Tanggapan Berita (16/7-2013) – Dari 2.066 kasus kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilansir Dinas Kesehatan DI Yogyakarta sampai Maret 2013 menunjukkan 232 terdeteksi pada ibu rumah tangga (Kasus HIV & AIDS Ibu Rumah Tangga di DIY Terbanyak Kedua, republika.co.id, 15/7-2013).
Itu artinya ada 232 suami di DI Yogyakarta yang (juga) mengidap HIV/AIDS, sedangkan di kalangan wiraswasta (tidak ada penjelasan tentang jenis kelamin) ada 277 kasus.
Dalam berita tidak dijelaskan apakah suami 232 ibu rumah tangga itu sudah menjalani tes HIV atau belum. Kalau belum, maka ada 232 mata rantai penyebaran HIV di DI Yogyakarta.
Jika disimak dari aspek ekonomi, maka laki-laki berpenghasilan tetaplah yang mempunyai kemampuan untuk ’membeli seks’. Jadi, amatlah wajar kalau banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi di kalangan wiraswasta. Selain itu bisa jadi pula mereka menerima ’cewek’ sebagai gratifikasi seks.
Menurut Pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS DIY, Ana Yuliastanti, mengatakan kasus HIV&AIDS di Indonesia pertama kali tahun 1987-an dan penyebarannya melalui homoseksual, selanjutnya periode 1997-1998 kasus HIV&AIDS banyak terjadi karena penularan lewat jarum suntik (penasun) narkoba.
Pernyataan Ana ini tidak akurat karena kasus yang ditemukan pertama di RS Sanglah, Denpasar, Bali, itu adalah turis asing warga Belanda. Memang, dikabarkan laki-laki sebagai homoseksual. Tapi, bukan berarti penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terjadi melalui warga Belanda itu dengan faktor risiko homoseksual.
Kasus-kasus awal HIV/AIDS di Indonesia terdeteksi pada pekerja seks komersial (PSK) karena kepanikan pemerintah sehingga menjalankan survailans tes HIV terhadap PSK di berbagai kota di Indonesia.
Ini pernyataan Ana lagi: ”Pencegahan penyebaran HIV & AIDS melalui transmisi seksual selama ini intervensinya hanya pada pengguna seks dengan sasaran pekerja seks. Sedangkaan 'pembeli' seks belum pernah disasar. Padahal para pekerja seks posisi tawarnya masih rendah. Harusnya intervensi program kepada laki-laki baik masyarakat secara umum maupun 'pembeli' seks."
Caranya, piye, Mbak?
Sosialisasi? Penyuluhan? Komunikasi perubahan perilaku? PMTS?
Butuh waktu yang lama. Lagi pula tidak ada jaminan selama sosialisasi laki-laki yang disuluh tidak akan melakukan hubungan seksual yang berisiko, al. melacur tanpa kondom.
Disebutkan oleh Ana bahwa karena tidak ada kelompok 'pembeli' seks sulit untuk menyasar mereka.
Kalau saja Ana melihat upaya kalangan PSK di ’Sarkem’ (Pasar Kembang, sebuah lokasi pelacuran di Jl Pasar Kembang, seberang Sta KA Tugu dan di sisi barat Jl Malioboro) untuk ’memaksa’ laki-laki hidung belang memakai kondom tentulah lain persoalannya.
Celakanya, Pemprov DI Yogyakarta sendiri mengabaikan ’Sarkem’ sebagai tempat pelacuran, seperti halnya dalam Perda AIDS DI Yogyakarta (Lihat: Perda AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-di-yogyakarta.html).
Pendamping PSK di ’Sarkem’ berjibaku mendorong PSK untuk memaksa laki-laki memakai kondom, tapi karena tidak ada intervensi pemerintah maka posisi tawar PSK tetap kalah sehingga mereka terpaksa melayani laki-laki tanpa kondom (Lihat: Duka Derita PSK di ‘Sarkem’ Yogyakarta-http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/11/duka-derita-psk-di-%E2%80%98sarkem%E2%80%99-yogyakarta-372263.html).
Dua-duanya celaka. Kalau laki-laki mengidap HIV/AIDS, maka PSK berisiko tertular HIV. Nah, laki-laki yang melacur tanpa kondom berisiko pula tertular HIV. Maka, laki-laki pengidap HIV yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan seharusnya strateginya diubah yakni pemberdayaan perempuan dengan melakukan sosialisasi ke PKK, kelompok dasa wisma tentang bagaimana dampak penularan HIV&AIDS pada ibu rumah tangga.
Strategi itu ’bak menggantang asap’. Manalah mungkin seorang istri mengingatkan suaminya agar tidak melacur atau melacur dengan memakai kondom.
Bagaimana pula cara ibu-ibu PKK mengingatkan para suami agar tidak melacur?
Apakah ada jaminan anjurkan ibu-ibu PKK itu akan didengar oleh laki-laki hidung belang?
Dikabarkan pula bahwa perlu sosialisasi kepada laki-laki yang melakukan hubungan seks tidak hanya dengan isterinya saja, supaya dia tidak menularkan HIV & AIDS ke orang lain atau isterinya sendiri. Sebab, hal ini persoalan besar yang menyangkut masa depan generasi bangsa.
Sosialisasi semacam itu sudah sejak awal epidemi dilakukan. Persoalannya al. banyak laki-laki yang merasa tidak berisiko karena mereka tidak melacur di ’Sarkem’, tapi melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan cewek di hotel berbintang.
Biar pun di DI Yogyakarta sudah ada Perda dan Pergug AIDS, tapi tidak akan bisa dijalankan karena tidak ada satu pasal pun yang memberikan cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Yang perlu dilakukan Pemprov DI Yogyakarta adalah menjalankan program yang konkret berupa intervensi terhadap laki-laki melalui regulasi yaitu mewajibkan laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Program itu bisa dijalankan di ’Sarkem’, tapi Pemprov DI Yogyakarta memilih mengabaikan ’Sarkem’ daripada menjalankan program penanggulangan yang konkret di ’Sarkem’.
Tanpa program yang konkret, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap
[Sumber: http://www.aidsindonesia.com/2013/07/232-ibu-rumah-tangga-di-di-yogyakarta.html]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H