“Membludak, Warga Bali Lakukan Tes HIV/AIDS.” Ini judul berita di tribunnews.com edisi 30/9-2014.
Judul berita ini menggambarkan kondisi buruk perilaku warga Bali karena tidak semua orang, dalam hal ini warga Bali, harus melakukan tes HIV.
Tapi, judul berita itu sudah menghukum warga Bali yang menunjukkan perilaku seksual warga Bali berisiko tertular HIV sehingga mereka melakukan tes HIV sampai membludak.
Perilaku Berisiko Tertular HIV/AIDS
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Bali dilaporkan 9.908, dengan estimasi 26.000 (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/KPAN). Itu artinya kasus yang terdeteksi baru 38,11 persen. Berarti ada 16.092 lagi kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi dan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, al. melalui hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di dalam dan di luar nikah.
Orang-orang yang dianjurkan tes HIV yakni yang berperilaku berisiko tertular HIV, yaitu:
(1) Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, al. dengan parempuan yang berganti-ganti, seperti dengan pacar, perselingkuhan, ‘kumpul kebo’, kawin kontrak, nikah mut’ah, dan pelaku kawin-cerai.
(2) Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, al. dengan laki-laki yang berganti-ganti, seperti dengan pacar, perselingkuhan, ‘kumpul kebo’, kawin kontrak, nikah mut’ah, dan pelaku kawin-cerai.
(3) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, al. pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang kasat mata seperti di lokasi pelacuran, taman, jalanan, dll.) serta PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata seperti cewek panggilan, ABG, ibu-ibu, mahasiswi, ayam kampus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek gratifikasi seks, dll.).
(4) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom dengan dengan waria dan laki-laki (dikenal sebagai LSL yaitu Lelaki Suka Seks Lelaki).
(5) Laki-laki gay yang pernah atau sering melakukan hubungan seks anal dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.
(6) Perempuan hamil karena ada kemungkinan suami mereka berperilaku berisiko tertular HIV, seperti pada angka (1), (2), (3) dan (4) sehingga kalau suami mereka mengodap HIV/AIDS maka ada kemungkinan mereka juga tertular HIV.
(7) Laki-laki dan perempuan yang pernah atau sering memakai narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) secara bersama-sama dengan cara disuntikkan dengan memakai jarum yang sama secara bergiliran.
Nah, jika disebutkan bahwa warga Bali membludak melakukan tes HIV itu artinya warga Bali melakukan salah satu atau beberapa perilaku berisiko di atas. Ini ‘kan menyesatkan.
Tidak ada gunanya tes HIV kalau perilaku tidak terkait dengan perilaku yang berisiko tertular HIV.
Disebutkan: “Berdasarkan data dari KPA Bali, jumlah penderita terbanyak HIV/AIDS berada di wilayah Kota Denpasar. Di ibukota Provinsi Bali ini, jumlah penderita secara kumulatif dari tahun 1987 hingga 2014 sebanyak 3.919 kasus.”
Pertanyaannya adalah: Apakah semua pendeita HIV/AIDS yang tercatat di Kota Denpasar merupakan penduduk Kota Denpasar?
Tes HIV Langkah di Hilir
Kalau jawabannya “YA”, maka hal itu merupakan kondisi ril dari masyarakat yang banyak melakukan perilaku berisiko.
Tapi, kalau jawabannya “TIDAK”, maka pernyataan itu salah. Bukan “jumlah penderita terbanyak HIV/AIDS berada di wilayah Kota Denpasar”, tapi kasus HIV/AIDS banyak tercatat di Denpasar.
Kondisi itu terjadi karena sebelum tempat tes, disebut Klinik VCT, dibukan di berbagai tempat dulu hanya ada di RS Sanglah, Denpasar, sehingga kasus-kasus dari berbagai daerah di Bali dan dari luar Bali serta luar neger yang terdeteksi di RS Sanglah tercatat sebagai kasus di Kota Denpasar.
Dalam berita disebutkan: Upaya yang dilakukan oleh Pemkot Denpasar dalam meminimalisasi penyebaran HIV, antara lain adalah dengan layanan Voluntary Counseling Test (VCT).
Langkah ini di hilir. Artinya, Pemkot Denpasar menunggu ada dulu penduduk kota itu yang tertular HIV baru dites.
Yang diperlukan adalah program penanggulangan di hulu yaitu untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru terutama di kalangan laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK langsung. Soalnya, adalah hal yang mustahil menghentikan insiden infeksi HIV baru dari 7 perilaku berisko di atas.
Yang bisa dilakukan dengan cara-cara yang konkret adalah melakukan intervensi pada perilaku nomor (3), itu pun hanya dengan PSK langsung yang kasat mata di lokasi pelacuran. Jika pelacuran tidak dilokalisir, maka program intervensi, dikenal dengan ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melacur, tidak akan bisa dijalankan.
Disebutkan oleh Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Denpasar, Luh Putu Sri Armini: “jumlah kunjungan orang yang melakukan VCTmenunjukkan peningkatan. Jumlahnya banyak dan terus meningkat.”
Wah, itu bukti lagi kalau warga Kota Denpasar melakukan perilaku berisko sehingga yang melakukan tes membludak.
Koordinator Pokja Informasi dan Pencegahan KPA Bali, Prof Dr Mangku Karmaya, mengatakan: “fenomena HIV/AIDS di Bali ibarat gunung es. Maka, untuk membongkarnya perlu adanya kesadaran diri dari masyarakat untuk memeriksakan diri sedini mungkin.”
Yang diperlukan bukan kesadaran masyarakata, tapi orang-orang dengan perilaku berisiko. Jika semua orang disamaratakan perilakunya, maka akan muncul mitos baru bahwa biar pun tidak melakukan perilaku berisiko, kecuali perempuan hamil, tetap akan tertular HIV. Maka, mereka pun mengabaikan perilaku seks aman.
Disebutkan lagi: “Kampanye seperti menghindari perilaku seks menyimpang dan gonta ganti pasangan juga terus dilakukan selain sosialisasi pemakaian kondom untuk mereka yang berpotensi terjangkit virus ini (HIV-pen.).”
Kalau yang dimaksud dengan seks menyimpang adalah zina, al. dengan melacur, maka perlu diingat bahwa tidak ada kaitan langsung antara ‘seks menyimpang’ dengan penularan HIV/AIDS.
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) dengan berbagai macam posisi hubungan seks jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali ngeseks (kondisi hubungan seksual).
Langkah-langkah yang tidak realistis dan konkret itulah al. yang membuat penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia jalan di tempat, bahkan mundur. Maka, tidaklah mengherankan kalau penyebaran HIV/AIDS terus terjadi di negeri ini dan kelak bermura pada ‘ledakan AIDS’. *** [Syaiful W. Harahap - AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H