Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjaring Suami-suami Penular HIV

14 September 2010   07:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:15 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

150 Ibu ‘Dikado’ HIV Oleh Suami.” Ini judul beirita di Harian “Surya”, Surabaya (5/9-2010).

Kepala Humas RS Universitas Islam Malang, Dedik Darwanto, mengatakan: : .... sebanyak sepuluh persen dari 1.500 penderita AIDS di Kota Malang, adalah ibu-ibu rumah tangga yang ditulari oleh suaminya.” Ini realitas sosial yang luput dari perhatian. Dengan data 150 ibu rumah tangga yang HIV-positif maka sudah ada 300 penduduk Kota Malang yang positif HIV. Jika ibu-ibu rumah tangga itu hamil maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya. Angka kasus HIV-positif pun bertambah lagi.

Suami-suami ibu-ibu rumah tangga itu menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal kepada istirnya dan perempuan lain, seperti selingkuhan, bini muda, istri gelap, dan pekerja seks. Angka kasus HIV pun bertambah lagi.

Tapi, fakta itu selalu luput dari perhatian karena selama ini yang menjadi ‘sasaran tembak’ dalam penyebaran HIV adalah pekerja seks. Padahal, pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif juga ditulari oleh suami-suami ibu-ibu rumah tangga tadi.

Dedik mengatakan: “Dilatarbelakangi oleh hal itu (maksudnya kasus HIV/AIDS di kalangan ibu-ibu rumah tangga-pen.) hari ini (kemarin) kami mengadakan pemeriksaan gratis HIV buat warga Malang. Bukan tidak mungkin, siapa saja tertular oleh pasangan hidupnya, tapi tidak mengetahui hal tersebut.” Acara yang didominasi oleh ibu-ibu rumah tangga itu dikabarkan dari 25 warga yang diperiksa, tak ada satu pun yang positif HIV.

Hasil tes itu tidak menjadi jaminan 25 warga itu bebas HIV. Apakah sebelum tes mereka mendapat konseling (bimbingan)? Bisa saja terjadi pada saat tes itu infeksi HIV di kalangan itu-ibu itu baru pada masa jendela (tertular di bawah tiga bulan). Jika tes HIV dilakukan pada masa jendela maka hasil tes bisa negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi karena antibody HIV belum ada) dan positif palsu (HIV tidak ada di darah tapi terdeteksi). Itulah sebabnya tes HIV pertama harus dikonfirmasi dengan tes lain.

Yang sering menjadi persoalan adalah jika seorang ibu rumah tangga terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) atau HIV suami selalu menuduh istrinya yang selingkuh. Beberapa kasus berakhir dengan kekerasan karena suami tidak menerima disebutkan sebagai orang yang menularkan IMS atau HIV kepada istrinya.

Lebih celaka lagi di Indonesia tidak ada mekanisme untuk mendeteksi HIV di masyarakat. Malaysia menerapkan survailans tes HIV rutin dan sistematis terhadap pasien klinik IMS, pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil, Ini membuat kasus yang terdeteksi di Malaysia mendekati angka ril yang mencapai 40.000 lebih dengan 25 juta penduduk. Bandingkan dengan Indonesia yang baru mendeteksi 20.000-an kasus AIDS dengan penduduk 240 juta.

Apakah dalam acara pemeriksaan HIV gratis itu juga ada tes IMS? Akan lebih baik kalau pemeriksaan dibuka dengan pintu IMS karena tes HIV ada kendala yaitu masa jendela dan reagent yang dipakai. Sedangkan tes IMS tidak mengenal masa jendela. Lagi pula jika ada ibu-ibu rumah tangga itu yang terdeteksi mengidap IMS maka ada kemungkinan mereka juga tertular HIV karena penularan dan sumbernya sama yaitu suami melalui hubungan seks yang sah di dalam nikah.

Dikabarkan acara serupa juga akan dilakukan terhadap anak jalanan dan pekerja seks komersial. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam tes HIV adalah tidak semua orang harus menjalani tes HIV. Yang dianjurkan menjalani tes IHV adalah orang-orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks langsung (pekerja seks komersial di lokasi pelacuran) dan pekerja seks tidak langsung (cewek bar, pemijat di panti pijat, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, dll.) serta pelaku kawin-cerai.

Maka, penduduk, pekerja seks dan anak jalanan yang dianjurkan tes HIV hanya mereka yang pernah atau sering melakukan hal di atas.

Dalam kaitan itu Pemkab dan Pemkot Malang khususnya dan pemerintan Indonesia umumnya harus meningkatkan penyuluhan dengan materi HIV/AIDS yang akurat tidak dibumbui dengan norma, moral dan agama. Ini dilakkan agar masyarakat mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang rasional. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun