“Perempuan positif HIV rentan mengalami kekerasan karena dianggap memiliki posisi tawar yang rendah. Atas dasar itu, pemerintah seharusnya mewajibkan tes HIV pada pasangan yang ingin menikah agar kekerasan tersebut dapat dicegah.” Ini lead pada berita “Cegah Kekerasan, Pemerintah Seharusnya Wajibkan Tes HIV Sebelum Menikah” (detikHealth, 5/9-2014).
Sayang, lead berita ini tidak dalam tanda petik sebagai kutipa sehingga ada kemungkinan lead ringkasan tsb. berpijak pada pernyataan Melly Windi Lianti, Program Manager Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).
Yang menjadi pertanyaan dari lead berita tsb. adalah: Apakah status HIV istri diketahui setelah mereka menikah?
Konseling Pranikah
Kalau jawabannya YA, maka pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah suaminya juga menjalani tes HIV?
Kalau jawabannya TIDAK, maka yang menjadi persoalan bukan tes sebelum menikah.
Jika status HIV istri diketahui suami sebelum merka menikah, maka tidak ada alasan bagi suami untuk melakukan kekerasan.
Persoalannya adalah: Apakah dilakukan konseling yang komprehensif ketika mereka akan menikah?
Dari beberapa kasus yang ditangani oleh sebuah institusi terkait dengan pernikahan yang melibatkan Odha (Orang dengan HIV/AIDS) menunjukkan tidak ada masalah yang timbul setelah mereka menikah. Bisa salah satu Odha, ada juga yang dua-duanya Odha. Ini terjadi karena ada konseling yang komprehensif sejak mereka menyatakan tertarik satu sama lain.
Ini pernyataan Melly: “Kamu kan positif HIV, siapa lagi yang mau sama kamu?”
Perkataan seperti itu, menurut Melly, menyudutkan perempuan, sehingga mereka akan menerima saja kekerasan yang dilakukan setelah menikah. Ini terjadi karena suami tidak tahu kondisi HIV istrinya sebelumnya.
Kondisi itu menunjukkan tidak ada konseling yang komprehensif karena si calon istri sendiri justru menyembunyikan status HIV-nya.
Cara yang dilakukan istri justru bertolak belakang dengan program penanggulangan HIV/AIDS dengan motto: Menghentikan penularan HIV mulai dari diri sendiri. Ini merupakan kontra produktif terhadap penanggulangan HIV/AIDS.
Ada pula pernyataan: “Hal itu lumrah terjadi karena pada dasarnya suami merasa takut tertular HIV oleh istrinya.”
Pernyataan ini tidak adil dan tidak akurat karena fakta menunjukkan justru istri yang banyak tertular HIV dari suami.
Lagi pula, apakah istri tidak takut tertular HIV dari suaminya?
Fakta menunjukkan banyak suami yang tidak mau menjalani tes HIV ketika istrinya terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Suami justru menuduh istrinya yang selingkuh. Bahkan, penelitian di Jakarta Utara menunjukkan ada suami yang memukul istrinya karena terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual) karena suami menuduh istri yang selingkuh.
Pernyataan IPPI itu benar-benar tidak masuk akal. Yang membuat pertanyaan perempuan yaitu Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), tapi justru menohok perempuan dengan menempatkan perempuan sebagai pelengkap-penderita. Itu artinya IPPI tidak mempunyai sikap empati terhadap kaumnya.
Suami Tertular HIV
Menurut Melly, jika tes HIV menjadi kewajiban untuk dilakukan sebelum menikah, rasa kaget, shock atau takut yang muncul dapat berkurang sehingga kekerasan yang terjadi juga dapat dicegah.
Pernyataan Melly lagi-lagi tidak bernalar.
Pertama, apa yang akan terjadi kalau ternyata yang positif HIV adalah calon suami?
Apakah pernikahan dilanjutkan dan apakah ada jaminan suami tidak akan menularkan HIV ke istri?
Kedua, apa yang akan terjadi kalau status HIV istri terdeteksi setelah menikah?
Bagaimana jika suami menuduh istrinya yang selingkuh dan suami sendiri tidak mau menjalani tes HIV?
Ketiga, apakah ada jaminan istri tidak mengalami kekerasan jika istri terdeteksi mengidap HIV setelah menikah?
Maka, tes HIV sebelum menikah adalah pekerjaan yang sia-sia. Menggantang asap! (Lihat: Tes HIV Sebelum Menikah Bisa Jadi Bumerang).
Selain itu perlu pula diperhatikan masa jendela ketika calon pengantin menjalani tes HIV karena jika tes HIV pada masa jendela hasil tes bisa HIV negatif palsu (HIV ada di dalam darah tapi hasil tes nonreaktif) atau HIT positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif).
Soalnya, tes HIV bukan vaksin. Artinya, biar pun satu pasangan HIV-negatif ketika tes HIV sebelum menikah itu bukan jaminan suami terutama tidak akan tertular HIV lagi selama pernikahan (Lihat gambar).
Bisa saja suami tertular HIV al. jika:
(a) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS, atau
(b) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), karena ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang dilayani PSK tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga PSK tsb. berisiko tertular HIV/AIDS.
Disebutkan oleh Melly: “ .... Kalau dijadikan mandatory (maksudnya tes HIV-pen.), tentunya penularan akan berkurang karena pasangan dapat mengambil langkah-langkah perencanaan terlebih dahulu.”
Bagaimana kalau salah satu pasangan tsb., terutama suami, tertular HIV setelah menikah?
Jika yang terdeteksi duluan istri, maka ada kemunginan suami akan menuduh istrinya yang melakukan perilaku berisiko, al. disebutkan selingkuh.
Maka, tes HIV yang diwajibkan sebelum menikah tidak ada gunanya. Bahkan, status HIV suami sebelum menikah bisa jadi senjata untuk menyudutkan istrinya jika terdeteksi mengidap HIV/AIDS dengan mengatakan bahwa istrinya yang selingkuh.
Menteri Kesehatan, dr Nafsiah Mboi, SpA, MPH, mengatakan, jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun terus bertambah. Kalau di Tahun 2012 terdeteksi 9.318 perempuan yang terinfeksi HIV, di tahun 2013 jumlahnya mencapai 12.279. Tahun ini sampai Juni 2014 terdeteksi 6.528 kasus HIV baru perempuan sehingga jumlah perempuan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS mencapai 18.807 (tribunnews.com, 9/9-2014).
Itu artinya wajib tes HIV sebelum menikah lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. *** [Syaiful W. Harahap - AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H