* Laporan dari “Kompasiana Nangkring bareng LPDP”
Indonesia di ambang tahun emas yang kelak ditandai dengan ulang tahun Proklamasi yaitu tanggal 17 Agustus 2045.
Tentu saja untuk menyongsong fajar tahun emas 31 tahun yang akan datang diperlukan berbagai pendukung agar Indonesia benar-benar barada di masa emas kelak.
Pada masa keemasan nanti Indonesia diharapkan sudah ada pada kelompok tujuh besar ekonomi global. Untuk mencapai kondisi itu diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas yang setara dengan magister (S2) dan doktor (S3).
Tenaga Handal
Tenaga-tenaga berkualitas itu diperlukan untuk membangun negeri dengan tujuan mendukung kebutuhan ekononi nasional, mencapai kesejahteraan sosial, menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Ini semua sebagai modal untuk menjamin stabilitas nasional.
Dengan kondisi yang ada sekarang diperkirakan Indonesia tidak akan beranjak dari posisi 16 besar dunia menuju ke posisi 7 besar dunia di tahun 2045.
Untuk menyongsong “Tahun Emas” pemerintah menggulirkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Program ini merupakan upaya untuk mempercepat dan memperkuat pembangunan ekonomi dengan berpijak pada keunggulan dan potensi strategis yang ada di Nusantara, seperti pertambangan dan pertanian.
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memproduksi berbagai komoditas, antara lain kelapa sawit (terbesar di dunia), kakao (terbesar kedua di dunia), timah (terbesar kedua di dunia), nikel (cadangan terbesar keempat di dunia), dan bauksit (cadangan terbesar ketujuh di dunia). Selain itu Indonesia juga merupakan negara penghasil besi baja, tembaga, karet, dan produk-produk pertanian serta perikanan.
Indonesia pun memiliki cadangan energi yang sangat besar seperti batu bara, panas bumi, gas alam, dan air yang sebagian besar dimanfaatkan untuk mendukung industri andalan seperti tekstil, perkapalan, peralatan transportasi, dan pangan.
Untuk mengelola dan memanfaatkan semua potensi yang ada dengan tujuan kesejahteraan di ”Tahun Emas” kelak diperlukan tenaga-tenaga yang handal. Tanpa tenaga yang handal Indonesia tidak akan bisa mengelola sumber daya alam dengan baik. Terkait dengan tenaga yang handal, salah satu indikatornya adalah tingkat pendidikan tinggi yaitu magister dan doktor.
Untuk itulah pemerintah melalui PMK Nomor 252 Tahun 2010 pada tanggal 28 Desember 2011 dibentuk Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) satuan kerja di bawah Kementerian Keuangan. LPDP kemudian ditetapkan sebagai lembaga berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) tanggal 30 Januari 2012 berdarkan KMK Nomor 18 tahun 2012. Ini sejalan dengan amandemen keempat UUD 1945 yang mewajibkan negara, dalam hal ini pemerintah, memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN.
Sebagai perbandingan, Agung Sudaryono, Kepala Divisi Pengembangan Dana Kelolaan, LPDP, memberikan gambaran jumlah doktor (S3) per 1 juta penduduk di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia 143 doktor per 1 juta penduduk, sedangkan di Malaysia 509 doktor per 1 juta penduduk.
Untuk menggerakkan roda pembangungan melalui sektor teknik diperlukan tenaga insinyur yang handal dengan kualifikasi S3. Lagi-lagi, “Kita ketinggalan dengan Malaysia,” kata Agung dalam acara “Kompasiana Nangkring Bareng LPDP” di Kemenkeu, Jakarta Pusat, 12/4/2014.
Agung tidak mengada-ada karena di Malaysia 3.333 insinyur per 1 juta penduduk, sedangkan di Indonesia 2.571 insinyur per 1 juta penduduk.
Tanpa Ikatan Dinas
Untuk itulah, pemerintah melalu LPDP menjalankan program bea siswa untuk magister (S2) dan doktor (S3) dalam bidang-bidang studi teknik, sains, pertanian, keuangan, akutansi, hukum, agama, kedokteran, ekonomi sosial dan budaya.
Bidang-bidang studi tsb., menurut Ratna Prabandarie, Kepala Divisi Evaluasi Penyaluran Dana Pendidikan, LPDP, ditentukan berdasarkan studi-studi yang dilakukan, al. oleh MP3EI, terkait dengan upaya meningkatkan pembangunan untuk mencapai kondisi yang stabil di era keemasan kelak.
Untuk itulah Ratna berharap kian banyak putra-putri Indonesia yang mendaftar karena bea siswa LPDP ini terbuka bagi semua WNI dengan persyaratan, al. S1 untuk program magister usia maksimum 35 tahun dan S2 untuk program doktor 40 tahun. Bea siswa ini juga menjalankan afirmasi gender yaitu tidak membeda-bedakan jenis kelamin.
Tahun 2013 penerima bea siswa program magister dan doktor di perguruan tinggi di dalam dan di luar negeri sebanyak 1.545. Ini disebut sebagai kuota minimal. Sedangkan tahun 2014 kuota minimal ada di kisaran angka 2.032.
LPDP menjalankan program bea siswa melalui “telur” dari dana abadi yang disisihkan dari APBN sebesar Rp 15,6 triliun. Tahun 2014 “telur” yang sudah menetas Rp 1,4 triliun untuk mendanai ribuan penerima bea siswa.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bea siswa tidak ada ikatan dinas.
Akan halnya mengapa tidak ada ikatan dinas, menurut Ratna, jika kelak pendidikan selesai mereka akan menuntut tempat kerja. Tentu ini masalah baru bagi pemerintah. Lain halnya dengan penerima bea siswa yang bekerja di instansi atau institusi tidak ada masalah bagi mereka karena langsung bisa kerja kembali.
Yang jelas, seperti disampaikan Ratna, calon penerima bea siswa sudah digembleng sebelum lulus melalui berbagai kegiatan yang mengarah kepada kemampuan individu dan kelompok mengatasi masalah.
Kegiatan ini dikenal sebagai program kepemimpinan al, penanaman nilai-nilai nasionalisme, kepemimpinan, pemberian basic life skill, financial litercy, dll.
Melalui kegiatan program kepemimpinan itu, “Kita berharap mereka berkelompok untuk mengembangkan potensi mereka menciptakan atau membuka lapangan kerja baru,” ujar Ratna.
Ratna bukan tanpa alasan karena penerima bea siswa datang dari berbagai disiplin ilmu sehingga mereka bisa saling mendukung dalam kelompok kelak. Misalnya, yang lulus bidang studi hukum atau akutan bisa bekerja mencari modal untuk menggerakan insinyur dalam merancang proyek.
Pendaftaran bea siswa magister dan doktor terbuka sepanjang tahun melalui online ke LPDP, tapi seleksi hanya empat kali yaitu bulan Maret, Juni, September dan Desember.
Bagi penerima bea siswa diharapkan mengabdi ke nusa dan bangsa melalui keahlian mereka masing-masing setelah menyelesaikan pendidikan sebagai wujud dari nasionalisme.***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H