Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

17 'Pintu Masuk' HIV/AIDS Luput dari Raperda HIV/AIDS Prov Lampung

16 Mei 2012   01:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:14 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

* Perda harus mempunyai intervensi yang konkret terhadap 17 pintu masuk HIV/AIDS ke Lampung

Provinsi Lampung akan menyusul 54 daerah yang sudah mempunyai peraturan daerah (perda) tentang penangulangan HIV/AIDS. Padahal, perda-perda yang sudah ada hanya copy-paste antara satu sama lain.

Jika kelak perda AIDS Lampungjuga copy-paste dari perda yang sudah ada, maka sudah bisa dipastikan hasilnya nol besar.

Mengapa? Ya, karena tidak ada pasal yang konkret terkait dengan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Yang diperlukan dalam perda AIDS adalah pasal-pasal yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, memutus mata rantai penyebaran HIV, dll.

Tapi, karena Raperda AIDS Lampung ini juga copy-paste dari perda yang sudah ada, maka sama saja dengan perda lain. Lihat saja pernyataan ini: ” .... para aktivis pendamping juga berharap agar raperda ini berpihak kepada para penderita HIV/AIDS dan IMS. Aktivis berpendapat, kerap didapati pelanggaran hak-hak kemanusiaan terhadap para penderita HIV/AIDS.” (Dewan Bantah Legalkan Pelacuran, Harian “Radar Lampung”, 15/5-2012).

Hal di atas merupakan langkah atau tindakan di hilir. Artinya, Pemprov Lampung menunggu penduduk tertular HIV dahulu. Padahal, yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu.

Salah satu bentuk penularan HIV di hulu adalah melalui hubungan seksual tanpa kondom antara laki-laki dewasa penduduk Lampung dengan pekerja seks komersial (PSK), baik PSK langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.).

Nah, jika perda itu tidak mengatur cara-cara menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ’hidung belang’ melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung, maka penyebaran HIV di Lampung akan terus terjadi. Bukti perilaku laki-laki ’hidung belang’ dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga dan bayi.

Ada persoalan dalam raperda yaitu terkait dengan kewajiban PSK dan germo atau mucikari. Jika Pemporv Lampung mengabaikan praktek pelacuran dengan alasan tidak ada lokalisasi, maka itu artinya bencana besar akan melanda Lampung berupa ’ledakan AIDS’ karena insiden infeksi HIV baru terus terjadi.

Seperti diketahui pembuatan perda AIDS di Indonesia bertolak dari keberhaslan Thailand menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK di lokaliasi pelacuran dan rumah bordir dengan program ’wajib kondom 100 persen’.

Tapi, program itu hanya dicangkok dengan setengah hati.

Pertama, di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran yang memberikan izin usaha kepada germo. Maka, program itu tidak bisa dijalankan karena kegiatan pelacuran tidak bisa dijangkau dengan jaring hukum.

Kedua, dalam 54 perda tidak ada satu pasal pun yang memberikan cara pemantauan pemakaian kondom pada laki-laki ’hidung belang’ secara konkret. Bahkan, yang terjadi justru menjadikan PSK sebagai ’sasaran tembak’ dengan cara menghukum PSK yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, hepatitis B, dll.).

Dua hal di atas diabaikan dalam 54 perda sehingga perda itu mandul karena tidak memberikan langkah atau cara yang konkret dalam menanggulangi HIV/AIDS.

Disebutkan: ”Secara lugas, raperda itu juga akan mengatur perlindungan terhadap Orang dengan HIV/AIDS (Odha).”

Perlindungan untuk Odha adalah upaya di hilir. Artinya, Pemprov Lampung menunggu penduduk tertular duhulu, menjalani tes HIV baru kemudian dilindungi. Pada saat yang sama insiden infeksi HIV baru terus terjadi di hulu, terutama pada laki-laki ’hidung belang’.

Maka, yang jadi persoalan besar dalam epidemi HIV adalah penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui laki-laki ’hidung belang’. Jika tidak ada langkah yang konkret dalam menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama melalui hubungan seksual dengan PSK, maka penyebaran HIV di Prov Lampung akan terus terjadi.

Ada 17 pintu masuk HIV/AIDS ke penduduk Lampung, yaitu:

(1) Laki-laki dan perempuan dewasa heteroseks (laki-laki dengan perempuan dan sebaliknya) penduduk Lampung, asli atau pendatang, yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Prov Lampung, di luar wilayah Provinsi Lampung atau di luar negeri.

(2) Laki-laki biseksual (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki) penduduk Lampung, asli atau pendatang, yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki atau waria yang berganti-ganti di wilayah Prov Lampung, di luar wilayah Provinsi Lampung atau di luar negeri.

(3) Laki-laki dewasa heteroseks penduduk Lampung, asli atau pendatang, yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, waria, atau perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Prov Lampung, di luar wilayah Provinsi Lampung atau di luar negeri.

(4) Perempuan dewasa penduduk Lampung, asli atau pendatang, yang bekerja sebagai TKI/TKW di luar negeri yang tertular melalui hubungan seksual sebagai korban perkosaan, terutama di negara dengan prevalensi HIV/AIDS yang besar.

(5) Perempuan dewasa penduduk Lampung, asli atau pendatang, yang bekerja sebagai TKI/TKW di luar negeri yang dinikai oleh majikannya, terutama di negara dengan prevalensi HIV/AIDS yang besar.

(6) Perempuan dewasa penduduk Lampung, asli atau pendatang, yang bekerja sebagai pekerja seks di berbagai daerah di Lampung dan di luar Lampung.

(7) Laki-laki dewasa penduduk Lampung, asli atau pendatang, yang menjadi pacar atau suami TKI/TKW yang tertular HIV di luar negeri.

(8) Laki-laki dewasa penduduk Lampung, asli atau pendatang, yang menjadi pacar atau suami pekerja seks, penduduk Lampung, asli atau pendatang, yang tertular HIV di Lampung dan di luar Lampung.

(9) Laki-laki dewasa heteroseks penduduk Lampung, asli atau pendatang, yang tertular HIVmelalui hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang dikenal sebagai Laki-laki Suka (Seks) Laki-laki atau LSL HIV di Lampung dan di luar Lampung.

(10) Perempuan dewasa penduduk Lampung, asli atau pendatang, dalam hal ini istri sah, istri simpanan, istri nikah siri, dan pasangan ’kumpul kebo’ yang mempunyai pasangan laki-laki yang mengidap HIV/AIDS.

(11) Laki-laki dan perempuan dewasa penduduk Lampung, asli atau pendatang yang tertular HIV melalui jarum suntik pada penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) secara bersama-sama dengan bergantian di wilayah Prov Lampung, di luar wilayah Provinsi Lampung atau di luar negeri.

(12) Perempuan dewasa penduduk Lampung, asli atau pendatang, dalam hal ini istri sah, istri simpanan, istri nikah siri, dan pasangan ’kumpul kebo’ yang mempunyai pasangan laki-laki yang mengidap HIV/AIDS pada komunitas pengguna narkoba suntikan.

(13) Laki-laki dewasa penduduk Lampung, asli atau pendatang, dalam hal ini suami sah, selingkuhan, atau pasangan ’kumpul kebo’ yang mempunyai pasangan perempuan yang mengidap HIV/AIDS pada komunitas pengguna narkoba suntikan.

(14) Bayi yang tertular HIV dari ibunya yang mengidap HIV/AIDS secara vertikal ketika dalam kandungan, sewaktu persalinan atau dalam proses menyusui.

(15) Laki-laki dan perempuan penduduk Lampung, asli atau pendatang, yang tertular HIV melalui transfusi darah.

(16) Laki-laki dan perempuan penduduk Lampung, asli atau pendatang, yang tertular HIV melalui alat-alat kesehatan, jarum,dll.

(17) Laki-laki dan perempuan penduduk Lampung, asli atau pendatang, yang tertular HIV melalui alat-alat kesehatan, jarum tattoo, dll.

Maka, agar perda itu kelak efektif harus ada pasal-pasal yang konkret berupa intervensi untuk mengatasi 17 ’pintu masuk’ HIV/AIDS di atas.

Jika tidak ada pasal-pasal yang konkret atau bisa dilakukan dengan cara-cara yang realistis, maka penyebaran HIV/AIDS di Lampung akan terus terjadi.

Hasilnya kelak adalah ’ledakan AIDS’ karena kasus-kasus HIV/AIDS yang menyebar di masyarakat akan menjadi ’bom waktu’ untuk suatu ledakan epidemi HIV/AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun