"Ampera itu apa? Siapa dia? Apa yang diperjuangkan? Ini bukan kelompok yang berlandaskan moral, ini hanya kepentingan dari golongan tertentu," celetuk salah satu mahasiswa yang enggan untuk menyelesaikan skripsinya.
Aliansi Mahasiswa Peduli Pemira (Ampera) mulai menjadi perbincangan khalayak ramai, terkhusus mahasiswa di lingkungan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta setelah melakukan aksi jilid III di depan sekretariat Senat Mahasiswa Universitas (Sema-U) UIN Jakarta pada Jumat, 21 Desember 2018.
Sebagai pengangguran, eh maaf maksudnya sebagai pengamat Pemira UIN Jakarta, penulis sudah sejak lama menyoroti kegiatan yang dilakukan oleh Sema-U (Ya kegiatan apalagi selain Pemira, wong MPMU saja mereka ndak ngelakonin). Mulai dari pembentukan KPU dan Bawaslu, hingga munculnya Ampera yang hari ini masih belum diketahui pimpinannya.
Menarik untuk ditarik, menelisik telisik Ampera, sebuah aliansi tanpa kepala yang mencoba menyundul kepala-kepala. Menarik bukan?. Oke, Terbentuknya Ampera berawal dari permainan [Tidak] cantik yang dilakukan oleh Ketua Sema-U UIN Jakarta, Ahmad Murhadi. Dengan sengaja dan dengan sadar, secara diam-diam (Ketua Sema-U memang pendiam)Â Ketua Sema-U UIN Jakarta mengubah beberapa nama anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang lolos tahap fit and propertest.
Pertama kali Ampera melakukan aksi pada Rabu, 21 November 2018. Satu bulan sebelum nama Ampera dicari dan diliput oleh LPM Institut. Terimakasih LPM Institut, sudah meliput Ampera. Tanpa LPM, kami tak akan terkenal seperti sekarang ini. Aksi yang dilakukan di depan gedung kemahasiswaan UIN Jakarta ini menuntut Ketua Sema-U agar tidak melantik anggota KPU dan Bawaslu. Karena menurut aliansi ini, nama-nama yang hendak dilantik tidak sesuai dengan hasil fit and propertest yang dilakukan oleh tim Independen. Tapi apa daya, aksi yang hanya dilakukan oleh segelintir orang tidak mampu menghentikan pelantikan yang dipimpin oleh sang pendiam, Ketua Sema-U UIN Jakarta. Al hasil, tepat pukul 13.30 WIB anggota KPU dan Bawaslu resmi dilantik. *Ketua Sema-U kok di demo, mbok ya di gelitikin gituloh, biar ketawa.
Beberapa hari kemudian, melalui official account instagram @Kpu_uinjkt2018 dengan bangga memposting video ketua KPU yang baru dilantik, Abdur Rahim mengajak seluruh mahasiswa UIN Jakarta untuk memeriahkan dan mensukseskan pesta demokrasi kampus. Tapi sayang, kegantengan  Abdul Rahim di kamera harus digantikan oleh Fitri Febriani yang cenderung polos dan tidak ngocol.Â
Akhirnya, Abdul Rahim mendapatkan gelar sebagai satu-satunya ketua KPU tersingkat dan tak berguna selama pelaksanaan Pemira di UIN Jakarta.
Menggantikan kengocolan Abdul Rahim memang sulit, Fitri Febriani bersikeras agar bagaimana caranya dia bisa ngocol sebagaimana ketua KPU lama. Tak lama, kengocolan Fitri Febrani dimanifestasikan dalam salah satu surat yang melawan hasil keputusan Rapat Koordinasi (Rakor) Warek III, Kemahasiswaan, Wadek III, Ketua Sema-U, BPH KPU dan BPH Bawaslu UIN Jakarta. Dengan satu lembar surat yang dibumbui tanda tangan dan stempel, Fitri Febriani dengan mengatasnamakan KPU menolak tegas hasil keputusan Rakor tersebut. Berawal dari sini korek dan sumbu berserakan.
"Demi Masa, bahwa kebenaran ada pada Ketua Sema-U. Apapun yang dikatakan, dilakukan oleh ketua Sema-U adalah suatu kebenaran. Tidak ada sedikitpun kesalahan di dalamnya".
Pokoknya, semuanya salah Ampera. Karena Ampera telah merusak Pemira. Pemira versi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H