Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Di NTT Mayoritas Pengidap HIV/AIDS adalah Ibu Rumah Tangga: Adakah Karena Poligami?

31 Oktober 2014   01:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:07 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan data dari Komisi penanggulangan AIDS Provinsi NTT dan juga hasil rilis oleh Dinas Kesehatan Provinsi NTT, mayoritas penderita HIV/AIDS di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) diidap oleh ibu rumah tangga. Jumlah kumulatif kasus AIDS hingga akhir Bulan Agustus 2014 terdapat 780 ibu rumah tangga yang menderita AIDS.” (Ibu Rumah Tangga, Mayoritas Penderita HIV/AIDS di NTT, kompas.com, 29/10-2014).

Kasus kumulatif HIV/AIDS di NTT sampai bulan Agustus 2014 di 22 kabupaten dan kota adalah 3.041, yang terdiri atas ibu rumah tangga 780, wiraswasta 610, petani 410, pekerja seks komersial (PSK) 155, tidak diketahui 137, dan sopir 132. Mereka itu adalah belum kerja 123, PNS 111, ojek 107, tenaga kerja Indonesia 103, buruh 78, mahasiswa 73, guru 44, pelajar 33, satpam 20, polisi 19, tukang 18, pembantu rumah tangga 17, pelaut 12, nelayan 12, perawat 10, narapidana 9, TNI 8, aparat desa 6, anak buah kapal 5 dan pensiunan 3. Sedangkan berdasarkan umur yang paling banyak yakni 20-29 tahun yakni sebanyak 1.204 kasus. Berdasarkan jenis kelamin paling banyak perempuan yaitu 1.791 kasus (58,90 persen).

Pernyataan dalam bentuk kesimpulan ini bias gender karena HIV/AIDS yang ada pada ibu-ibu rumah tangga tidak datang sendiri karena perilaku mereka, tapi karena ditularkan oleh sumai mereka. Itu artinya yang lebih banyak mengidap HIV/AIDS adalah laki-laki.

Tapi, jika KPA NTT tetap mengatakan bahwa yang paling banyak mengidap HIV/AIDS di NTT adalah ibu rumah tangga dibanding laki-laki dewasa, maka itu artinya banyak laki-laki yang beristri lebih dari satu. Artinya, laki-laki di NTT poligami.

Disebutkan oleh Pengelola Program KPA NTT, Gusti Brewon: .... para ibu rumah tangga tersebut terinfeksi dari pasangannya. Mereka memiliki pasangan yang punya perilaku berisiko dan dalam ketidaktahuan itu mereka akhirnya terinfeksi HIV.

Kalau di NTT monogami, maka jumlah laki-laki (baca: suami) yang mengidap HIV/AIDS minimal sama dengan perempuan (ibu rumah tangga) karena disebut ibu rumah tangga itu tertular dari suami. Karena yang paling banyak mengidap HIV/AIDS adalah ibu rumah tangga bisa jadi seorang laki-laki atau suami beristri lebih dari satu.

Yang jadi pertanyaan adalah kalau perilaku berisiko suami-suami itu adalah karena ngeseks dengan pekerja seks komersial, mengapa tidak ada intervensi berupa program yang bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki?

Bisa jadi Pemprov NTT mengatakan tidak wilayahnya tidak ada pelacuran yang melibatkan PSK karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang dibentuk dengan regulasi. Artinya, secara de jure tidak ada pelacuran di NTT.

Tapi, secara de facto praktek pelacuran yang melibatkan PSK terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Karena pelacuran tidak dilokalisir, maka tidak bisa dijalankan program berupa intervensi yang konkret untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika ngeseks sengan PSK.  Itu artinya, insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang pada tahap selanjutnya ditularkan ke perempuan.

Disebutkan pula oleh Gusti, ibu rumah tangga yang sudah terjangkit HIV dapat menularkan virus tersebut kepada bayi saat melahirkan atau menyusui, karena terlambat tahu status HIV-nya.

Pertanyaan untuk Gusti, apakah ada program yang konkre dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil?

Kalau tidak ada, maka amatlah masuk akal kalau kelak du NTT kian banyak bayi yang lahir dengan HIV/AIDS.

Persoalan baru akan muncul karena kalau anak-anak itu jadi yatim-piatu tidak jelas instansi mana yang akan menangani mereka. Kemensos tidak bisa karena mereka bukan penyandang masalah sosial, sedangkan Kemenkes pun tidak bisa karena anak-anak itu tidak dalam kondisi sakit. Kondisinya kian runyam kalau keluarga bayi-bayi AIDS itu tidak mau mengurus mereka.

Jika Pemprov NTT tidak mempunyai program konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil, maka selama itu pula bayi yang lahir dengan HIV/AIDS akan terus bertambah.

Ini masih pernyataan Gusti: “Ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS trennya setiap tahun meningkat. Hal ini karena upaya pemeriksaan HIV sudah bergerak lebih baik. Layanan terus difasilitasi untuk lebih dekat, termasuk kampanye untuk peningkatan kesadaran lebih gencar. Tidak heran penemuan kasus akan terus ada, karena makin banyak orang mulai menyadari pentingnya tes HIV.”

Pernyataan di atas tidak pas. Yang dimaksud Gusti sebenarnya adalah jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS tiap tahun bertambah. Ini karena kian banyak layanan.

Tapi, kalau disebut “Ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS trennya setiap tahun meningkat” itu bukan karena layanan, tapi karena kian banyak laki-laki yang tertular HIV/AIDS yang pada gilirannya mereka menularkannya kepada pasangannya, seperti istri, pacar atau selingkuhan. Inilah yang membuat kian banyak ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Menurut Gusti, langkah pertama yang dilakukan oleh pihaknya yakni mendorong lebih banyak IRT dan pasangannya untuk mengakses layanan pemeriksaan HIV karena merupakan hal yang sangat penting.

Langkah itu jelas pasif karena hanya menunggu ibu rumah tangga yang mau menjalani tes HIV. Bahkan, banyak ibu rumah tangga yang menjalani tes HIV karena mereka memeriksakan kehamilan atau karena ada indikasi perilaku suami yang perilakunya berisiko tertular HIV/AIDS.

Yang diperlukan adalah langkah yang aktif berupa intervensi yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada pasangan suami istri. Ada kemungkinan juga KPA NTT dan Dinkes NTT tidak melakukan konseling pasangan. Ketika seorang ibu rumah tangga terdeteksi mengidap HIV/AIDS, suaminya tidak dikonseling sehingga tidak menjalani tes HIV.

Jika Pemprov NTT tidak melokalisir pelacuran, maka internvisi tidak bisa dijalankan secara efektif  sehingga memicu insiden infeksi HIV baru pada laki-laki, yang pada gilirannya menambah jumlah perempuan, dalam hal ini istri atau ibu rumah tangga, yang tertular HIV. Pada terminal terakhir infeksi HIV terjadi pada anak-anak yang lahir dari ibu pengidap HIV/AIDS.***[Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun