Kalau selama ini cara yang aman untuk, maaf, “menjual diri” dengan menawarkan hubungan seksual adalah melalui germo atau mucikari, tapi sekarang perempuan (pelacur) dan laki-laki (gigolo) memanfaatkan jaringan Internet sebagai media untuk promosi.
Memang, jika memakai perantara, dalam hal ini germo, tentulah ada pengeluaran untuk komisi, dll. Di panti pijat plus-plus dan lokalisasi pelacuran germo menyediakan semua keperluan cewek, mulai dari kamar dan perlengkapannya sempai pakaian dan kosmetik, tapi dengan cara-cara yang merugikan cewek. Harga dipatok tinggi dan dikreditkan sehingga harga barang-barang tsb. melambung tinggi. Pembayarannya dipotong dari uang yang diterima cewek setelah melayani laki-laki hidung belang di ranjang.
Tiga Ketegor
Dengan memakai germo cewek-cewek ‘bisyar’ (habis dibayar, julukan untuk pekerja seks komersial/PSK) juga tidak merasa nyaman karena merekan kemudian dikenali banyak orang sehingga mengganggu privasi.
Berbeda dengan cara yang sekarang menjadi trend yaitu memakai Facebook atau Twitter (dua-duanya media sosial) dengan alat bantu ponsel dan e-mail mereka tidak terikat dengan germo sehingga tarif bisa dirundingkan dengan peminat atau mereka pasang tarif fixed.
Pelacuran melalui media sosial sangat tertutup sehingga privasi pelacur-pelacur ‘bispak’ (bisa dipake) tsb. tidak akan terpublikasi secara luas. Seperti yang dilakukan RA, mantan mahasiswi UIN Bandung, yang mengaku sudah tujuh bulan yaitu sejak Agustus 2014 menjalani pekerjaan sebagai cewek ‘bispak’ sebelum terbongkar awal bulan ini. Kasus ini terbongkar pun karena ulah orang lain yang menyebarluaskan foto-foto syur RA di Facebook. Jika foto-foto itu tidak muncul, maka bisa jadi sampai RA diwisuda sebagai sarjana tidak akan pernah terbongkar.
Dengan mengetikkan @ atau # kata-kata yang mengarah ke pelacuran, seperti bispak, bisyar, ayam kampus, dll. sudah muncul berbagai macam gambar dan tawaran di Facebook atau Twitter.
Jika diamati cewek-cewek yang berpose dan menawarkan diri sebagai cewek ‘bispak’ atau ‘bisyar’ di media sosial, ternyata ada 3 (tiga) kategori atau kriteria, yaitu:
(1) Mereka memang ‘menjual diri’ sebagai pelacur dengan berbagai persyaratan dan ketentuan sebagai tarif dan pelayanan.
Tentang durasi ada ST (short time) biasanya dua jam, ada pula LT (long time) empat atau enam jam. Untuk ST dan LT juga ditentukan jumlah ‘crot’-nya atau jumlah atau frekuensi ejakulasi.
Layanan, mereka sebut service, yang disediakan: BJ (blow job yaitu melakukan seks oral), HJ (hand job yaitu melakukan onani terhadap laki-laki). Service yang lain: FK (French Kiss atau Cipokan), FJ (full job yakni sanggama atau ubungan seksual). Yang lain ini: CIM (dibaca dengan dieja Ce-I-eM yaitu Cum In Mouth atau crot di dalam rongga mulut) danCIF(Cum In Face atau crot di wajah).
Untuk ‘pantangan’ ada ini: wajib pakai kondom, no DP, no foto face, no anal, no bondage (Sado-Masochism yaitu perlakuan kasar atau sadir), no nego, no omdo.
Jika ada kesesuaian, maka dilanjutkan dengan pembicaraan melalui BBM atau WhatsApp serta e-mail (untuk mengirim video demo). Untuk menerima foto wajah dan video demo harus mengirim DP (uang muka) dengan transfer.
(2) Ada juga cewek-cewek yang dikarunia Tuhan tubuh yang molek, kulit haluss, wajah cantik, pinggul bagus, kaki mulus, betis ramping, buah dada aduhai, dll. ingin menunjukkan kemolekan tubuh mereka ke laki-laki. Atau cowok dengan badan atletis, dada berbulu, penis long size, dll. yang ingin memamerkannya kepada perempuan.
Cewek dan cowok ini bisa saja terjerat pada pergaulan homoseksual yaitu lesbian dan gay karena mereka justru secara rutin dan romantis menerima pesan atau melayani percakapan dengan sesama jenis
Kondisi di atas adalah parafilia yaitu orang-orang, dalam hal ini cewek, tapi bisa juga laki-laki, yang menyalurkan hasrat dorongan seksual dengan cara lain yaitu memamerkan kemolekan atau kejantanan tubuh untuk membuat lawan jenis atau sesama jenis terangsang. Ini disebut eksebionisme. Bagian-bagian tubuh yang biasanya tertutup menjadi objek untuk eksebionisme. Selain mengharapkan reaksi dari yang melihat, mereka juga berharap bisa memberikan kejutan kepada seseorang atau kepada banyak orang bahwa bagian-bagian tubuh yang selama ini ditutup ternyata aduhai.
Eksbisinisme di Facebook dan Twiter biasanya dilakukan oleh ‘bulu jagung’ yaitu cewek-cewek ‘anak baru gede’ (ABG) dengan kondisi bulu di kemaluan mulai tumbuh. Jika mereka dikontak dengan kata-kata yang mengarah ke ‘bispak’ mereka tidak akan melayaninya. Tapi, kalau percakapan dalam bentuk pujian, kekaguman, dll. mereka dengan senang hati membalasnya.
Cewek yang melakukan eksebisionisme erat kaitannya dengan fantasi seks laki-laki. Secara alamiah setiap hari dalam hitungan beberapa menit laki-laki akan terbawa ke alam seks melalui fantasi yang mereka bangun dalam lamunan mereka.
Cewek-cewek betubuh molek dengan 'bede' (buah dada) yang aduhai sangat senang membaca komentar-komentar laki-laki dan senang pula melihat jumlah yang mengklik 'like'. Tanggapan terhadap komentar hanya pada komentar yang menyaarakan kekeguman dengan memuji tubuh molek si cewek. Sedangan yang menjurus ke 'bispak', biar pun melalui Inbox tidak akan ditanggapi.
Misalnya, bamyak laki-laki yang membuat fantasi seks yaitu ML (making love atau melakukan hubungan seksual) dengan selebriti yang terkenal. Satu selebriti bisa saja dijadikan fantasi seks oleh banyak laki-laki
Fantasi seks lain adalah melakukan kekerasan terhadap cewek yang dijadikannya fantasi sampai pada kondisi cewek tsb. pasrah dan melayaninya dengan kehangatan.
Yang lain adalah membayangkan ML dengan cewek perawan dengan kondisi laki-laki membuat fantasi dia sudah berpengalaman ngesek sehingga cewek perokaw (bahasa prokem untuk perawan) akan ketakutan ketika terjadi ML. Itulah kondisi kepuasan fantasi laki-laki yang membayangkan dirinya ML dengan perawan.
(3) Tidak sedikit cewek yang mejeng sebagai ‘bispak’ atau ‘bisyar’ di Facebook dan Twitter memanfaatkan kondisi untuk menipu. Mereka melayani percakapan seperti layaknya cewek ‘bispak’ atau cewek ‘bisyar’, tapi setelah DP terkirim, laki-laki akan gigit jari karena informasi tentang tempat dan waktu yang dijanjikan bohong.
Pertanyaannya: Mengapa laki-laki yang tertipu tidak melapor ke polisi?
Ya, tentu saja mereka tidak akan berani karena takut ketahuan sehingga malu. Itulah sebabnya sebuah hotel berbintang di Pantai Senggigi, Lombok, selalu menahan kartu identitas cewek yang dibawa ke hotel tsb.
Untuk apa, Pak Satpam?
“Ya, siapa tahu ada barang Bapak yang hilang ‘kan bisa kita lacak,” kata satpal di hotel tsb.
Di Manila, Filipina, ada juga hotel yang menempatkan satpam di depan lift dengan tujuan meminta kartu identitas. Tujuannya tentu saja sama. Soalnya, laki-laki itdak akan pernah melaporkan kehilangan dompet di kamar ketika bersama cewek panggilan.
Maka, pengalaman laki-laki ini perlu juga diperhatikan. Karena takut dompetnya dicuri cewek panggilan, maka sebelum ‘bertempur’ dia menyembunyikan dompetnya. Biasanya dia menyembunyikan dompet di tempat-tempat yang mudah dilihat di kamar. Tapi, kali itu dia khawatir sehingga dompet diletakkan di bawah lemari. Pagi hari dia kalang-kabut mencari dompetnya.
Seorang narasumber sekaligus sahabat penulis adalah alm. Sartono Mukadis. Dia psikolog di UI. Dalam berbagai kesempatan wawancara tentang masalah sosial Mas Ton, panggilan akrabnya, ada satu kata yang sering muncul yaitu snobisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan: snobisme adalah orang yang senang meniru gaya hidup atau selera orang lain yang dianggap lebih daripadanya tanpa perasaan malu.
Banyak orang yang melakukan snobisme tanpa mereka sadari. Di tahun 1970-an “aparat” keamanan sering bertindak kasar bahkan kejam dengan berbagai alasan. Nah, germo di tempat-tempat pelacuran, al. di Kota Bandung dan sekitarnya, sering menawarkan cewek sebagai “istri aparat”. Ini bagian dari upaya untuk melampiaskan kedongkolan karena laki-laki merasa bisa melakukan hal yang sama dengan kalangan yang membuat dia terpinggirkan.
Begitu juga dengan ulah banyak laki-laki yang mencari-cari pelacur dari kalangan mahasiswi, disebut ‘ayam kampus’. Mereka merasa snob karena bisa, maaf, meniduri mahasiswi karena banyak di antara mereka yang hanya bisa bermimpi duduk di bangku kuliah. Padahal, bisa saja laki-laki tertipu karena cewek ‘ayam kampus’ itu bukan mahasiswi tulen. Mereka, bisa saja, maaf, mendaftar di perguruan tinggi abal-abal hanya untuk mendapatkan kartu mahasiswi.
Itulah snob. Soalnya, secara empiris tidak ada perbedaan cewek ‘istri aparat’ atau ‘ayam kampus’ dengan PSK atau cewek ‘bispak’ dan cewek ‘bisyar’ yang sama sekali tidak pernah jadi mahasiswi, bahkan banyak yang hanya lulusan setingkat SD.
Terkait dengan cewek ‘bispak’ dan cewek ‘bisyar’ merka sudah dirasuki hedonisme (KBBI: pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagia tujuan utama dalam kehidupan). Dengan ‘menjual diri’ mereka mendapatkan uang yang melebih gaji manejer menteri. Seperti pengakuan RA, mahasiswi di Bandung tadi, dia pasang tarif fixed (pasti) RP 2,5 juta sekali crot. Dengan tarif itu dia mengaku mengantongi uang Rp 6 juta per malam.
Maka, laki-laki ‘hidung belang’ dana perempuan atau cewek yang jual diri menjadi perpaduan buruk snobisme dan hedonisme.
Adalah hal yang mustahil menghenikan pelacuran dalam berbagai bentuk, maka ada satu sisi yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran karena IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamdia, jengger ayam, kanker serviks, dll.) dan HIV/AIDS.
Caranya yaitu sosialisasi seks aman (menghidarkan penis bersentuhan lagsung dengan vagina ketika sanggama) sebagai upaya mendorong mereka melindungi diri agar tidak tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus.
Selain itu yang perlu disimak adalah persoalan utama bukan pada 'bispak' dan 'bisyar', tapi ada pada laki-laki karena laki-lakilah yang mencari mereka. Biar pun 'bispak' dan 'bisyar' menawarkan diri jika laki-laki tidak 'memakai' dan 'membayar' cewek-cewek 'bispak' dan 'bisyar' itu tentu saja tidak akan pernah terjadi perzinaan atau pelacuran.
Jika tidak ada intervensi, maka penyebaran IMS dan HIV/AIDS di Indonesia akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. *** [Syaiful W. Harahap] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H