Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

33% HIV/AIDS di Kutai Timur, Kaltim, Terdeteksi pada Karyawan Swasta

6 Juli 2012   10:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:14 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dijelaskan, penyakit yang cukup ditakuti dan mematikan ini sudah menelan korban di daerah ini. Saat ini tambahnya (Harmadjie Parto Darsono selaku Sekretaris KPA Kab Kutai Timur/Kutim, Prov Kaltim-pen.), sudah ada sekitar 64 kasus HIV/AIDS di kabupaten ini, yakni 12 meninggal dan 36 sudah ARV (AIDS).” Ini ada dalam berita33 Persen Karyawan Swasta Terjangkit HIV” (“Samarinda Pos”, 6/7-2012).

Jika disimak pernyataan di atas dua kemungkinan.

Pertama, wartawan yang menulis berita ini tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis. Ini tampak jelas dari pernyataan ‘penyakit yang cukup ditakuti dan mematikan’. Yang ditakuti justru informasi yang menyesatkan karena sudah mengakibatkan banyak orang yang tertular HIV. Sampai sekarang belum ada laporan kematian karena HIV atau AIDS.

Kedua, pernyataan ‘36 sudah ARV (AIDS)’ jelas menyesatkan. ARV adalah akronim untuk obat antiretroviral yang diberikan kepada pengidap HIV/AIDS untuk menahan laju perkembangbiakan HIV di dalam darah. Pembertan obat ARV justru jauh sebelum masa AIDS. WHO sudah menganjurkan obat ARV diberikan jika CD4 pada seorang pengidap HIV/AIDS di bawah 350 (CD4 diketahui melalui tes darah).

Maka, yang mengerikan justr informasi yang tidak akurat karena bisa menyesatkan.

Disebutkan: “Penyebaran HIV/AIDS di Kutim cukup memprihatinkan. Pasalnya, yang terjangkit di tengah masyarakat sudah merambah sampai ke ibu rumah tangga dan kalangan karyawan swasta.”

Risiko tertular HIV bukan karena pekerjaan atau kalangan, tapi karena perilaku orang per orang.

Kalau saja wartawan yang menulis berita ini lebih jeli, maka pertanyaan yang dia ajurkan ke KPA adalah: Mengapa banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada kalangan karyawan swata?

Sayang, wartawan tidak mendalami data yang disodorkan KPA, sebaliknya KPA pun tidak mempunyai informasi di balik data itu.

Data lain disebutkan bahwa 31 persen kasus HIV/AIDS terdeteksi di kalangan PSK.

Lagi-lagi wartawan tidak membawa data ini ke realitas sosial terkait dengan perilaku berisiko tertular HIV. Ada dua kemungkinan terkait dengan 31 persen kasus HIV/AIDS pada PSK.

Pertama, ada kemungkinan yang menularkan HIV kepada PSK itu justru laki-laki lokal. Ini artinya di masyarakat sudah ada laki-laki yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi.

Kedua, ada kemungkinan PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tertular HIV di luar Kutim. Ini artinya, laki-laki lokal yang sanggama dengan PSK tanpa kondom berisiko tertular HIV.

Nah, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Lalu, laki-laki lain yang tertular HIV dari PSK karena sanggama tanpa kondom juga dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Disebutkan: “Dan yang menjadi victim adalah korban dari kaum lelaki, yakni kaum ibu rumah tangga yang ada di rumah.”

Pernyataan ini berpijak pada moral sehingga tidak objektif. PSK yang ditulari HIV oleh laki-laki juga merupakan korban.

Pertanyaannya adalah: Apakah KPA Kutim bisa menjamin tidak ada laki-laki penduduk Kutim yang melacur tanpa kondom di Kutim atau di luar Kutim?

Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada penyebaran HIV/AIDS di Kutim dengan faktor risiko hubungan seksual.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka ada persoalan besar yang dihadapi Pemkab Kutim yaitu penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual.

Kalau Pemkab Kutim tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula penyebaran HIV di masyarakat akan terus terjadi.

Begitu pula dengan Pemprov Kaltim juga tidak mempunyai program penanggulangan yang konkret, seperti Perda AIDS Prov NTT yang sama sekali tidak menawarkan cara-cara pencegahan yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/26/sepak-terjang-perda-aids-prov-kalimantan-timur/).

Pemkab Kutim tinggal menunggu waktu saja untuk’panen ADS’. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun