Indonesia kurang lebih ingi mengadopsi sistem demokrasi di Amerika. Di mana tiga kekuasasan eksekutif, legislatif dan yudikatif dipisahkan. Pemisahan kekuasaan juga disebut dengan istilah trias politica adalah sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak.
Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
Ketidakpatuhan pada sistem trias politika inilah yang mengakibatkan kekacauan keamanan dan politik. Hal inilah yang terjadi pada Indonesia semenjak merdeka, semenjak 1945. Pemerintah yang mempunyai pengaruh besar ditatanan hukum, telah mengacaukan hukum itu sendiri.
Persamaan SBY dan Jokowi adalah tentang menghormati proses hukum, proses hukum harus bebas dari intervensi. Tapi sebenarnya dua presiden ini telah mengintervensi hukum sebelum mengintervensi. Caranya adalah dengan menempatkan para politikus partai menempati posisi penentu dalam penegakan hukum, seperti posisi Menkumham dan Jaksa.
Dari tiga elemen trias politika, yudikatif merupakan elemen terkuat sekaligus terlemah. Secara perundang-undangan, yudikatif sangat kuat namun secara implementasi sangat lemah. Intervensi terkuat yudikatif adalah eksekutif namun bukan berarti legislatif tidak bisa mengintervensi lembaga yudikatif.
Hakim-hakim yang korup dan miskin mental merupakan kelemahan terbesar di lembaga yudikatif. Hal inilah yang bisa disusupi oleh kepentingan elit-elit politisi partai yang sukses jadi legislator. Selain itu, kurangnya sorotan dan dukungan media membuat lembaga yudikatif tidak bisa bersuara seperti sekeras para politisi.
Kita bisa bandingkan tiga penegak hukum yang ada saat ini: Polisi, KPK dan kejaksaan. Dari ketiga penegak hukum tadi kejaksaanlah yang terlihat sangat tenggelam mengenai sepak terjang mereka dalam menegak hukum. Kecuali mungkin untuk kasus-kasus yang menyangkut rakyat kecil, kejaksaan bisa tampak menakutkan.
Kekisruhan politik yang terjadi saat ini tidak terlepas dari kesalahan Jokowi yang menempatkan orang-orang partai di posisi penegak hukum di level menterinya. Para menteri atau yang setingkat yang berasal dari partai ini dipastikan akan memperjuangkan kepentingan partai, baik itu kepentingan materi maupun kepentingan non-materi. Kepentingan non-materi bisa seperti menyelamatkan para kolega dari jeratan hukum, seperti yang diwacanakan oleh Menteri Yasona Laoli untuk memberi remisi kepada para koruptor.
Melihat kenyataan ini, yudikatif yang terintervensi baik oleh eksekutif dan legislatif menjadi sistem demokrasi kita hanya setengah hati. Maka tidak heran jika kekacauan dan kekisruhan tidak pernah selesai, karena sistemnya yang tidak dijalankan dengan murni dan sepenuh hati. Dan bodohnya, sebagian masyarakat terkadang menginginkan pemerintahan melakukan intervensi terhadap hukum.
Sampai di sini semoga Anda bisa melihat masalah ini, tapi untuk solusinya tidak mudah karena mental di ketiga elemen trias politika tadi bermasalah. Dan para pembantu presiden untuk mewujudkan Revelusi mental itu sendiri banyak yang sakit mental. Di sana yang bingungnya mau mulai dari mana, karena Jokowi sendiri tidak ada arti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H