Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengabaikan Posisi Tawar PSK di Lokalisasi Pelacuran Teleju Pekanbaru

18 September 2010   03:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:09 1922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

‘Angin sorga’ yang bertiup dari Thailand terkait dengan keberhasilan negeri itu menurunkan infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa melalui hubungan seks melalui program ‘wajib kondom 100 persen’, Indonesia pun semerta ‘mencangkok’ program itu.

Tapi, dalam penerapannya tidak komprehensif. Misalnya, yang menjadi ‘sasaran tembak’ justru pekerja seks komersial (PSK), padahal dalam ‘bisnis’ pelacuran posisi tawar PSK sangat rendah dalam memaksa laki-laki pelanggannya memakai kondom. Ini juga dapa dibaca di tesis Roselly Evianty Silalahi: Pengaruh Faktor Predisposisi, Pendukung dan Penguat Terhadap Tindakan Pekerja Seks Komersial (PSK) Dalam Menggunakan Kondom Untuk Pencegahan HIV/AIDS Di Lokalisasi Teleju Kota Pekanbaru Tahun 2008 (Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan).

Di abstrak disebutkan: “Untuk mencegah penularan HIV/AIDS yang sumbernya dari PSK adalah menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan pelanggan.” Ini merupakan stigma (cap buruk) terhadap PSK dan lokasi atau lokalisasi pelacuran dan (bisa) mendorong diskriminasi terhadap PSK.”

Ada fakta yang luput terkait dengan PSK dan lokasi atau lokalisasi pelacuran. Ada dua kemungkinan terkait HIV di kalangan PSK yang bekerja di lokasi atau lokalisasi. Pertama, HIV pada PSK di Teleju ditularkan oleh laki-laki penduduk setempat atau ‘wisatawan’ dari luar kota yang khusus menyalurkan hasrat seksnya di Teleju. Kedua, PSK yang bekerja di Teleju sudah mengidap HIV ketika tiba di Teleju.

Hasil survailans Dinkes Prov Riau (2005) terhadap 170 PSK di Teleju menunjukkan ada 10 (5,9 persen) PSK yang terdeteksi HIV-positif. Jika mengacu kepada dua kemungkinan di bisa jadi ada PSK yang tertular HIV di Teleju, kemudian ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK di Teleju.

Dua fakta di atas sering luput dari perhatian. Padahal, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV adalah laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK.

Disebutkan pula bahwa: “Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh faktor predisposisi, pendukung dan penguat terhadap tindakan PSK dalam menggunakan kondom untuk pencegahan HIV/AIDS.” Ini kurang pas karena yang memakai kondom bukan PSK (perempuan) tapi pelanggan (laki-laki).

Ada fakta yang luput dari perhatian yaitu PSK tidak bisa memaksa apalagi menolak laki-laki yang akan mengencaninya untuk memakai kondom. Posisi tawar PSK sangat rendah. Laki-laki yang dipaksa memakai kondom akan mencari PSK yang mau meladeninya tanpa kondom. Ada juga laki-laki ’hidung belang’ yang meminta germo atau ’mami’ untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom.

Itulah sebabnya program ’wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seks di lokalisasi pelacuran atau rumah bordir di Thailand memberikan sanksi kepada germo bukan kepada PSK jika ada PSK yang terbukti meladeni laki-laki tanpa kondom. Ini masuk akal karena PSK berada di genggaman germo.

Di bagian lain disebutkan: ”Keberadaan peratuan daerah ini (maksudnya Perda Prov Riau No. 4/2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Prov Riau-pen.) diharapkan dapat mengendalikan laju epidemi HIV/AIDS di Provinsi Riau termasuk di Kota Pekanbaru yang semakin berkembang.” Dalam perda itu di pasal 5 disebutkan: “Pencegahan HIV/AIDS dilakukan melalui cara: a. Meningkatkan Iman dan Taqwa; b. Tidak melakukan hubungan seksual diluar perkawinan yang sah; dan c. Setia pada pasangan tetap dan atau tidak melakukan seks bebas.” Ini tentu tidak akan berhasil karena tidak menyentuh akar persoalan penyebaran HIV. Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ayat a, b dan c.

Ada lagi pernyataan: ”Epidemi HIV/AIDS dapat diduga terjadi karena Kota Pekanbaru adalah kota terbuka. ....” Ini juga mitos (anggapan yang salah) karena tidak ada kaitan langsung antara kota terbuka dengan penularan HIV. Lagi pula penduduk Kota Pekanbaru pun ada yang melakukan perilaku berisiko di luar kota, di luar daearah bahkan di luar negeri. Penduduk Kota Pekanbaru yang tertular HIV di luar kota akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Kota Pekanbaru.

”Tindakan PSK dalam menggunakan kondom yang disinyalir rendah di lokalisasi Kota Pekanbaru sama halnya di daerah lain.” Ini pernyataan dalam tesis. Ini pun tidak pas karena yang dilakukan PSK hanya sebatas memohon kepada laki-laki untuk memakai kondom. Persoalanya ada pada laki-laki: Apakah mereka mau menuruti permintaan PSK? Ternyata banyak laki-laki ’hidung belang’ yang menolak memakai kondom dengan seribu satu macam alasan. Dalam kaitan ini tidak dibahas relasi antara PSK, germo dan laki-laki pelanggan.

Terkait dengan penggunaan kondom dalam tesis disebutkan: ”Temuan kasus IMS termasuk HIV/AIDS sebenarnya tidak akan terjadi jika PSK dan pelanggannya memiliki perilaku yang sehat. Perilaku PSK yang sehat adalahmenggunakan kondom dan melakukan pemeriksaan rutin ke layanan kesehatan. Sebagai contoh negara Thailand telah berhasil menurunkan tingkat penularan HIV sampai 83 persen dengan program penyediaan kondom.” Ada beberapa hal yang tidak pas dalam pernyataan ini.

Pertama, perilaku (seksual) terkait dengan risiko tertular atau menularkan HIV adalah hubungan seksual di dalam atau di luar nikah adalah seks yang aman bukan ’perilaku yang sehat’, yaitu: (a) hubungan seks dilakukan dengan pasangan yang HIV-negatif; (b) hubungan seks di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan dilakukan dengan cara laki-laki memakai kondom.

Kedua, program di Thailand bukan ’penyediaan kondom’ tapi kewajiban bagi laki-laki memakai kondom pada hubungan seksual yang berisiko (hubungan seksual dengan pekerja seks komersial di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir).

Persoalan besar adalah banyak laki-laki ’hidung belang’ merasa dirinya tidak berisiko tertular HIV dari PSK karena mereka selalu ’memakai’ PSK yang sama sehingga mereka menganggap itu bukan perilaku berganti-ganti pasangan. Begitu pula dengan laki-laki yang menjadi suami atau pacar PSK yang juga tidak memakai kondom karena mereka menganggap tidak melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti. Ini sering luput dari perhatian sehingga tidak terjangkau.

Di hipotetis disebutkan: ”Faktor predisposisi (umur, masa kerja, pengetahuan dan sikap), faktor pendukung (ketersediaan kondom) dan faktor penguat (dukungan teman seprofesi, mucikari, petugas kesehatan dan LSM) berpengaruh terhadap tindakan PSK dalam menggunakan kondom untuk Pencegahan HIV/AIDS di Lokalisasi Teleju Kota Pekan Baru.”

Disebutkan prinsip ABC sebagai cara yang paling efektif mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. ”A” disebutkan ”Anda jauhi seks sampai anda kawin atau menjalin hubungan jangka panjang dengan pasangan (Abstinensia).”

”Demikian halnya dengan PSK di Teleju hanya 25,4% yang merasa pekerjaan yang dilakukan selama ini terancam tertular HIV/AIDS. Dan hal ini didukung dengan kurangnya pengetahuan dan sikap PSK tentang manfaat kondom. Bila dikaitkan dengan pertimbangan keuntungan dan kerugian yang diarasakan PSK dapat dilihat bahwa 21,5% mengatakan akan mendapatkan keuntungan dari segi materi dan terhindar dari penyakit bila menggunakan kondom. Artinya 78,5% merasa rugi bila menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual.”

Di bagian saran tidak ada ada usul untuk mendorong mucikari agar melindungi PSK yang menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom. Yang disarankan kepada mucikari hanya menyediakan kondom. Biar pun kondom tersedia kalau laki-laki ’hidung belang’ menolak tentu PSK tidak berkutik. Laki-laki mencari PSK lain yang mau meladeninya tanpa kondom. Akibatnya, PSK yang hanya mau meladeni laki-laki yang memakai kondom akan rugi karena pelanggannya kabur.

Pada butir 6 disarankan agar Pemkot Pekanbaru memberi izin lokalisasi. Jika dikaitkan dengan keberhasilan Thailand maka upaya untuk memberikan izin usaha bagi germo bisa menjadi kunci penerapan program ’wajib kondom 100 persen’.

Persoalannya adalah: Apakah Pemkot Pekanbaru mau mengakui lokalisasi pelacuran Teleju? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun