Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

3,1 Juta Laki-laki di Indonesia Berisiko Tertular HIV/AIDS

23 Mei 2012   06:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:56 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1337753040281054863

* Tidak ada program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret

”Kunci pengendalian penularan HIV adalah pengendalian perilaku seks berisiko pada laki-laki. Perilaku seks laki-laki memengaruhi kesehatan perempuan dan anak.” Ini lead di berita ”Kunci Pengendalian pada Perilaku Seks” (kompas.com, 22/5-2012).

Persoalannya adalah: Bagaimana cara yang bisa dilakukan agar tidak ada laki-laki yang melakukan perilaku berisiko?

Ada lima perilaku laki-laki yang berisiko tertular HIV, yaitu:

(1). Yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti.

(2). Yang mempunyai istri atau pasangan seks lebih dari satu dengan catatan di antara istri atau pasangan seks tsb. ada yang sudah pernah menikah atau mempunyai pasangan lain.

(3). Yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki (disebut Lelaki Suka Seks Lelaki-LSL) yang berganti-ganti atau dengan laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/19/fenomena-laki-laki-suka-seks-laki-laki-dalam-epidemi-aids/).

(4). Yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan waria.

(5). Yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.).

Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), dr Nafsiah Mboi, SpA, sekitar 3,1 juta laki-laki pembeli seks. Maka, dalam epidemi HIV mereka inilah yang menularkan HIV kepada pekerja seks dan yang tertular HIV dari pekerja seks.

Dalam kehidupan sehari-hari di antara 3,1 juta laki-laki itu ada yang mempunyai satu atau lebih istri serta pasangan seks lain. Penyebaran HIV yang dilakukan 3,1 juta laki-laki ini dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS pada perempuan, terutama ibu rumah tangga.

Dalam berita disebutkan: ”Yang dimaksud sebagai perilaku seks berisiko tinggi adalah aktivitas seksual tanpa pengaman (kondom) sehingga rentan terhadap penularan HIV.”

Pernyataan di atas tidak tepat karena hubungan seksual berisiko kalau dilakukan tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti (karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS) atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan (karena ada kemungkinan di antara laki-laki yang melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS).

Celakanya, tidak ada program pemerintah yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada perilaku nomor 5. Ini terjadi karena di Indonesia pelacuran diabaikan dengan alasan tidak ada lokalisasi pelacuran.

Intervensi yang konkret yang bisa dilakukan untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, hanya bisa dilakukan di lokalisasi pelacuran yang dibentuk sebagai regulasi sehingga bisa dijerat dengan hukum. Thailand sudah membuktikan penurunan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.

Ketika seorang laki-laki tertular HIV, maka dia pun akan menularkan HIV kepada istri atau pasangan seksnya (horizontal). Kalau istri atau pasangan seksnya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan kepada bayi yang mereka kandung kelak (vertikal).

Karena pemerintah tidak mempunyai program penanggulangan yang konkret pada perilaku nomor 5, maka langkah terakhir adalah menyelamatkan bayi yang dikandung perempuan yang mengidap HIV agar tidak tertular HIV.

Celakanya, program untuk menyelamatkan bayi pun tidak komprehensif. Tidak ada mekanisme yang sistematis yang merupakan regulasi hukum untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempan hamil.

Menurut Utusan Khusus Presiden untuk MDGs, Nila MoeloekL ” .... target Tujuan Pembangunan Milenium yang dikhawatirkan sulit tercapai adalah pengendalian penularan HIV .....”

Ya, jelaslah. Pemerintah tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada praktek pelacuran.

Menurut Nafsiah: ”Kunci ada di tangan laki-laki karena mereka mempunyai pilihan dan bisa memutuskan untuk melakukan seks yang aman atau berisiko.”

Persoalannya: Bagaimana caranya agar laki-laki memutuskan untuk melakukan seks yang aman agar tidak tertular HIV?

Maka, yang diperlukan adalah intervensi dengan langkah-langkah yang konkret.

Tapi, kapan, sih, pemerintah akan membuat program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret? Selama penantian, insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang berujung pada penyebaran HIV di masyarakat. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun