Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pasal Kondom dalam Perda AIDS Sumut Jangan Hanya Tempelan

10 September 2010   13:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:19 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Penggunaan kondom harus di Perdakan.” Ini judul berita di Harian ”WASPADA” Medan (23/2-2010).

Bertolak dari kasus HIV/AIDS di Provinsi Sumatara Utara (Sumut) yang kabarkan sudah mencapai 1.932 per 31 Desember 2009, maka ” .... keberadaan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur soal peminimalisiran pengidap HIV/AIDS sudah sangat mendesak. Tanpa itu, dikhawatirkan angka penderita virus yang mematikan tersebut akan terus meningkat.”

Memang, sudah ada 37 perda penanggulangan AIDS di Indonesia. Sebagai gambaran pembuatan perda-perda itu mengacu ke Thailand. Ada ’angin sorga’ yang bertiup dari Negeri Gajah Putih itu yang menyebutkan bahwa kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seks mulai menurun. Ini terjadi berkat program ’wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacruan dan rumah bordir.

Maka, perda-perda pun ’mencangkok’ program itu dalam berbagai macam bentuk yang bersifat moralistis. Bahkan, ada perda yang sama sekali tidak menyebut kondom tapi alat pengaman.

Ya, namanya mencangkok ternyata buahnya pun kerdir karena tidak sebesar induknya. Program kondom itu hanya tempelan pada perda karena tidak ada mekanisme yang akurat dalam memantau program tsb.

Dalam berita Sekretaris Pelaksana Harian Komisi Pemberantasan HIV/AIDS (KPA) Prov Sumut, Ahmad Ramadhan. mengatakan: “Perda AIDS sudah selayaknya ada di daerah ini. Sebab, untuk memberantas HIV/AIDS harus dilakukan secara lintas-sektoral dengan melibatkan berbagai pihak dan instansi. Di situlah diperlukan Perda sebagai payung hukum.”

Kalau kelak Perda AIDS Sumut hanya copy-paste dari perda yang sudah ada maka nasibnya pun akan sama. Sia-sia. Soalnya, yang diatur di perda bukan upaya penanggulangan melalui pencegahan yang realistis tapi mengedepankan moral sebagai kunci pencegahan.

Di Tanah Papua, misalnya, sudah ada delapan perda AIDS. Apakah perda-perda itu bekerja? Hal yang sama juga terjadi di Kab. Serdang Bedagai, Sumut, yang sudah menelurkan Perda No. 11/2006. Apakah perda ini juga jalan?

Disebutkan lagi: “Di dalam Perda itu harus dimaktubkan kewajiban pemakaian kondom bagi warga yang beresiko tinggi tertular HIV/AIDS, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan konsumennya. Jika ada Perda, maka pengawasan dan penyaluran kondom dapat lebih terkendali kepada mereka yang memang beresiko tinggi.”

Persaolan yang akan dihadapi adalah tidak ada mekanisme untuk memantau pemakaian kondom. Berbeda dengan Thailand yang menerapkan cara yang sangat masuk akal yaitu melakukan survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap pekerja seks. Jika ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS maka germo akan diberikan sanksi mulai dari teguran sampai mencabut izin usaha.

Nah, di Indonesia tidak ada germo yang memegang izin mengelola pelacuran sehingga tidak ada kekuatan hukum yang bisa menindak mereka.

Ada lagi pernyataan: “Penyebaran HIV/AIDS di Sumut sangat berbeda dengan di daerah lain. Disini, sebagian besar disebabkan karena hubungan seksual. Karena itu, penggunaan kondom ini harus diatur dengan tegas dalam suatu Perda.”

Di sini ada fakta yang rancu. Penemuan kasus HIV/AIDS yang banyak di kalangan penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) karena mereka wajib tes HIV jika akan masuk panti rehalibitasi.

Di semua perda yang sudah ada semua mencantumkan kondom, tapi pelaksanaanya tidak efektif. Pertama, tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang memegang izin usaha. Kedua, tidak ada mekanisme yang realistis untuk memantau penggunaan kondom.

Hal yang juga luput dari perhatian adalah ‘program konodm 100 persen’ di Thailand berlaku secara nasional. Nah, kalau di Indonesia tidak semua daerah menerapkan hal yang sama tentulah penduduk dari satu daerah yang menerapkan perda kondom akan mencari ’cewek’ ke daerah lain atau ke luar negeri.

Penduduk Sumut yang tertular di luar daerah atau di luar negeri akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk di Sumut. Penyebaran terjadi tanpa disadari karena penduduk yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.

Ada pula pernyataan: ”Diakui, wacana tersebut pasti akan menimbulkan resistensi dari masyarakat. Sebab, terkesan melegalisasi seks bebas.” Ini yang justru rancu karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan seks bebas. Kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai pelacuran maka praktek pelacuran sudah terjadi sejak zaman dahulu biar pun kondom tidak ada. Tanpa ada perda kondom pun praktek pelacuran terus terjadi di mana saja dan kapan saja.

Disebutkan lagi: ”Pasalnya, hanya sekitar 10 persen dari pengidap HIV yang terdata, sehingga 90 persen lagi bisa saja masih berkeliaran dan berpeluang menularkan ke orang lain.” Persoalanya adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.

Kondisi itu terjadi karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat karena dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks pranikah, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh dan homoseksual.

Padahal, penularan HIV melalui hubungna seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, seks pranikah, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh dan homoseksual.

Ada pula pernyataan: ”Kita hanya bisa melakukan penyadaran perilaku bagi mereka agar jangan menularkan ke orang lain dan bagi warga terus kita himbau agar jangan melakukan seks bebas.” Tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV. Hubungan seks yang berisiko tertular HIV adalah hubungan seks yang dilakukan di dalam atau di lunar nikah tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks atau pelaku kawin-cerai.

Jika serius menanggulangi penyebaran HIV, khususnya melalui hubungan seks, maka perda harus menerapkan cara-cara seperti yang dilakukan Thailand melalui progtram ’wajib kondom 100 persen’. Ini artinya harus ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang memegang izin usaha. Apakah Pemprov Sumut punya nyali menerbitkan izin usaha untuk germo?

Untuk mendorong penduduk Sumut aktif dalam mencegah penyebaran HIV melalui hubungan seks maka dalam perda harus ada pasal yang berbunyi: ”Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.”

Untuk mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV maka ada pula pasal yang berbunyi: ”Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku.”

Kita tunggu apakah Pemprov Sumut bisa menelurkan perda yang tidak hanya copy-paste dari perda yang sudah ada. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun