Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

AIDS di Gunung Kidul, Yogyakarta, Mengapa Memprihatinkan?

27 Februari 2015   18:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:25 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425011569578302274

“Sebagian besar penderita baru ini sudah menderita Aids. Harusnya terdeteksi HIV terlebih dahulu, tapi ini malah langsung terdeteksi Aids.” Ini pernyataan Petugas Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) RSUD Wonosari, Aris Suryanto, dalam beritaPengidap HIV/AIDS di Gunungkidul Alami Peningkatan” di tribunjogja.com (23/2-2015).

Pernyataan Aris ini menggambarkan pemahaman yang tidak komprehensif tentang HIV/AIDS sebagai fakta medis di ranah realitas sosial, karena:

(1) AIDS bukan penyakit sehingga tidak (akan) pernah ada orang yang menderita AIDS atau HIV/AIDS. Adapun penyebutan penyakit untuk HIV/AIDS hanya sebatas terminologi yang menunjukkan ada aspek medis yang lebih dari 70 gejala terkait dengan infeksi HIV (AIDS And The Third World, Panos, London, 1987). Itu artinya menyebutkan penyakit HIV/AIDS hanya sebatas terminologi bukan diagnosis penyakit.

(2) Karena AIDS bukan virus atau penyakit tapi kondisi tubuh dan kesehatan orang-orang yang sudah tertular HIV disebut masa AIDS, maka AIDS bukan dideteksi. Langkah pertama adalah mendeteksi apakah HIV ada di dalam darah. Dengan memakai reagent ELISA untuk tes HIV yang dicari di darah bukan virus (HIV), tapi antibody HIV. Secara alamiah tubuh akan memproduksi antibody untuk melawan setiap penyakit yang masuk ke dalam tubuh, baik bakteri, kuman dan virus.

(3) Yang tepat adalah HIV pada banyak orang terdeteksi sudah di masa AIDS bukan ‘langsung terdeteksi AIDS’ karena masa AIDS yang secara statistik terjadi pada rentang waktu 5-15 tahun dikenali dengan gejala-gejala yang ada. Tapi, gejala-gejala tsb. bisa dikaitkan dengan AIDS jika hasil tes HIV reaktif (positif).

Di lead berita disebutkan: Kasus HIV/ Aids di Gunungkidul semakin memprihatinkan. Dalam waktu dua bulan terakhir, tercatat ada sembilan penderita baru yang teridentifikasi saat melaksanakan Voluntary Counseling Test (VCT) di RSUD Wonosari.

Yang memprihatinkan adalah Pemkab Gunung Kidul, DI Yogyakarta, tidak menjalankan program yang konkret dan sistematis untuk menanggulangi insiden penularan HIV baru (hulu). Perda AIDS DI Yogyakarta pun hanya mengumbar moral untuk menanggulangi penyebarang HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta).

Selain itu perlu dijelaskan bahwa VCT bukan tempat tes, tapi sistem atau cara yaitu tes HIV secara sukarela dengan konseling. Jadi, bukan terdeteksi saat melaksanakan VCT tapi terdeteksi ketika tes HIV dengan cara VCT.

Disebutkan lagi dalam berita: .....  selama Januari dan Februari, klinik VCT yang ada di rumah sakit melaksanakan pemeriksaan terhadap 28 pasien. Dari jumlah tersebut, sembilan orang atau 30 persennya positif terjangkit HIV/Aids.

Isitilah yang lebih pas dan arif adalah tertular atau terinfeksi HIV, bukan positif terjangkit HIV/Aids.

Aris pun disebutkan mengatakan: “Ini sudahwarning,30 persen dari 28 orang yang memeriksakan ke klinik VCT RSUD Wonosari positif HIV/ Aids.”

Kalau sudah warning, apa yang Anda kerjakan agar tidak warning lagi?

Dengan cara-cara yang sekarang dilakukan di banyak daerah yaitu mendeteksi orang-orang yang sudah tertular HIV/AIDS tidak akan menurunkan warning karena langkah ini di hilir. Artinya, Anda menunggu dulu ada penduduk Gunung Kidul yang tertular HIV/AIDS baru dites di Klinik VCT.

Yang diperlukan adalah langkah di hulu yaitu menurunkan insiden penularan HIV baru, terutama pada laki-laki yang tertular melalui hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan pekerja seks komersial (PSK).

Program yang dijalankan, seperti yang sudah berhasil di Thailand, adalah intervensi berupa regulasi yang mewajibkan laki-laki selalu memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual dengan PSK. Program ini bisa berjalan efektif jika pelacuran dilokalisir. Celakanya, di Gunung Kidul, seperti juga daerah lain di Indonesia, pelacuran tidak dilokalisir sehingga terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Selama Pemkab Gunung Kidul tidak menjalankan program penanggulangan yang konkret di hulu, maka akan terus warning karena insiden penularan HIV baru terus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV tsb. menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat Gunung Kidul, al. melalui hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam dan di luar nikah. Penyebaran HIV ini akan bermuara pada “ledakan AIDS”. *** [Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun