”29% Pelajar SMU di Malang Pernah MelakukanHubungan Seks.” Ini judul berita di surabaya.detik.com (27/08/2010).
Disebutkan: “Gaya hidup remaja di Kabupaten Malang, Jawa Timur, sungguh memperihatinkan.” Pernyataan ini bertolak dari penelitian “CV Orbit Nusantara” yang mempulikasikan hasil penelitian mereka yaitu 29 persen pelajar pernah melakukan hubungan suami istri. Hasil ini penelitian terhadap 404 pelajar SMA sebagai responden. Dalam berita tidak disebutkan jumlah pelajar SMA di Kab. Malang.
Juga tidak ada penjelasan tentang cara yang dilakukan dalam penelitian. Dikhawatirkan penelitian dilakukan dengan mengisi angket melalui pilihan ganda. Jika ini yang dilakukan maka bisa saja siswa-siswi itu asal isi. Penelitian dengan angket ini sudah sering terjadi dan menimbulkan protes karena tidak akurat.
Ada pula pernyataan: ”Selain melakukan seks bebas, para pelajar SMU ini juga melakukan hubungan seks dengan saudara kandung (incest).” Pernyataan ini tidak akurat karena mengesankan ada perbedaan antara seks bebas dengan incest. Apa, sih, yang dimaksud dengan seks bebas? Dari penjelasan di atas ada kesan seks bebas sebagai zina. Lalu, mengapa incest dibedakan dengan seks bebas? Apakah incest bukan zina?
Ada lagi pernyataan: ”Hasrat seks yang tinggi itu, salah satunya akibat mudahnya akses pornografi melalui internet.” Apakah dampak pornografi hanya terjadi pada remaja? Hasil penelitian ini mendorong stigma (cap buruk) terhadap remaja karena tidak ada pembanding berupa tingkat zina yang dilakukan kalangan dewasa.
Pembicaraan tentang remaja selalu tidak adil. Semua persoalan moral dibebankan kepada remaja. Seolah-olah kalangan dewasa tidak mengalami hal yang sama ketika mereka remaja.
Disebutkan: ”Sebagaian besar mereka melakukannya dengan pacar.” Yang menjadi persoalan adalah kalau pelajar putra juga sering melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti pekerja seks, maka pelajar putri akan berisiko tertular IMS (infeksi menualr seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) atau HIV atau kedua-duanya sekaligus.
Disebutkan pula: "Dengan hidup lebih, terhindar dari ekonomi yang pas-pasan, para siswi itu nekat menjual diri." Ini bias gender karena sama sekali mengabaikan peranan laki-laki (dewasa). Kalau laki-laki dewasa yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami tidak ’membeli’ cinta dari siswi-siswi itu tentulah tidak akan terjadi pelacuran.
Dikatakan pula: ” .... melalui hasil penelitian ini akan menjadi ukuran adanya kebijakan kurikulum muatan lokal tentang Bahaya Seks Pranikah di SMP dan SMU di Kabupaten Malang.” Lagi-lagi ini menohok remaja. Setiap hubungan seks yang tidak aman berbahaya karena bisa menyebabkan kehamilan dan tertular IMS atau HIV.
Apa pun sifat hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, akan berbahaya jika dilakukan tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan. Risiko kehamilan dan tertular penyakit bukan karena pranikah (sifat hubungan seks) tapi karena kondisi ketika hubungan seks (tidak pakai kondom).***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H