Mohon tunggu...
Info kampus
Info kampus Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UNPAM Harus Reformasi

30 November 2018   01:04 Diperbarui: 30 November 2018   03:17 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Matinya Kaum Muda Matinya Sebuah Bangsa", kata-kata tersebut menjelaskan pada kita semua akan arti penting pemuda didalam sebuah bangsa. Perjalanan negeri ini tidak lepas dari andil kaum muda dalam menjalankan perjuangannya demi perubahan yang terus menerus dalam menciptakan sebuah pemerintahan yang adil dan sejahtera.

Dimulai sejak era kolonial hingga era reformasi kaum pemuda mengambil peran yang sangat signifikan dalam perkembangan negeri ini, jika di era kolonial kaum muda mengambil peran dengan mendesak proklamator kita untuk segera mem-proklamirkan kemerdekaan, di era reformasi kaum muda dalam hal ini bertindak sebagai mahasiswa mampu menggulingkan pemerintahan yang otoriter selama kurang lebih 32 tahun.

Mahasiswa sebagai pemuda yang terdidik secara akademik maupun sosial selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat untuk melakukan sebuah perubahan kearah yang lebih baik lagi demi tujuan yang tercantum dalam pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia begitupun dengan masyarakat saat ini yang sedang kesulitan namun tak tau untuk berbuat apa sehingga kunci dari penyelesaiannya adalah mahasiswa menggugat. Namun, bagaimana jika mahasiwa hari ini justru malah sudah terkekang sejak dalam rumahnya sendiri yang sering kita sebut "Universitas", banyak yang bilang bahwa universitas adalah rumah demokrasi dan miniatur dari sebuah negara.

Artinya mahasiswa didalam universitas adalah masyarakat, lalu rektor, dosen dan para jajarannya adalah pemerintah yang diberi amanah oleh masyarakat. Maka agar tercipta sebuah sistem yang berkeadilan dan juga kesejahteraan, sudah seharusnya para pejabat didalam universitas diharuskan untuk melibatkan setiap aspek yang ada didalam setiap pengambilan keputusan termasuk melibatkan mahasiswa sebagai bagian dari universitas tersebut. Lebih merujuk lagi tulisan ini akan membahas bagaiamana sistem dari rumah kita sendiri yaitu "Universitas Pamulang (Unpam)".

Universitas pamulang dengan jumlah mahasiswa hampir mencapai 10.000 mahasiswa sudah seharusnya menjadi wadah dari pertempuran antar intelektual didalam jatidiri seorang mahasiswa. Dengan bermodal sumberdaya manusia yang berlimpah bisa menjadi wadah bagi penggerak-penggerak perubahan dengan memberikan kebebasan berekspresi dan kebebasan dalam beraspirasi demi sebuah sistem akademik yang dinamis dan progresif yang sesuai dengan pasal 8 undang-undang No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.

Tapi, sayang nyatanya fakta dilapangan tak sesuai dengan yang diharapkan, jangankan untuk kebebasan akademik dalam menjalankan kebebasan berprilaku dan berpakaian para mahasiswa unpam sudah dibatasi oleh aturan-aturan yang dilandasi oleh aturan rektor universitas pamulang itu sendiri dan lagi-lagi seperti sabda yang turun dari langit hal tersebut tidak boleh dibantah oleh para mahasiswanya dengan begitu para mahasiswa tidak saja dinihilkan jatidirinya sebagai seorang mahasiswa tapi juga dinihilkan jatidirinya sebagai seorang manusia. 

Bagaimana tidak aturan yang tak memiliki rasionalitas dan melanggar hak-hak mahasiswa seperti tak boleh gondrong, celana robek, bersandal hingga bercadar bagi para mahasiswi pun tak dijinkan oleh pihak kampus unpam. Apa ini yang kita sebut miniatur negara dan juga rumahnya para intelektual?

Jika kita sepakati bahwa universitas adalah miniatur sebuah negara maka tak layak jika menerapkan sebuah aturan untuk masyarakat tanpa melibatkan masyarakat didalamnya, seperti kasus diatas merupakan tindakan otoriter yang dilakukan sekelas kepala universitas. Nampaknya universitas telah dinodai sebegitu pekatnya dengan tindak tanduk para pejabat kampus saat ini, khususnya pejabat kampus unpam itu sendiri.

Sesuai dengan pasal 63 undang-undang No.12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi tentang prinsip-prinsip perguruan tinggi harus dengan akuntabilitas, transparansi, nirlaba, penjaminan mutu serta efektivitas dan efisiensi, maka sudah seharusnya universitas pamulang harus menerapkan aturan tersebut dengan sebaik-baiknya, namun jika melihat fakta dilapangan terlihat jelas bahwa penerapan aturan tersebut belum dilaksanakan oleh pihak pejabat universitas pamulang itu sendiri.

Hal ini bisa dibuktikan dengan tidak terbukannya pihak universitas pamulang terkait keterbukaan anggaran yang bermula dari ketidakjelasan penggunaan hasil pemungutan SPP, pembayaran praktikum hingga pengelolaan parkir yang tak jelas digunakan untuk apa pundi-pundi uang tersebut, belum ditambah lagi dengan uang yang dipungut atas dasar denda karena telat membayar SPP dan juga pembayaran revisi atau semester pendek.

Beberapa jurusan diuniveristas pamulang justru ada yang lebih parah dengan diiming-imingi sertifikat dan ditakuti oleh sangsi yang tak jelas pihak pengelola jurusan dengan gampang memungut uang kepada mahasiswa atas dasar wajib tanpa boleh dibantah, seperi biaya untuk seminar yang tak wajar dan mungkin jika di fakultas teknik dan ekonomi akan mengenal kunjungan instansi, semua itu di kendalikan dan dipegan oleh pihak kampus tentunya dengan besaran yang pasti tak wajar salah satu contohnya bisa diambil dari cerita salah seorang teman dari program studi teknik industri yang membayar uang Rp 900.000 untuk kunjungan industri, entah untuk apa saja uang tersebut yang jelas mahasiswa hanya diberi sertifikat dan rasa takut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun