Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penanggulangan HIV/AIDS d Kota Tangerang, Banten, Hanya (Sebatas) Retorika

13 Desember 2014   18:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:22 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia (Wakil Wali Kota Tangerang, Banten-pen.) menjelaskan, penanggulangan masalah HIV/AIDS di Kota Tangerang memerlukan penanganan yang komprehensif dan berkesinambungan. (Kasus HIV/AIDS di Tangerang Didominasi Usia Produktif, beritasatu.com, 12/12-2014).

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Tangerang adalah 1.116 yang terdiri atas 712 HIV dan 404 AIDS dengan 21 kematian (kabartangsel.com, 2/12-2014).

Kata-kata ‘komprehensif’ dan ‘berkesinambungan’ merupakan jargon-jargon retorika yang selalu menjadi bagian dari pidato. Jika dikaitkan dengan penanggulangan HIV/AIDS, apa yang dimaksud dengan penanganan yang komprehensif dan berkesinambungan?

Dalam berita disebutkan: “ .... diperlukan sosialisasi penyusunan strategi dan rencana penanggulangan HIV/AIDS yang menyeluruh. Begitu juga dengan komitmen dari semua pihak seperti lingkungan eksekutif, legislatif, pihak swasta dan masyarakat.”

Rupanya, baru sebatas sosialisasi dan rencana. Selama sosalisasi dan penyusunan rencana sudah banyak terjadi insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual (Lihat gambar), serta penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara horizontal yang dilakukan oleh laki-laki yang tertular HIV/AIDS.

Dari sudut hubungan seksual paling tidak ada empat “pintu” masuk HIV/AIDS ke Kota Tangerang, yaitu:

(1) Laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Kota Tangerang atau di luar Kota Tangerang,

(2) Perempuan dewasa melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di Kota Tangerang atau di luar Kota Tangerang,

(3) Laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, yaitu pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dll.) di Kota Tangerang atau di luar Kota Tangerang, dan

(4) Laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, yaitu PSK tidak langsung (cewek kafe, cewek pub, cewek disko, ‘ayam kampus’, ABG, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.) di Kota Tangerang atau di luar Kota Tangerang.

Jika memakai kosa kata komprehensif, maka itu artinya Sachrudin harus menutup empat “keran” di atas.

Adalah mustahil bagi Sachrudin untuk menutup empt kran di atas karena tidak ada mekanisme atau teknologi yang bisa memantai perilaku laki-laki dan perempuan pada empat keran di atas.

Selain empat keran di atas, ada pula satu persoalan yang sangat pelik yaitu penduduk Kota Tangerang yang sudah mengidap HIV/AIDS dan tidak terdeteksi akan menyebarkan HIV/AIDS secara horizontal antar penduduk al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Hal itu terjadi karena penduduk Kota Tangerang yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka. Maka, penyebaran HIV/AIDS pun terjadi tanpa disadari oleh banyak orang.

Soal jumlah penduduk Kota Tangerang yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi merupakanh refleksi dari fenomena gunung es, yaitu kasus yang terdeteksi () digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Maka, ada dua hal yang harus dikerjakan Sachrudin secara simultan, yaitu menutup empat keran dan mendeteksi penduduk yang mengidap HIV/AIDS.

Itu artinya mustahil karena karan nomor (1), (2) dan (4) tidak bisa dideteksi. Di Prov Papua pernah ada wacana menanam chip di penis laki-laki agar pergerakan mereka bisa dipantau. Persoalannya adalah bagaimana membedakan sinyal jika seorang laki-laki ngeseks dengan istrinya, pekerja seks komersial (PSK), selingkuhan, ABG, dengan sesama laki-laki, dll.

Yang bisa dilakukan hanya mengecilkan aliran kran nomor (3), tapi dengan syarat pelacuran harus dilokalisir. Intervensi yang bisa dilakukan adalah menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang ngeseks dengan PSK.

Langkah pertama adalah dengan meregulasi pelacuran yaitu dilokalisir. Germo atau mucikari diberikan izin usaha yang akan menjadi pintu masuk untuk memberlakukan sanksi hukum. Secara rutin, misalnya tiap hari Senin, dilakukan tes IMS (infeksi menular seksual, kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, jengger ayam, klamdia, dll.) terhadap PSK. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu artinya ada laki-laki yang tidak memakai kondom ketika ngeseks dengan PSK. Germo diberikan sanksi sesuai dengan yang sudah diatur, misalnya, teguran, pencacutan izin usaha, denda sampai kurungan.

Sedangkan langkah kedua adaslah mendeteksi penduduk Kota Tangerang yang mengidap HIV/AIDS, bisa dilakukan melalui:

(a) Regulasi dalam bentuk perda atau perwali yang mewajibkan semua pasien yang berobat di sarana kesehatan pemerintah wajib menjalani tes HIV,

(b) Regulasi dalam bentuk perda atau perwali yang mewajibkan semua pasien yang berobat dengan BPJS di sarana kesehaan swasta yang iurannya dibayar pemerintah wajib menjalan tes HIV, dan

(c) Regulasi dalam bentuk perda atau perwali yang mewajibkan semua perempuan hamil dan pasangan atau suaminya wajib menjalani konseling dan tes HIV.

Tiga regulasi di atas bisa mendeteksi penduduk yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Tiga regulasi di atas tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) karena ada pilihan jika tidak bersedia menjalani tes HIV.

Tanpa program yang konkret, khusunya terhadap nomor (3), maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Tangerang akan terus terjadi yang kelak bermuara pada “ledakan AIDS”. *** [Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun