Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyoal Keistimewaan Yogyakarta Bak Membangunkan Macan Tidur

17 Desember 2010   01:56 Diperbarui: 4 April 2023   06:01 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keistimewaan Yogyakarta dalam kaitan sebagai daerah istimewa mulai terusik sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebutkan bahwa sistem monarki di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bertentangan dengan nilai demokrasi. Tanggapan pun bermunculan karena mengutik keistimewaan Yogyakarta ibarat membangunkan macan tidur. Kehidupan masyarakat yang sudah 'demokratis' justru terusik karena dituding tidak demokratis. 

Baca juga: Memimpikan 'Kesultanan Jogjakarta' Sebagai 'Monaco'-nya Indonesia

Dalam UUD 45 Amandemen Keempat ada pasal yang saling bertentangan. Pasal 18 ayat 4 disebutkan: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Tapi, pada pasal 18-B ayat 1 disebutkan: Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Kedua pasal ini dibenturkan kepada Yogyakarta sehingga kesultanan yang menempatkan sultan sebagai gubernur dan paku alam sebagai wakil gubernur dianggap sebagai 'negara dalam negara' dan melanggar asas demokrasi.

Tampaknya, Presiden SBY hanya melihat dari satu sisi yaitu gubernur dan wakil gubernur yang tidak dipilih oleh rakyat sehingga tidak pantas keistimewaan untuk Yogyakarta. Tapi, pemerintah sendiri sudah melakukan diskriminasi karena memberikan 'label' istimewa dan khusus kepada Aceh dan Papua berdasarkan faktor yang tidak diatur dalam UUD 45.

Jika Aceh ditetapkan sebagai daerah istimewa dengan mengizinkan penerapan syariat Islam, partai lokal dan dewan perwakilan daerah lokal berdasarkan agama, maka ini tidak adil. Soalnya, beberapa daerah di Indonesia juga mempunyai persentase penduduk mayoritas yang menganut agama tertentu.

Bali, misalnya, dihuni oleh 93,12 persen penduduk yang memeluk agama Hindu. Begitu pula dengan NTT , 90,9 persen penduduknya memeluk agama Kristen, sedangakan Sulut 60 persen penduduknya bergama Kristen. (Buku Pintar Seri Senior, Cet. 35, 2004).

Analogi dari keistimewaan Aceh yang menerapkan syariat agama (Islam), tentulah Bali pun pantas menyandang keistimewaan dengan ajaran Hindu, NTT dan Sulut dengan ajaran Kristen. Begitu pula dengan daerah lain yang mempunyai persentase suku asli yang dominant atau mayoritas. Misalnya, Tapanuli bagian utara dan selatan, Nias, Karo, dll. juga mempunyai suku asli yang dominan.

Tapi, mengapa pemerintah tidak memberikan keistimewaan? Padahal, hal itu dimungkinkan UU karena dalam UUD 45 Amandemen Keempat pasal 18-B ayat 2: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adapt beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun