Repro: www.howcoolbrandsstayhot.com
“Awas, nanti nular.” Inilah salah satu pandangan sebagai orang terhadap homoseksual dan transeksual, seperti gay dan waria. Padahal, homoseksualitas bukan panyakit sehingga tidak menular.
Realitas sosial terkait dengan homoseksualitas yaitu gay pada laki-laki (laki-laki yang secara seksual tertarik kepada laki-laki) dan lesbian pada perempuan (perempuan yang secara seksual tertarik kepada perempuan) merupakan sikap dan pandangan sebagian orang yang akhirnya bermuara pada homofobia dan transfobia (KBBI: fobia adalah ketakutan yang sangat berlebihan terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya).
Menurut aktivis LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), Dr Dede Oetomo, padangan atau pendapat orang-orang di Indonesia terhadap homoseksual(itas) dan transgender(isme) sangat beragam. “Di satu sisi sudah ada kalangan yang dapat menerima sepenuhnya keberadaan LGBT, seperti kebanyakan aktivis HAM, aktivis HIV, dan banyak pekerja media yang sekuler,” kata Dede. Maka, dalam kenyataan sehari-hari, sebagian besar orang Indonesia dapat menerima orang yang mereka ketahui LGBT, terutama Transgender, seperti waria. Tapi, di sisi yang lain ada pula sebagian orang yang menentang (keras) keberadaan LGBT. Mereka itu, “Umumnya mereka mencampurkan moralitas agamis yang konservatif, harfiah dan tidak humanis dengan pandangan budaya yang tidak ilmiah,” ujar Dede yang aktif di Yayasan Gaya Nusantara, Surabaya.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian sebagai orang menunjukkan sikap berupa tanggapan yang negatif terhadap kehadiran LGBT, khusunya laki-laki gay dan waria. Tanggapan negatif itu berupa ketakutan, kebencian dan kemarahan terhadap kalangan LGBT.
Transgender adalah orang-orang dengan perilaku yang berbeda dengan jenis kelamin mereka secara fisik, mereka itu adalah laki-laki yang berpenampilan perempuan yang dikenal sebagai waria. Ada pula yang mengidetifikasi dirinya sebagai heteroseksual, homoseksual, biseksual, dll. Bahkan, ada yang menganggap dirinya aseksual. Bisa juga perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki yang dikenal dengan istilah tomboy.
Di beberapa daerah kehadiran waria merupakan bagian dari keseharian masyarakt, tapi di banyak daerah waria berhadapan dengan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda). Berbeda dengan gay dan lesbian yang tidak bisa diidentifikasi secara fisik luput dari stigma dan diskriminasi.
Beberapa negara, seperti Eropa Barat, sudah mengizinkan pernikahan di kalangan gay dan lesbian. Negara-negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis, yaitu: 1 Belanda, 2 Belgia, 3 Spanyol, 4 Kanada, 5 Afrika Selatan, 6 Norwegia, 7 Swedia, 8 Portugal, 9 Islandia, 10 Argentina, 11 Meksiko, 12 Uruguay, 13 New Zeland, dan 14 Prancis.
Fobia terhadap LGBT muncul karena padangan dan sikap yang berawal dari ketidakmampuan sebagai orang bersikap humanis. Dalam bahasa lain Dede mengatakan sebagai orang tidak bisa menghormati setiap orang sebagai pribadi. Sebagian lagi terperangkap dalam penafsiran ajaran agama yang harfiah dan tidak kontekstual. ”Sebagian lagi dari ketidaktahuan mereka terhadap homoseksualitas,” kata Dede.
Karena fobia terhadap LGBT bisa mendorong seseorang agresif terhadap LGBT, maka Dede berharap pemerintah merancang kurikulum pendidikan seksualitas yang komprehensif sejak usia dini sampai dewasa. Tapi, saat ini tantangannya sangat kuat sekali. Di pihak lain masyarakat sipil, seperti wartawan, pembuat film, aktivis HAM, dan aktivis LGBT sudah lama bergerilya untuk mendorong sikap positif pada masyarakat agar memahami LGBT sebagai bagian dari masyarakat, namun, “Menurut hemat saya langkah itu belum cukup,” kata Dede. Dede benar karena fobia terhadap LGBT masih sangat kental di masyarakat. Jika hal ini terus berlanjut bisa mendorong kekerasan terhadap kalangan LGBT (dari berbagai sumber).***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H