BANDA ACEH (17/09/2017) : Risiko penyakit kardiometabolik seperti diabetes mellitus, hipertensi, gagal ginjal, dan sebagainya, menjadi momok dalam peningkatan derajat kesehatan bangsa Indonesia. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penyakit kardiometabolik dengan tingkat perkembangannya yang tinggi dan dampaknya pada disfungsi organ, dapat menyebabkan kerusakan finansial yang besar pada negara, yang berdampak tidak hanya pada ekonomi, namun aspek sosial, kesehatan dan kesejahteraan pada level mikro, nasional dan internasional. Ironisnya, kardiometabolik tidak hanya terjadi pada orang dewasa, melainkan juga pada anak-anak dan remaja akibat kurang olahraga dan pola makan tidak sehat yang menyebabkan obesitas.
"Total biaya INA CBG's untuk penyakit kardiometabolik pada rentang waktu 2014 - 2016 mencapai Rp 36,3 triliun atau 28% dari total biaya pelayanan kesehatan rujukan. Peringkat biaya teratas diduduki oleh hipertensi dengan jumlah biaya Rp 12,1 triliun, disusul dengan diabetes mellitus sebesar Rp 9,2 triliun, penyakit jantung koroner sebesar Rp 7,9 triliun, dan gagal ginjal kronis sebesar Rp 6,8 triliun," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris dalam acara The 8th Aceh Internal Medicine Symposia (AIMS) 2017 yang digelar di Banda Aceh, Sabtu (16/09).
Sementara itu, lanjut Fachmi, dalam rentang waktu 3 tahun tersebut, obat kronis berbiaya besar didominasi oleh obat-obatan diabetes mellitus dan hipertensi. Jumlahnya mencapai Rp 1,95 triliun atau 78% dari total biaya obat kronis di luar paket kapitasi atau INA CBG's.
"Di Jerman ada Disease Management Program yang berhasil menurunkan tingkat hospitalisasi akibat stroke, serangan jantung, amputasi, kebutaan, dan sebagainya. Salah satunya adalah karena adanya dorongan untuk mengubah gaya hidup pasien dan kepatuhan terhadap pengobatan. Dampaknya, biaya pelayanan kesehatan turun hingga 5% per tahun, kurang lebih sebesar Rp 3,9 triliun jika dirupiahkan. Saat ini kita punya program yang hampir mirip dengan DMP Jerman tersebut, yang dikenal dengan layanan Program Pengelolaan Penyakit Kronis atau PROLANIS bagi peserta JKN-KIS," terang Fachmi.
Melalui program edukasi, pemantauan kesehatan, aktivitas klub, home visit, dan monitoring evaluasi oleh dokter spesialis, PROLANIS menjadi alternatif pengelolaan risiko penyakit kardiometabolik. Namun sayangnya, tingkat kepatuhan peserta PROLANIS untuk melakukan pemeriksaan secara teratur masih di bawah 50%. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya dan dorongan dari semua pihak untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan peserta PROLANIS. Jika dikelola secara optimal, Fachmi optimis PROLANIS dapat menekan pembiayaan pelayanan kesehatan akibat kardiometabolik. Efek jangka panjangnya, biaya penyakit kardiometabolik tersebut dapat dialokasikan untuk program promotif preventif lainnya agar kesehatan peserta JKN-KIS dapat terjaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H