Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sejak Awal Epidemi, HIV dan AIDS Sudah Ada di Populasi Umum

27 September 2010   01:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:56 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Epidemi AIDS di Bali Jadi Populasi Umum.” Ini judul berita di mediaindonesia.com (25/9-2010). Disebutkan: “Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar menyatakan, peningkatan terus-menerus kasus HIV dan AIDS di Bali menyebabkan epidemi AIDS menjadi populasi umum.”

Apa yang dimaksud dengan populasi umum? Kalau arti populasi umum dalam pernyataan ini adalah masyarakat maka sejak awal epidemi HIV dan AIDS sudah ada di masyarakat.

Kasus penurunan kekebalan tubuh di kalangan laki-laki gay yang terdeteksi pertama kali di AS juga ada di masyarakat. Kalangan gay juga bagian dari populasi umum (baca: masyarakat). Penuruan kekebalan tubuh itu kemudian dikenal sebagai AIDS. Selanjutnya tahun 1986 WHO menyetujui HIV sebagai penyebab AIDS.

Kasus HIV/AIDS kemudian terdeteksi di kalangan pekerja seks komersial (PSK). PSK juga adalah bagian dari masyarakat. Kemudian kasus HV/AIDS juga terdeteksi di kalangan waria. Mereka ini juga bagian dari masyarakat.

Apakah karena belakangan ini kasus HIV/AIDS terdeteksi di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan bayi baru dianggap masuk ke masyarakat?

Pernyataan itu mengesankan PSK, laki-laki gay dan waria bukan bagian dari masyarakat. Ini merupakan diskriminasi.

Sejak awal epidemi HIV ada fakta yang luput dari perhatian yaitu laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan waria. Fakta menunjukkan pelanggan waria justru laki-laki heteroseksual dan mereka berperan sebagai ’perempuan’ pada hubungan anal seks.

Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan waria dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, lajang, atau duda. Mereka bekerja sebagai pegawai, karyawan, pedagang, mahasiswa, pelajar, petani, nelayan, copet, rampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Lalu, apakah laki-laki penular HIV itu bukan bagian dari populasi umum (baca: masyarakat)? Laki-laki penular yang menjadi mata rantai penyebaran HIV itu jelas bagian dari masyarakat.

Sri Mulyanti, asisten koordinator KPA Denpasar, mengatakan: "Melihat terus meningkatnya kasus HIV dan AIDS di Bali yang berlangsung setiap tahun, membuat epidemi AIDS menjadi populasi umum." Cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka laporan kasus HIV/AIDS di Indonesia tidak akan pernah turun biar pun penderita meninggal semua.


Sri Mulyanti memberi contoh data HIV dan AIDS di tahun 2009 yang tercatat 3.047 kasus.
Pada pertengahan tahun ini disebutkan bertambah hingga mencapai 3.531 kasus. Pertambahan kasus adalah 3.531 – 3.047 = 484. Yang perlu disampaikan ke masyarkat adalah pertambahan kasus ini, bukan angka kumulatif karena dari jumlah kumulatif itu sudah ada yang meninggal.

Data yang tidak muncul dalam berita itu adalah bagaimana cara yang dilakukan KPA Denpasar untuk mendcteksi 484 kasus baru itu. Perlu pula disampaikan berupa kasus yang terdeteksi sebagai HIV-positif dan masa AIDS (sebutkan pula infeksi oportunistik yang menyertai).

Disebutkan pula oleh Sri Mulyanti: "Dari jumlah kasus tahun ini, penularannya masih didominasi melalui hubungan seksual berganta-ganti pasangan atau 'hetero' sebesar 69 persen." Ini tidak akurat. Pertama, ganti-ganti pasangan bukan ‘hetero’ (maksudnya heterosexual yaitu orientasi seksual terhadap lawan jenis). Kedua, penularan HIV melalui hubungan seks bukan karena berganti-ganti pasangan tapi karena melakukan hubungan seksual di dalam atau di luar nikah (sifat hubungan seks) dengan yang sudah mengidap HIV (HIV-positif) dan laki-laki tidak pakai kondom ketika sanggama (kondisi hubungan seks). Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual di dalam atau di luar nikah yaitu salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom.

Di bagian lain disebutkan oleh Sri Mulyanti: "Sebanyak 509 laki-laki berusia antara 20-29 tahun terserang AIDS dan 164 orang adalah perempuan. Sedangkan, pada usia 30-39 tahun sebanyak 618 laki-laki dan 129 perempuan." Dalam epidemi HIV yang menular adalah HIV bukan AIDS. Lagi pula HIV bukan menyerang tapi menular.

Mengapa kasus HIV dan AIDS belakangan ini banyak terdeteksi di kalangan berusia antara 20 – 29 tahun? Kasus HIV dan AIDS pada kalangan itu banyak terdeteksi pada pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara berganti-ganti. Yang akan menjalani rehabilitasi wajib tes HIV sehingga banyak yang terdeteksi karena tingkat probabilitas penularan HIV pada pengguna narkoba lebih besar daripada melalui hubugan seksual.

Sekretaris KPA Kota Denpasar, Tri Indarti, berharap agar warga yang merasa berprilaku kurang aman atau melakukan hubungan seks berisiko, sedini mungkin memeriksakan diri supaya nantinya tidak terlambat dan sudah masuk fase AIDS. Karena selama ini informasi tenang HIV/AIDS selalu dibumbui dengan norma, moral dan agama maka fakta medis tentang HIV/AIDS sirna. Yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).

Perilaku berisiko, misalnya, ditangkap masyarakat sebagai melakukan zina, melacur, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh dan homoseksual. Pengertian di masyarakat kian kabur karena zina, melacur, ’seks bebas’, dan ’jajan’ diartikan sebagai hubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi atau lokalisasi pelacuran.

Makna perilaku berisiko tertular HIV tidak ditangkap masyarakat secara utuh. Akibanya, laki-laki yang merasa tidak ’main’ dengan PSK di lokasi pelacuran tidak berisiko tertular HIV. Soalnya, mereka ’main’ dengan ’cewek’ yang bukan PSK di hotel berbintang, apartemen, dll. di luar lokasi pelacuran.


Ada pula pernyataan: ”Siapa aja yang sebaiknya melakukan VCT, adalah orang yang melakukan hubungan seksual berisiko. Hubungan berisiko ini bukan hanya dengan pekerja seks, gigolo ataupun waria. Hubungan seksual dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya bisa juga dianggap berisiko.” Definisi perilaku berisiko ini tidak komprehensif sehingga banyak yang tidak menangkapnya secara utuh.

Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah: (1) Pernah atau sering melakukan hubungan seksualdi dalam atau di luar nikah, serta homoseksual dengan pasangan yang berganti-ganti tanpa memakai kondom; (2) Pernah atau sering melakukan hubungan seksual di dalam atau di luar nikah, serta homoseksual dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran) dan pekerja seks tidak langsung (cewek bar, perempuan pemijat di panti pijat, ‘cewek kampus’, ‘anak sekolah’, PIL dan WIL, dll.) tanpa kondom; (3) Pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV; (4) Pernah atau sering memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian; dan (5) Pernah atau sering menyusui air susu ibu (ASI) dari perempuan yang HIV-positif.


Fakta tentang perilaku berisiko ini sering disampaikan dengan balutan moral sehingga mengaburkan makna. Misalnya, menyebutkan perilaku berisiko jika berzina, melacur, ’jajan’, selingkuh, dll. Padahal, risiko penularan HIV melalui hubungan seksual juga terjadi pada hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun