Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sasaran dan Materi Penyuluhan AIDS di Manado

23 September 2010   01:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dinkes Terus Kampanye Bahaya AIDS.” Ini judul berita di kompas.com (16/9-2010). Dalam berita disebutkan: “Dinas Kesehatan Manado didukung global fund dan Komisi Penanggulangan AIDS terus melakukan kampanye ancaman dan bahaya virus HIV/AIDS di lokasi berisiko tinggi daerah itu.” Pernyataan ini sudah mangandung mitos (anggapan yang salah terhadap HIV/AIDS). Tidak ada lokasi yang berisiko HIV/AIDS karena penularan HIV sebagai virus tidak terjadi melalui udara, air, serta pergaulan sosial sehari-hari, seperti bersalaman, bercengkerama, dll.


Lebih lanjut Kadinkes Manado, Yvonne Kaunang, mengatakan: "Lokasi berisiko tinggi yang kami jadi sasaran penyuluhan virus mematikan ini adalah tempat hiburan malam, lokasi mangkal PSK dan sekolah-sekolah." Apakah ini benar kutipan langsung (kuotasi) dari pernyataan Kadinkes Manado?

Soalnya, sebagai orang kesehatan tentulah Kadinkes tidak selayaknya mengatakan ‘virus mematikan’ karena secara medis HIV adalah virus yang tidak mematikan. AIDS pun tidak mematikan karena bukan penyakit. AIDS disebut penyakit hanya sebagai istilah yang menggambarkan kondisi seseorang yang sudah tertular HIV setelah 5 – 15 tahun yang ditandai dengan berbagai macam penyakit, disebut infeksi oportunistik.

Jika ‘sasaran tembak’ penyuluhan itu perempuan (baca: pekerja seks) maka hal ini merupakan bias gender karena tidak melihat laki-laki ‘hidung belang’ sebagai penular HIV kepada PSK. Selanjutnya laki-laki ‘hidung belang’ itulah yang justru menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Penduduk Manado, laki-laki dan perempuan, bisa saja tertular HIV di luar Manado atau di luar negeri. Yang tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.

Karena disebutkan yang menjadi sasaran asalah tempat hiburan malam, maka, apakah di tempat hiburan malam di Manado menyediakan pekerja seks dan tempat untuk melakukan hubungan seksual? Kalau jawabannya YA, maka langkah itu bisa dimaklumi. Tapi, ada satu hal yang luput dari perhatian. Fakta menunjukkan laki-laki ’hidung belang’ menolak anjuran pekerja seks untuk memakai kondom. Dalam kaitan itu yang menjadi sasaran adalah germo atau mucikari karena laki-laki ’hidung belang’ akan memakai germo untuk memaksa pekerja seks melayani tanpa kondom.

Sayang, di Indonesia yang menjadi ’sasaran tembak’ hanya pekerja seks. Selanjutnya pekerja seks pun dituding pula sebagai penyebar HIV. Tapi, tunggu dulu. Yang menularkan HIV kepada pekerja seks justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, lajang atau duda. Pekerja seks yang sudah tertular HIV akan menularkan HIV kepada laki-laki lain yang mengencaninya tanpa kondom. Laki-laki ini pun kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV lagi.

Disebutkan pula: ”Semua lokasi dipilih karena merupakan tempat yang paling rawan penularan virus HIV sehingga pihaknya langsung melakukan kampanye secara langsung kepada orang-orang yang berisiko tertular virus tersebut.” Yang rawan tertular dan menularkan HIV bukan tempat atau lokasi, tapi perilaku seksual orang per orang.

Di luar lokasi atau lokalisasi pelacuran pun hubungan seksual bisa berisiko tertular HIVdi dalam atau di luar nikah kalau dilakukan tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan. Sebaliknya, di ’tempat-tempat berisiko’ pun hubungan seksual yang berisiko tertular HIV bisa ditekan jika dilakukan dengan seks aman yaitu memakai kondom.


Ada lagi pernyataan dari Kepala Bidang Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2L) Dinkes Manado, Joy Zeekeon: "Kampanye ini dilakukan secara berkala bersama LSM peduli AIDS untuk mengingatkan masyarakat terutama generasi muda mengenai ancaman HIV/AIDS.” Ini stigma terhadap generasi muda karena yang berisiko tertular dan menualrkan bukan hanya generasi muda.

Bahkan, kalau dilihat dari mata rantai penyebaran HIV kalangan dewasa lebih potensial karena mereka sudah beristri. Paling tidak laki-laki yang tertular HIV akan menularkan HIV kepada istrinya, pekerja seks atau pasangan seks lain (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak (vertikal). Tapi, perlu diingat penularan HIV dari ibu-ke-bayi tidak otomatis karena HIV bukan penyakit genetika.


Selanjutnya disebutkan: ”Bukan hanya tempat hiburan malam dan lokasi mangkal PSK, sekolah-sekolah Menengah Atas yang ada di Kota Manado juga mennjadi sasaran kampanye karena menurut data orang-orang yang terserang virus ini rata-rata usia 20-30 tahun.” Pertama, HIV sebagai virus tidak menyerang tapi menular melalui cara-cara yang sangat spesifik. Kedua, kasus HV dan AIDS yang terdeteksi di kalangan berusia antara 20-30 tahun terjadi pada pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan janrum suntik. Mereka diwajibkan tes HIV jika hendak masuk ke pusat rehabilitasi narkoba.

Celakanya, tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi penduduk dewasa yang sudah tertular HIV. Kasus HIV dan AIDS di kalangan dewasa yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS.

Seterusnya disebutkan: ”Artinya saat pertama kali tertular dan terinfeksi mereka masih dalam usia sekolah, sehingga kampanye pencegahannya diarahkan pada sekolah-sekolah supaya bisa memutuskan mata rantai penularan HIV/AIDS.” Selama ini orang-orang yang sudah terdeteksi HIV berjanji akan memutus penyebaran HIV mulai dari dirinya. Ini bisa terjadi jika tes HIV dilakukan sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku, yaitu: (a) konseling sebelum dan sesudah tes, (b) informed consent (persetujuan dari ybs.), (c) anonimitas (contoh darah tidak ada kode yang bisa menunjukkan pemiliknya), dan (d) konfidensialitas (rahasia, yang mengetahui hasil tes hanya ybs., konselor dan dokter yang menangani).

Sebaliknya, jika tes HIV dilakukan tanpa menerapkan standar maka tidak ada jaminan mereka akan memutus penyebaran HIV mulai dari dirinya. Ini terjadi pada pekerja seks yang dites paksa ketika mereka tertangkap melalui razia.

Dengan 251 kasus HIV/AIDS di Kota Manado sudah saatnya penyuluhan digencarkan. Persoalannya adalah: Apakah informasi tentang HIV dan AIDS disampaikan secra utuh sebagai fakta medis?

Soalnya, selama ini informasi HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga faktanya hilang. Yang muncul justru mitos (anggapan yang salah). Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang realistis.

Jika informasi yang disampaikan tidak akurat maka penyebaran HIV di Manado khususnya dan di Indonesia umumnya maka epidmi HIV kelak akan menjadi melapetaka. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun