“Sepanjang tahun 2006 - 2012, Komisi Perlindungan Anak (KPA) Kota Medan menemukan, ada 50 balita di Kota Medan yang terinfeksi virus HIV. Penyakit ini diturunkan oleh ibunya yang sudah lebih dulu mengidap penyakit mematikan ini.” Ini lead di berita ”50 balita di Medan terinfeksi HIV” (http://www.waspada.co.id, 9/6-2012).
Kasus HIV/AIDS pada 50 balita itu merupakan bagian dari 3.422 kasus kumulatif HIV/AIDS di Sumut.
Tidak jelas apakah pernyataan pada lead berita itu kesimpulan wartawan atau kutipan berdasarkan pernyataan dari KPA Kota Medan. Soalnya, ada beberapa hal yang tidak akurat pada pernyataan itu.
Pertama, HIV adalah virus yang menular melalui cara-cara yang sangat khas, seperti hubungan seksual. Maka, HIV bukan ‘penyakit’ turunan sehingga HIV/AIDS pada 50 balita itu bukan diturunkan langsung oleh ibunya tapi terular dari ibu mereka. Bisa terjadi ketika di dalam rahim, saat persalinan atau ketika menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Kedua, HIV dan AIDS tidak mematikan. Belum ada kasus kematian pada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS (setelah tertular antara 5 – 15 tahun), disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll.
Menurut Pengelola Program KPA Kota Medan, L Marsudi Budi Utomo, kawasan kumuh pinggiran Kota Medan, ditengarai rentan terjadi penularan. Faktor ekonomi lebih dominan membuat beberapa anak usia sekolah tampil sebagai penjaja seks.
Pernyataan Marsudi ini tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara kawasan kumuh dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual tergantung pada perilaku seksual orang per orang.
Begitu pula dengan anak-anak sekolah ’penjaja seks’ mereka berisiko bukan karena mereka (masih) anak-anak, tapi karena mereka melayani laki-laki tanpa kondom. Kalau mereka terjun ke dunia pelacuran di masa remaja tentulah HIV/AIDS pada mereka ditularkan oleh laki-laki dewasa ’hidung belang’.
Disebutkan bahwa sejauh ini penanggulangan HIV masih melalui VCT yang ada di Kota Medan. Tersebar di beberapa rumah sakit dan puskesmas di 21 kecamatan.
Klinik VCT, tempat tes HIV secara sukarela dengan bimbingan yang gratis, bukan untuk menanggulangi HIV/AIDS tapi mendeteksi HIV. Artinya, yang dilakukan di klinik VCT adalah penangangan di hilir. Maka, Pemko Medan menunggu penduduknya tertular HIV dahulu baru ditangani melalui klinik VCT.
Menurut Indah Kemala Hasibuan, salah seorang konselor di klinik VCT mengatakan, sebenarnya peran dari keluarga yang lebih dominan dalam penanggulagan HIV.
Risiko tertular HIV tergantunng kepada perilaku orang per orang, al. perilaku seksual yaitu sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks dan waria.
Masih menurut Indah: "Dari hasil konseling ke beberapa penderita HIV, rata-rata mengaku terinfeksi virus lantaran perlakuan sex yang menyimpang."
Apakah, sih, yang dimaksud Indah dengan ’sex yang menyimpang’?
Kalau ’sex yang menyimpang’ adalah berzina atau melacur, maka lagi-lagi pernyataan Indah itu adalah mitos (anggapan yang salah) karena tidak ada kaitan langsung antara zina dan melacur dengan penularan HIV.
Penularan HIV melalui hubungan seskual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah. Lihat saja ibu 50 balita itu mereka tertular dari suaminya di dalam ikatan pernikahan yang sah.
Menurut Ketua Medan Plus, Eban Tatonka, kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara diprediksi mengalami peningkatan karena terbatasnya anggaran untuk penanggulangan penyakit menular tersebut pada tahun 2012.
Pernyataan ini pun tidak akurat karena kasus HIV/AIDS akan terus bertambah seiring dengan jumlah kasus baru yang terdeteksi. Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun biar pun penderitanya meninggal.
Yang tidak muncul dalam berita itu adalah penanganan terhadap orang tua, ayah dan ibu, 50 balita itu. Jika ayah mereka tidak didampingi, maka para ayah itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Sumut, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Celakanya, tidak ada program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Kota Medan. Dalam Perda AIDS Kota Medan pun tidak ada satu pasal yang memberikan cara penanggulangan HIV/AIDS yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/02/17/pasal-pasal-normatif-penanggulangan-hivaids-di-perda-aids-kota-medan/).
Karena tidak ada langkah yang konkret untuk menanggulagi penyebaran HIV di Kota Medan, maka Pemko Medan tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H