalam perda tidak ada cara-cara yang konkret untuk mewujudkan pasal ini.
Terkait dengan huruf b, pengalaman menunjukkan kalau ada PSK yang menolak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom maka dia akan memakai tangan germo untuk memaksa PSK meladeninya.
Program kondom itu sendiri merupakan ‘cangkokan’ dari program di Thailand. Celakanya, program Thailand itu tidak diterapkan utuh sehingga tidak jalan. Pemantauan di Thailand dilakukan terhadap PSK melalui survailan IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungans seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti GO (kencing nanah), sifilis (raja singa), klamidia, hepatitis B, dll.) di kalangan PSK. Kalau ada PSK yang mengidap IMS maka izin usaha akan dibacut. Cara ini tentu tidak bisa dilakukan di Jayapura karena pemilik tempat rawan justru dilarang menyediakan PSK dan tempat melakukan hubungan seksual.
Pasal 7 ayat 2 Kewajiban Pemilik Tempat-tempat Rawan:
a. Melakukan pemeriksaan secara berkala terhadap karyawan-karyawannya bertanggung jawab agar kesehatan para karyawannya yang dilengkapi dengan rekaman medis secara berkala para karyawannya;
b. Menjamin kebersihan alat-alat yang dipakai dalam usahanya
Kalau di tempat-tempat rawan tidak ada praktek pelacuran untuk apa ada kewajiban bagi pemilik untuk memeriksakan kesehatan karyawannya secara berkala.
Tempa-tempat rawan yang memiliki izin usaha kian kabur karena disebut: menjamin kebersihan alat-alat yang dipakai dalam usahanya. Ini apa maksudnya? Di tempat-tempat yang menyediakan PSK, alat apa, sih, yang dipakai? Wooo, apakah pemegang izin usaha membersihkan ’alat-alat’ yang dipakai pada praktek pelacuran?
Inilah salah satu bentuk perda yang dipaksakan dengan sudut pandang moral menghadapi fakta medis. Akibatnya, terjadi kerancuan yang justru mengaburkan upaya penanggulangan epidemi HIV.
Padalah, yang diperlukan adalah upaya ’memaksa’ laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom jika melakukan hubungan seksual yang berisiko di Jayapura atau di luar Jayapura.
Maka diperlukan adalah pasal yang berbunyi: ”Setiap laki-laki penduduk asli atau pendatang di Kota Jayapura, Papua, wajib memakai kondom jikamelakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah di wilayah Kota Jayapura dan di luar wilayah kota Jayapura dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung(PSK di lokalisasi pelacuran, losmen, hotel, dll.) dan pekerja seks tidak langsung (’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, WIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.), serta pelaku kawin cerai.”
Untuk mendeteksi penduduk Kota Jayapura yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi maka perlu pula ada pasal yang berbunyi: ”Setiap laki-laki penduduk asli atau pendatang di Kota Jayapura yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah di wilayah Kota Jayapura dan di luar wilayah Kota Jayapura dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung(PSK di lokalisasi pelacuran, losmen, hotel, dll.) dan pekerja seks tidak langsung (’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, WIL dan PIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.), serta pelaku kawin cerai wajib menjalani tes HIV.”
Tapi, sayang perda ini dibaut dengan semangat moral yang justru tidak menyentuh akar persoalan karena HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa ditanggulangi dengan teknologi kedokteran. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H