Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Money

Gas Elpiji 12 Kg Pertamina Non-Subsidi: Biaya Produksi Komersial, Harga Jual Sosial

5 September 2014   01:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:36 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya lebih senang memakai gas untuk memasak,” ujar Farah Quinn, salah seorang chef terkenal di Indonesia, yang berbicara di “Kompasiana Nangkring bareng Pertamina: Membincang Elpiji Non-Subsidi” (Jakarta, 29/8-2014). Farah mengatakan jika dibandingkan dengan cara memasak lain, seperti listrik dan jenis gas lain, memakai gas elpiji (LPG) lebih baik, al. karena tidak berbau. Dan tentu saja karena mudah didapat.

Farah benar. Banyak orang yang kemudian memilih gas untuk memasak baik di rumah maupun di dapur restoran dan hotel yang ditangani juru masak atau koki profesional. Tingkat pemakaian gas elpiji 12 kg tinggi, tapi di sisi lain Pertamina justru “kedodoran” karena harga jual gas elpiji 12 kg merugikan perseroan.

Elpiji Menguntungkan

Permintaan masyarakat terhadap gas kian besar sejak pemerintah menjalankan program konversi bahan bakar rumah tangga dari minyak tanah ke gas sejak tahun 2007. Secara nasional pengguna bahan bakar gas di wilayah perkotaan mencapai 86 persen. Dari jumlah ini pengguna gas elpiji 12 kg 18,4 persen dan sisanya memakai gas lain. Sedangkan di wilayah pedesaan di P Jawa 65 persen rumah tangga memakai bahan bakar gas dan 35 persen memakai gas lain. Hanya 6 persen rumah tangga yang memakai gas elpiji 12 kg, sedangkan 94 persen memakai gas jenis lain.

Seperti seorang ibu di Pisangan Timur, Jakarta Timur, mengatakan bahwa dia tetap akan memilih gas elpiji 12 kg biar pun harga naik karena pengalamannya menunjukkan memakai elpiji 12 kg jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan gas elpiji 3 kg. “Kalau dibandingkan dengan minyak tanah jauh lebih menguntungkan lagi gas elpiji,” kata itu tadi.

Seiring dengan konversi minyak tanah ke gas, pada tahap awal pemerintah membagikan gas dengan tabung 3 kg. Gas ini disubsidi penuh oleh pemerintah sehingga tidak membebani Pertamina. Selanjutnya gas elpiji 3 kg dijual secara komersial tapi diproduksi Pertamina dengan subsidi pemerintah.

Konversi minyak tanah gas dimaksudkan sebagai langkah konkret untuk mengurangi subsidi karena biaya produksi minyak tanah setara dengan biaya produksti Avtur (bahan bakar untuk pesawat terbang turbin gas yang batas titik didihnya sekitar 150 derajat Celcius). Konsumen terbesar minyak tanah adalah masyarakat di pedesaan dengan tingkah penghasilan yang rendah. Inilah alasan pemerintah menyubsidi minyak tanah. Kebijakan ini menguras APBN karena kebutuhan minyak tanah mencapai 12 juta kilo liter per tahun dengan subsisi Rp 25 triliun.

Pengguna minyak tanah sebelum konversi ke gas yaitu gologan sangat miskin 10 persen, 10 persen golongan miskin, 50 persen golongan menengah, dan 20 persen golongan mampu.

Itu artinya ada 20 persen sasaran konversi minyak tanah yaitu rumah tangga keluarga sangatr miskin dan miskin serta usaha kecil, dengan gas 3 kg yang harus disubsidi. Dalam angka sasaran itu adalah 40 juta kepala keluarga (KK) sangat miskin dan miskin yang tersebar di seluruh Indonesia. Sampai akhir 2010 sudah dibagikan paket tabung gas elpiji 3 kg  sebanyak 44.675.000 buah dengan konsumsi 3,793 juta metrik ton elpiji. Ini setara dengan 11,317 juta kilo liter minyak tanah. Konversi ini menghemat anggaran sebear Rp 19,34 triliun.

Sedangkan untuk golongan menengah dan golongan mampu Pertamina juga menyediakan gas tabung 12 kg. Gas tabung 12 kg ini tidak disubsidi atau nonsubsudi oleh pemerintah sehingga menjadi beban bagi keuangan Pertamina. Pengguna gas tabung 12 kg mencapai 17 persen dari pasar gas elpiji.  Pengguna ini 16 persen rumah tangga di perkotaan 6 persen rumah tangga di pedesaan.

Rekomendasi BPK

Adalah audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menunjukkan kerugian tata niaga gas elpiji 12 kg nonsubsidi sebagai kerugian negara. Tahun 20091 sampai 2013 saja BPK menyebutkan kerugan Pertamina sebesar Rp 17 triliun. Sedangkan di tahun 2014 setelah kenaikan harga menjadi Rp 1.000/kg kerugian diperkirakan mencapai Rp 5,4 triliun.

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi permintaan terhadap gas elpiji 12 kg akan terus meningkat. Namun, peningkatan permintaan gas elpiji 12 kg ini juga akan meningkatkan impor LPG, bahan baku dan biaya operasional serta kurs rupiah terhadap dolar AS yang terus bergejolak. Celakanya, biaya produksi dan distribusi gas elpiji 12 kg tidak disubsidi pemerintah, sehingga semua ditanggung oleh Pertamina.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian BPK merekomendasikan penyesuaian harga jual gas elpiji 12 kg untuk mengatasi atau paling tidak untuk mengurangi kerugian Pertamina. Bertolak dari kerugian Pertamina pada tata niaga gas elpiji 12 kg dan 50 kg pada kurun waktu 2011 sd. Oktober 2012 yang mencapai Rp 7,73 triliun, BPK memberikan rekomendasi menaikkan harga jual elpiji 12 kg sesuai dengan biaya produksi untuk mengurangi kerugian Pertamina berdasarkan harga LPG dan daya beli konsumen dalam negeri serta kesinambungan persediaan dan pemerataan distribusi.

Pertamina, seperti dikatakan Adiatma Sardjito, Media Manager Pertamina, pada acara “Kompasiana Nangkring bareng Pertamina” kenaikan harga gas elpiji 12 kg dilakukan secara bertahap yaitu setiap enam bulan sampai pada tahun 2016 sehingga harga ekonomis tercapai yaitu pada kisaran Rp 175.900. “Ini kisaran harga tata niaga gas elpiji 12 kg yang ekonomis,” ujar Adiatma. Harga per tabung di tangan konsumen diperkirakan berkisar Rp 180.000 – Rp 200.000 karena ada biaya distribusi.

Selain Pertamina ada dua perusahaan yang ikut tata niaga gas elpiji 12 kg, tapi mereka menjual gas dengan harga di atas Rp 15.000 kg, sedangkan harga jual Pertamina antara Rp 6.000 – Rp 7.000 per kilogram. Kondisi ini menggerogoti keuangan Pertamina karena harus memberikan subsidi untuk biaya produksi dan distribusi.

Penyesuaian harga gas elpiji 12 kg terakhir dilakukan Pertamina tahun 2009. Bank Indonesia (BI) memprediksi penyesuaian harga secara bertahap tidak akan mempengaruhi inflasi secara berarti. Lagi pula Pertamina akan menjalankan program penyesuaian harga melalui roadmap dengan cara-cara yang elegan (Lihat Gambar 1).

14098288291131051874
14098288291131051874

Selain karena ada rekomendasi BPK, Pertamina juga tidak semena-mena menetapkan atau menaikkan harga gas elpiji 12 kg karena harus ada koordinasi dengan Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan Kemenko Perekonomian. Lagi pula kenaikan harga ini bukan untuk mencari untung, karena jika dihitung secara korporat kerugian itu ditutupi tata niaga lain, tapi untuk menutupi kerugian sebesar Rp 2,81 triliun pada semester pertama tahun 2014. Jika harga tidak disesuikan, maka setiap tahun Pertamina akan menelan kerugian sebesar Rp 5 trilun.

Menghambat Migrasi

Kekhawatiran ada migrasi atau perpindahan konsumen gas elpiji 12 kg ke elpiji 3 kg jika harga elpiji 12 kg dinaikkan juga ditampik Pertamina. Pertamina mempunyai data yang komplet seluruh agen dan distributor serta mempunyai sistem monitoring. Kalau ada lonjakan permintaan gas elpiji 3 kg Pertamina tidak akan memenuhi permintaan dari distributor.

Persoalan yang dihadapi Pertamina adalah bulan Juli bertepatan dengan puasa sehingga kenaikan diundur sampai habis lebaran. Namun, ini pun tidak jadi dilakukan karena ‘gonjang-ganjing’ politik terkait dengan (hasil) Pilpres 2014. Bahkan, kondisinya kian runyam karena pemerintah Presiden SBY menolak menaikkan harga BBM dan memilih membatasi subsidi sehingga diperkirakan akan jadi ‘bom waktu’ bagi pemerintahan Jokowi-JK sebagai pasangan presiden dan wakil presiden terpilih.

Dengan kenaikan harga bertahap sampai mencapai harga yang ekonomis harga jual gas elpiji nonsubsidi di Indonesia jauh lebih murah jika dibandingkab dengan harga di negara-negara lain (Lihat Gambar 2).

14098289191597351473
14098289191597351473

Karena BPK sudah memberikan rekomendasi untuk menaikkan harga jual gas elpiji 12 kg untuk menghindari kerugian negara, maka tidak ada pilihan lain bagi Pertamina selain menaikkan harga. Persoalannya kemudikan adalah reaksi dari konsumen karena diperkirakan akan bersamaan dengan kenaikan harga BBM atau pengurangan subsidi BBM.

Pertamina perlu mencari waktu yang tepat untuk menaikkan harga gas elpiji 12 kg agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Tentu saja Pertamina perlu melancarkan sosialisasi yang intens, al. melalui media massa seperti lomba blog ini, untuk memasyarakatkan rencana kenaikan harga gas elpiji 12 kg agar masyarakat memahami kondisi ril yang dihadapi Pertamina. (bahan-bahan dari Pertamina, esdm.go.id, dan sumber lain). *** [Syaiful W. Harahap] ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun