Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengharapkan Ulama untuk Pembenaran

16 Desember 2010   23:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:40 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Sebelum kemari kami berharap ada ulama yang menjadi pembicara." Itulah pernyataan wartawan peserta workshop jurnalisme empati penulisan AIDS angkatan XII/Mei 2000 di LP3Y Yogya. Agaknya, wartawan yang mengikuti workshop berharap untuk mencari pembenaran terhadap silang pendapat seputar HIV/AIDS. Selain itu tidak sedikit pula wartawan yang datang ke workshop dengan baju moral dan agama sehingga mereka pun mengharapkan ada ulama yang menjadi narasumber untuk mendukung pendapat mereka.

Pada sesi tentang gender dan kesehatan reproduksi pada angkatan XII, misalnya, ada wartawan yang tidak bisa menyebutkan ayat Alquran atau hadis yang menguatkan pendapatnya bahwa perempuan tidak boleh menjadi "imam" (baca: pemimpin). Ini melebar karena dikaitkan dengan penolakan terhadap Megawati Sukarnoputri sebagai presiden. Wartawan tadi hanya menyebutkan keterangan itu diperolehnya ketika belajar mengaji di madrasah. Namun, terlepas dari pro dan kontra kalau saja wartawan tadi melirik ke Bangladesh dan Pakistan yang menjadikan Islam sebagai agama negara ternyata di sana wanita menjadi perdana menteri (baca: "imam").

Hal di atas menunjukkan ada wartawan yang tidak berpikiran jernih dalam menanggapi persoalan (sosial). Ini sejalan pula dengan persepsi dan pandangan mereka terhadap HIV/AIDS. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian ada wartawan yang melihat AIDS sebagai najis (kotoran yang menghalangi seorang muslim beribadah). Ada pula yang mengatakan seseorang yang tertular HIV karena melakukan seks yang tidak halal atau berzina. Persoalannya adalah mengapa virus hepatitis B, yang juga menular melalui hubungan seks tidak aman seperti layaknya HIV, tidak dilihat wartawan tadi sebagai najis? Begitu pula dengan wartawan yang mengatakan infeksi HIV karena zina, mengapa dia tidak melihat hepatitis B sebagai hasil zina?

Dalam kaitan itulah Bang Hadi (Ashadi Siregar, Direktur LP3Y Yogyakarta) dengan tegas mengatakan tujuan workshop bukan untuk mencari pembenaran terhadap masalah HIV/AIDS, tetapi sebagai ajang pelatihan bagi wartawan untuk menulis berita yang objektif dan fair. Dalam kaitan inilah PMP AIDS-LP3Y memperkenalkan jurnalisme empati. Jadi, tidak ada relevansinya mengundang ulama. Lagi pula, menurut Bang Hadi, kalau untuk mencari pembenaran tentu harus pula ikut berbicara pendeta, pastor, bikhsu, aliran kepercayaan, dan lain-lain.

Dari kacamata jurnalistik sendiri, sebagai fakta medis HIV/AIDS (disebut fakta medis karena merupakan hasil diagnosis berdasarkan tes laboratorium) dibawa ke social settings (realitas sosial). Orang yang mengidap penyakit, bukan hanya Odha, menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan sosialnya. Mulai dari kehilangan pekerjaan, dikucilkan masyarakat, tidak bisa berobat karena tidak punya uang, dan lain-lain.

Bahkan, ada penyakit yang dilihat masyarakat dari aspek moral dan agama sehingga orang yang menderita penyakit itu pun menghadapi stigma. Inilah yang terjadi pada HIV/AIDS. Karena mitos (anggapan yang keliru) seputar HIV/AIDS membuat Odha menghadapi stigma. Padahal, secara medis penularan HIV tidak ada kaitannya dengan moral dan agama.

Realitas sosial itulah kemudian yang menjadi latar belakang penulisan masalah HIV/AIDS sehingga berita yang ditulis dapat menggugah pembaca untuk melihat persoalan dengan jernih sehingga tidak muncul stigma terhadap Odha. Soalnya, stigma dan mitos tidak akan menyelesaikan persoalan HIV/AIDS, bahkan sebaliknya menghalangi upaya-upaya meredam epidemi HIV.

Lagi pula untuk apa, sih, wartawan mencari pembenaran? Soalnya, masalah HIV/AIDS merupakan fakta medis sehingga fakta-fakta seputar HIV/AIDS yang merupakan hasil diagnosis tidak perlu mendapatkan pembenaran atau fatwa dari ulama. ***

[Sumber: Syaiful W. Harahap, Catatan Kecil dari Workshop PMP AIDS (Bagian V), Newsletter HindarAIDS No. 52, 4 September 2000]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun