Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Di Kab Jayapura, Papua, AIDS Lebih Banyak Pada Perempuan

30 September 2010   11:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:50 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kasus HIV/AIDS di Jayapura Meningkat.” Ini judul berita di id.news.yahoo.com yang bersumber dari Antara (28/9-2010). Dalam berita disebutkan: “Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura, Papua, alami kecenderungan meningkat dari 477 pada 2009 naik menjadi 509 kasus selama sembilan bulan pertama 2010.”

Pelaporan kasus HIV dan AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Maka, angka kasus HIV dan AIDS tidak akan pernah turun biar pun penderitanya banyak yang meninggal.

Pertambahan kasus HIV dan AIDS bisa terjadi karena kian banyak tempat-tempat tes HIV, dikenal sebagai klinik VCT, dan kampanye kian gencar. Selain itu kasus pun banyak yang terdeteks ketika penderita berobat ke rumah sakit. Gejala-gejala penyakit terkait dengan AIDS sehingga dianjurkan untuk tes HIV. Penemuan kasus yang kian banyak lebih baik dari sudut epidemiologi karena satu kasus yang terdeteksi merupakan satu mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan.

Disebutkan bahwa data Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) wilayah Mamta, menunjukkan sepanjang 2010, temuan HIV/AIDS di Kota Sentani sebanyak 252 kasus, atau mencapai 49,5 persen dari keseluruhan temuan disusul Distrik Sentani Timur sebanyak 122 kasus. Sayang, dalam berita tidak dijelaskan bagaimana kasus-kasus baru itu terdeteksi. Selain itu tidak dijelaskan pula rinciannya yaitu berapa yang HIV-positif dan berapa yang sudah masuk masa AIDS.

Ada lagi informasi: “Penderita laki-laki 201 kasus atau presentase 39,5 persen, perempuan 308 kasus atau 60,5 persen.” Tidak ada penjelasan di kalangan mana kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi pada perempuan. Kalau kasus HIV dan AIDS pada perempuan terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga itu menunjukkan ada laki-laki mempunyai pasangan seks lebih dari satu perempuan.

Data lain diseutkan bahwa kematian akibat AIDS di Kab Jayapura sepanjang 2010 sebanyak 129. Penduduk yang meninggal terkait dengan AIDS ini merupakan mata rantai penyebaran HIV sebelum mereka meninggal dunia. Jika semuanya mempunyai istri maka sudah ada 129 perempuan yang berisiko tertular HIV. Pada gilirannya kalau istri ini hamil maka ada 129 bayi yang berisiko tertular HIV.

Bertolak dari fakta bahwa kasus HIV dan AIDS lebih banyak terdeteksi di kalangan perempuan maka akan lebih baik kalau Pemkab Jayapura menerapkan survailans tes HIV kepada perempuan hamil. Sayang, dalam Perda Kab. Jayapura No. 20 Tahun 2003 tidak ada pasal yang mengatur pendeteksian kasus HIV di kalangan perempuan hamil.

Dakan perda yang diatur hanya kewajiban dan larangan terhadap pekerja seks, mucikari/germo, dan pelanggan pekerja seks terkait dengan penggunaan kondom saat sanggama. Sayang, tidak ada mekanisme yang konkret dalam menegakkan perda.

Pada pasal 5 disebutkan: Penularan HIV hanya dapat dicegah dengan cara: 1. Tidak melakukan kegiatan seksual; 2. Setia pada pasangan tetap; dan 3. Menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang beresiko. Tiga cara pencegahan yang ditawarkan perda tidak konkret sehingga penyebaran HIV di Kab Jayapura khususnya dan di Indonesia umumnya terus terjadi tanpa disadari.

Tidak mungkin melarang setiap orang agar tidak melakukan hubungan seksual. Lagi pula tidak semua hubungan seksual yang berisiko menularkan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu dari pasangan itu HV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom.

Begitu pula dengan setia pada satu pasangan. Fakta menunjukkan laki-laki ‘hidung belang’ selalu setia dengan pekerja seks yang menjadi langganannya. Mereka menganggap tidak berisiko karena setia dengan satu pasangan (baca: pekerja seks). Ini terjadi karena informasi HIV dan AIDS yang tidak komprehensif. Dalam brosur, buku, berita, dll. disebutkan bahwa berganti-ganti pasangan seksual berisiko tertular HIV. Pelanggan pekerja seks tidak berganti-ganti pasangan.

Kalau saja informasi HIV dan AIDS dikemas dengan fakta tanpa dibalut dengan moral maka perilaku yang berisiko tertular HIV juga bisa terjadi kalau sanggama dengan yang sering berganti-ganti pasangan. Mereka itu adalah pekerja seks langsung (di lokasi atau lokalisasi pelacuran, rumah bordir, dll.), pekerja seks tidak langsung (cewek bar, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’. ‘cewek kampus’, dll.), serta pelaku kawin-cerai.

Disebutkan pula: “Faktor tertinggi penyebaran virus terbanyak selama ini adalah melalui hubungan seks bebas dan jarum suntik.” Lagi-lagi ini tidak akurat karena mengait-ngaitkan penularan HIV dengan moral. Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina atau melacur maka tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ‘seks bebas’ karena HIV juga menular melalui hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan jika salah satu HIV-positif.

Faktor utama penularan HIV di Kab Jayapura da Kota Jayapura adalah hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks sebagai orang yang sering berganti-ganti pasangan. Di daerah ini ada lokalisasi pelacuran, dikenal dengan sebutan ‘turki’ (turun kiri) di tepi Danau Sentani. “Laki-laki sini gak mau pakai kondom,” kata seorang pekerja seks yang mengaku dari wilayah timur Jawa Timur.

Pekerja seks tidak bisa berbuat banyak karena germo atau mucikari justru memihak kepada laki-laki ‘hidung belang’ karena takut kehilangan pelanggan. Celakanya, dalam perda tidak ada mekanisme yang bisa memaksa germo untuk melindungi pekerja seks yang menolak laki-laki jika tidak memakai kondom.

Manager Program YPKM Papua, dr. Alfus Doranggi, "Hampir setiap hari ditemukan kasus penderita HIV/AIDS di seluruh rumah sakit yang ada." Ternyata kasus-kasus HIV dan AIDS terdeteksi pada penduduk yang sudah sakit. Penyakit pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) sangat sulit sembuh sehingga tidak ada pilihan bagi mereka selain berobat ke rumah sakit. Ketika berobat itulah dokter melihat indikasi HIV pada pasien sehingga dianjurkan untuk tes HIV.

Jika Indonesia hanya menunggu kasus seperti yang terjadi di Kab Jayapura ini maka itu artinya sudah terlambat menanggulangi epidemi HIV. Maka, kampanye dan penyuluhan HIV/AIDS harus ditingkatkan dengan materi yang akurat sehingga orang mengetahui risiko perilakunya terhadap HIV/AIDS.

Celakanya, yang terjadi selama ini materi HIV dan AIDS dalam kampanye dan penyuluhan selalu dibalut dengan norma, moral dan agama terkait dengan aurat sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang akurat. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun