Angka-angka terkait dengan kasus kumulatif HIV/AIDS, jumlah balita yang terdeteksi HIV/AIDS dan jumlah kematian terkait HIV/AIDS seakan-akan hanya sebagai ‘saksi bisu’.Itulah yang ada dalam berita “11 Penderita AIDS Meninggal” (metrotvnews.com, 13/8-2011).
Angka-angka yang disebutkan tidak dibawa ke realitas sosial terkait dengan epidemi HIV sehingga masyarakat hanya melihat angka itu seperti nomor saja. Padahal, angka itu berbicara banyak jika dikaitkan dengan epidemi HIV.
Dalam berita disebutkan sejak tahun 1997 sudah ada 124 kamatian tekait HIV/AIDS, dan 45 bayi di bawah empat tahun yang terdeteksi mengidap HIV.
Terkait dengan kematian maka angka 124 tidak berhenti di angka itu saja. Kematian pada odha (orang dengan HIV/AIDS) terjadi pada masa AIDS yaitu setelah tertular HIV antara 5-15 tahun. Pada rentang waktu itu banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik. Tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas terkait AIDS.
Tapi, pada rentang waktu itu seorang yang sudah mengidap HIV bisa menularkan HIV kepada orang lain tanpa disadarinya, seperti melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, jarum suntik terutama pada pengguna narkoba, dll.
Jika 124 odha yang meninggal itu mempunyai 1 pasangan, maka sudah ada 124 lagi penduduk Sulut yang berisiko terular HIV. Angka ini kian banyak kalau ada di antara yang 124 itu ada laki-laki ’hidung belang’ atau suami yang beristri lebih dari 1.
Angka akan bertambah banyak kalau ada PSK di antara yang 124 itu. Kalau setiap malam 1 PSK meladeni 3 laki-lakai, maka sebelum dia meninggal sudah ada 3.600 – 10.800 (1 PSK x 3 laki-laki x 20 hari/bulan x 5 atau 15 tahun) laki-laki ’hidung belang’ yang berisiko tertular HIV.
Kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga menunujukkan suami mereka merupakan bagian dari angka 3.600 – 10.800 itu. Akhirnya, ibu-ibu yang tertular itu pun menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya karena mereka tidak terdeteksi sehingga tidak mengikuti program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Perda AIDS Prov Sulut pun sama sekali tidak menawarkan cara yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil sehingga kelak kian banyak bayi yang lahir dengan HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/24/menguji-peran-perda-hivaids-prov-sulawesi-utara/).
Menurut Pengelola Admin KPA Sulawesi Utara, Patrick Johanes, perlu perubahan perilaku agar terhindar dari penularan penyakit ini.
Tanpa intervensi yang konkret tidak akan mungkin terjadi perubahan perilaku, terutama yang menyangkut hubungan seksual. Thailand, misalnya, bisa menekan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Celakanya, berbagai kalangan di Sulut menepuk dada dengan mengatakan tidak ada pelacuran hanya karena tidak ada lokalisasi pelacuran. Apakah ada jaminan di Sulut tidak ada praktek pelacuran?
Kalau jawabannya TIDAK, maka Pemprov Sulut sudah harus merancang penanggulangan penyebaran HIV, terutama melalui hubungan seksual, yang konkret. Di Sulut, terutama Kota Manado, dikabarkan ratusan PSK beroperasi (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/08/10/setiap-malam-1494-laki-laki-%E2%80%98hidung-belang%E2%80%99-di-manado-berisiko-tertular-hivaids/).
Jika tidak ada langkah yang konkret, maka Pemprov Sulut tinggal menunggu ‘ledakan AIDS’ karena kasus-kasus yang ada di masyarakat akan menjadi ‘bom waktu’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H